Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tiap Tahun Ada Korban Tewas Akibat Diplonco

Kekerasan Marak Saat Masa Orientasi Siswa (MOS)

Minggu, 15 Juli 2012, 08:55 WIB
Tiap Tahun Ada Korban Tewas Akibat Diplonco
ilustrasi/ist
RMOL.Praktik perploncoan di sekolah masih marak. Biasanya terjadi saat Masa Orientasi Siswa (MOS) di awal tahun ajaran baru. Ada siswa yang sampai meninggal.

Suasana duka masih me­nye­limuti kediaman keluarga Elvian Lubis di Bumi Serpong Damai (BSD) Tangerang Selatan, Ban­ten. Kepergiaan Amanda Putri Lubis diusia yang masih muda, be­nar-benar menjadi pukulan ter­berat bagi keluarga itu.

Amanda merupakan putri ke­dua Elvian yang berencana se­kolah di SMA Negeri 9 Kota Ta­ngerang Selatan. Namun, ha­ra­pan­nya bisa duduk di bangku SMA harus pu­pus di usianya yang ke-15 tahun. Ia keburu di­jemput ajal setelah me­ngikuti Masa Orientasi Pendi­dikan (MOP) di sekolahnya.

“Sebelumnya tidak ada ke­luhan apa-apa. Amanda juga se­hat. Bahkan masih menemani saya memotong bambu untuk di­bawa ke sekolah,” tutur Elvian ketika ditemui di kediamannya.

Elvian yang tinggal di Jalan Salvia VI Blok UF BSD City Sek­tor 1.2, Serpong, Tangerang Selatan menuturkan, Selasa pagi lalu (12/7) dirinya masih sempat mengantarkan anaknya tersebut pergi ke sekolah. Bahkan saat Su­buh, bersama anak perta­ma­nya, Evan Miraj Lubis, dirinya masih sempat menyiapkan keperluan yang akan dibawa Amanda untuk mengikuti MOP.

“Rabu dini hari anak saya tidak sa­darkan diri. Saya sempat mem­berikan napas buatan dan Aman­da sempat sadar. Tapi jiwanya tak tertolong meski dokter sudah me­nangani Amanda selama kurang lebih satu jam,” tutur Elvian de­ngan suara serak menahan tangis.

“Saya tanya dokter apakah ada serangan jantung. Katanya, tidak ada sakit jantung. Sudah diberi­kan kejut jantung enam kali se­lama setengah jam, tetapi sama saja,” sambung Elvian.

Evan Miraj Lubis, kakak Aman­da, menuturkan adiknya ti­dak pernah bercerita soal pe­lak­sanaan MOP di sekolah ke­pa­da­nya. Namun, saat ia dan orang­tua­nya mengantar Amanda pada hari kedua MOP, Selasa, Amanda sempat ketakutan dan hampir tak mau masuk sekolah karena tak membawa kertas identitas (name tag) yang wajib dibawa siswa baru.

“Saat itu Ayah saya tanya apa­kah akan ada hukuman te­r­ha­dap­nya dan dijawab ada. Adik saya sem­pat nggak mau masuk dan ham­pir nangis. Namun, akhirnya te­tap masuk, terus saya pulang untuk ngambil name tag-nya,” kata Evan.

“Adik saya itu memang lemah fisiknya. Renang 10 menit saja wajahnya langsung pucat, tapi jarang sakit. Selama MOP, setiap hari harus bawa dua tas karung,” ujar Evan.

Untuk diketahui, sejak Senin lalu (11/7) beberapa sekolah di sejumlah wilayah di Indonesia mu­lai melakukan pembukaan MOP kepada para siswa baru. MOP menandakan dimulainya tahun ajaran baru 2012-2013.

MOP yang dulunya dikenal de­ngan Masa Orientasi Siswa (MOS) merupakan tahapan yang wajib di­ikuti seluruh siswa baru. Biasa­nya, pelaksanaan MOP ini mema­kan waktu 3 hari sampai satu minggu.

MOS dijadikan sebagai ajang me­latih ketahanan mental, disip­lin dan mempererat tali per­sau­daraan. MOS juga sering dipakai sebagai sarana perkenalan siswa terhadap lingkungan baru di se­ko­lah yang akan dimasukinya. Baik perkenalan dengan sesama siswa baru, kakak kelas, guru hingga karyawan di sekolah itu. Tak terkecuali pengenalan ber­bagai macam kegiatan yang ada dan rutin dilaksanakan di ling­kungan sekolah.

Namun dalam praktiknya, ke­rap kali terdengar kabar adanya kasus-kasus kekerasan yang ter­jadi saat pelaksanaan MOS. Se­lain kasus Amanda, tahun lalu Roy Aditya Per­kasa, siswa baru di sebuah SMA Negeri di Pro­vinsi Jawa Ti­mur juga menjadi korban dalam pelaksanaan MOS di sekolahnya.

Ditengarai karena tingkat stres yang tinggi akibat beban tugas yang diberikan terlalu berat, Roy akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada hari kedua p­e­lak­sa­naan MOS.

Kasus-kasus kekerasan saat pe­laksanaan MOS inilah yang mem­buat Komisi Nasional Per­lin­dungan Anak (Komnas PA) menjadi berang. Organisasi yang digawangi Arist Merdeka Sirait ini menyebut pelaksanaan MOS selama ini sudah menjadi budaya kekerasan di sekolah.

“MOS ini benar-benar sudah me­nyimpang dari agenda pendi­di­kan. Dalam pelaksanaannya, kekerasan secara fisik dan psikis serta pelecehan seksual cende­rung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun,” ujar Arist.

Kekerasan fisik, kata Arist, beru­pa tindakan yang mengarah pada fisik seperti penamparan, pe­mu­ku­lan bahkan sampai pe­nen­dangan. Kekerasan secara psikis yakni in­timidasi pskilogi. Misalnya d­e­ngan membentak atau menghardik siswa baru sehingga membuat men­tal dan martabatnya rendah.

“Kami menemukan adanya kasus pemukulan, menendang, menampar, membentak atau kegiatan-kegiatan yang menguras fisik. Kalau dipikir, apa hubu­ngan­nya semua itu dengan dunia pendidikan?” ujar Arist.

Sedangkan pelecehan seksual meskipun skalanya lebih kecil, kata Arist, tetap saja terjadi dari tahun ke tahun. Bentuk pelecehan sek­sual misalnya menyuruh an­tara siswa berciuman. “Me­nge­nakan pakaian di bawah kategori kelayakan juga bentuk pelecehan seksual. Ini yang juga sering ter­jadi,” ujanya.

Masa orientasi ini merupakan proses bagi peserta didik untuk me­nyiapkan proses pembelajaran bagi siswa baru, mulai dari pe­ngenalan lingkungan sekolah, sa­rana prasarana sekolah dan pe­man­­faatannya, sistem pe­mbe­la­jaran, guru dan model. Say­ang­nya, me­nurut Arist, nilai yang terkan­dung dalam MOS itu justru di­anggap hal yang terakhir untuk dilakukan.

“Pelaksanaan MOS lebih ke­pa­da ajang perploncoan, kegiatan yang meneror fisik maupun psi­kis, bukan juga ajang eksploitasi senior pada yunior,” tegasnya.

“Komnas PA mendorong pihak sekolah dan Dinas Pendidikan untuk memastikan pelaksanaan orientasi peserta didik baru harus sesuai dengan tujuan pendidikan, serta bebas dari kekerasan, eksploi­tasi, dan diskriminasi,” ujarnya.

Lembaga yang dipimpinnya, kata Arist, sudah mengirimkan surat secara tertulis kepada semua instansi pendidikan terkait pe­laksanaan MOS ini. Surat te­r­se­but untuk sekolah tingkat SMP dan SMA di seluruh Indonesia.

“Kami tegaskan dalam surat itu untuk mengingatkan sekolah bah­wa MOS ini bukan budaya ke­ke­rasan. Dan kami mengajak ke­pa­da siswa serta masyarakat untuk tidak sungkan laporkan keke­rasan selama pelaksanaan MOS,” tegas pria berambut panjang ini.

Ia menyarankan agar kegiatan-kegiatan di dalam MOS diubah. “Misalnya siswa diminta untuk membuat makalah pribadi atau ke­lompok terkait dunia pendid­i­kan. Itu jauh lebih edukatif, ke­tim­bang menyuruh siswa mem­bawa barang-barang aneh yang tidak ada hubungannya dengan dunia pendidikan,” ujarnya.

Untuk itu, Arist meminta kepa­da dunia pendidikan untuk me­ngu­bah paradigma mengenai MOS. Bila tahun ini kekerasan masih terjadi, dia menyarankan sebaiknya MOS ditiadakan saja.

Ikut Ospek, Siswa Pelayaran Meninggal

Erfin Juniayanto alias Mul­yono, 19, siswa Balai Pen­di­di­kan dan Pelatihan Ilmu Pela­yaran (BP2IP) Tangerang, te­was setelah dua hari mengikuti Diklat Orientasi Pembelajaran (DOP) atau semacam Ospek (Orientasi Pengenalan Kam­pus), Kamis lalu (12/7).

Putra Serma Mulyono, 53, Babinsa Gadu Jaya, Kabupaten Ta­­nge­rang itu, merengang nya­wa se­telah sempat menjalani pera­watan beberapa jam di RSUD Tangerang.

Pihak keluarga mencurigai penyebab kematian Erfin dia­niaya panitia orientasi karena di sekujur tubuhnya ditemukan be­kas lebam yang diduga akibat hantaman benda tumpul. Guna memastikan penyebab kema­tian, jenazah korban dibawa ke RSUD Tangerang untuk diotopsi.

Menurut Rio Arizal, tetangga yang juga teman dekat korban, ada beberapa bekas lebam di telapak kaki, betis, dada dan ulu hati di tubuh Erfin. Menurut­nya, luka lebam itu seperti ter­kena hantaman benda tumpul.

“Pihak keluarga sempat syok saat kali pertama melihatnya karena semula dikabarkan dari pihak BP2IP, Erfin dibawa ke rumah sakit lantaran kesu­ru­pan,” kata Rio.

Rio mengatakan Erfin me­ngi­kuti Ospek yang dimulai se­jak Senin (9/6) hingga Jumat (13/6). Namun, memasuki hari kedua, bekas siswa SMPN 5 Ta­nge­rang itu ambruk. Kondisi fi­siknya makin parah di hari be­ri­kutnya sehingga perlu dilari­kan ke RSUD Tangerang. Pukul 23.00 nyawa korban tidak ter­tolong lagi hingga mengh­em­bus­kan nafas terakhir.

Sebelum masuk ke sekolah pelayaran itu, kata Rio, Erfin rajin latihan fisik mulai dari lari pagi dan sore. “Selama ini kita ti­­dak pernah mendengar ke­lu­han dari Erfin karena badannya tegap dan tinggi,” ucap Rio.

Sejumlah kerabat, keluarga, anggota Kodim 0506 Tange­rang, dan siswa BP2IP Ta­nge­rang tampak melayat ke rumah duka di Perumahan Griya Sa­ngiang Mas Blok B4 Nomor 7, Gebang Rata, Periuk, Kota Ta­ngerang. Orang tua korban, Mul­yono terlihat terpukul atas ke­matian putranya

Kepala BP2IP Marihot Si­manjuntak saat ditemui di ru­mah duka membantah kema­tian Erfin akibat adanya aksi ke­ke­rasan fisik selama orietasi pem­belajaran taruna BP2IP.

Kata dia, sejak tahun 2004 pi­haknya mengedepankan pe­la­ti­han sesuai dengan prosedur. Ti­dak diperkenankan adanya ke­kerasan fisik. Kemungkinan ti­dak tertolongnya nyawa Elfin ka­rena terjadi kecelakaan selama me­ngikuti orientasi pembelajaran.

“Panitia orientasi pembela­jaran siswa BP2IP adalah ins­truktur dan marinir, bukan dari siswa senior. Jadi, tidak ada ke­ke­rasan dan hukuman fisik di BP2IP,” kata Marihot.

Pantau Keterlibatan Anak Di Pilgub DKI, KPAI Buka Posko

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menganggap praktik kekerasan di sekolah cukup tinggi. Hasil monitoring dan evaluasi lembaga negara itu menemukan umumnya kekera­san terjadi saat Masa Orientasi Siswa (MOS).

Monitoring dan evaluasi dila­kukan di 9 provinsi. Yakni Su­matera Barat, Lampung, Jambi, Banten, Jawa Tengah, DIY, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur, dengan total responden 1.026 anak.

Penelitian yang dilaksanakan April 2012 ini menunjukkan bahwa 66,5 persen anak (628 anak) pernah mengalami keke­rasan yang dilakukan guru. Se­banyak 74,8 persen anak (767 anak) pernah mengalami ke­ke­rasan yang dilakukan te­man se­kelas. Dan, sebanyak 56,3 per­sen anak (578) pernah me­nga­lami kekerasan yang dilakukan teman lain kelas.

Pada tahun ajaran baru ini, Komisi membuka posko lapo­ran kekerasan dalam pelak­sanaan MOS. Siswa, wali murid atau masyarakat umum bisa laporkan adanya kekerasan yang dilakukan selama kegiatan MOS. Posko dibuka sejak Senin lalu.

Posko ditempatkan di lantai satu kantor KPAI di Jalan Teuku Umar Nomor 10-12, Menteng, Jakarta Pusat. Letaknya persis berada di belakang lobi.

Posko ini bukan hanya me­nampung laporan mengenai ke­kerasan yang terjadi pada pe­lak­sanaan MOS, tapi juga me­ne­rima laporan pengaduan eks­ploitasi anak-anak dalam kam­panye pe­milihan gubernur dan wakil gu­bernur (Pilgub) DKI Jakarta.

“Kami akan menunggu ma­sya­rakat untuk melaporkan pe­langgaran saat pelaksanaan MOS hingga siswa sudah resmi masuk sekolah,” kata Badriyah Fayumi, Komisioner KPAI.

Ia bilang, Posko ini tidak ha­nya menangani masalah pe­lang­garan yang ada di Jakarta saja, tapi tingkat nasional. Karena itu, bila ada masyarakat di luar daerah yang ingin melaporkan bisa menghubungi layanan hotline 24 jam.

“Jadi tidak usah repot-repot da­tang ke KPAI tapi bisa lewat te­lepon. Segala aduan akan lang­sung ditindaklanjuti ke sekolah yang bersangkutan,” kata Badriyah.  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA