Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Rumah Ditutup Seng, Bekas Api Masih Terlihat

Melongok Kediaman Mendiang Liem Sioe Liong

Kamis, 14 Juni 2012, 09:49 WIB
Rumah Ditutup Seng, Bekas Api Masih Terlihat
Liem Sioe Liong
RMOL. Sorot mata Toto terus mengawasi seluruh areal pekarangan rumah mendiang Liem Sioe Liong di Jalan Gunung Sahari VI, Nomor 12, Senen, Jakarta Pusat, Selasa siang (12/6). “Di sini nggak ada acara apa-apa, semua kegiatan dipusatkan di Singapura,” katanya sambil mengisap rokok dalam-dalam.

Pensiunan TNI AD berpang­kat terakhir Sersan Mayor ini men­jadi penjaga rumah pening­galan bekas orang terkaya di In­donesia ini. Menurut pria asal Klaten, ru­mah Liem Sioe Liong hanya dihu­ni tiga satpam dan empat ajudan.

Liem Sioe Liongatau Sudono Salim meninggal dunia Minggu 10 Juni 2012 pukul 15.50 waktu setempat pada usia 96 tahun. Jenazah pendiri Bank Central Asia (BCA) ini disemayamkan di Mount Vernon Funeral Parlours, 121 Aljunied Road. Pemakaman baru dilakukan Minggu 17 Juni di Choa Chu Kang, Singapura.

Menurut Toto, rumah di Jalan Gu­nung Sahari VI mayoritas mi­lik keluarga Liem Sioe Liong. “Di kom­plek ini ada 15 rumah. De­la­pan rumah milik keluarga Om Liem,” kata ayah tiga orang anak yang mengenakan kaos warna hijau ini.

 Ia mengatakan, rumah Liem yang berada di Gunung Sahari Nomor 12 aman dari amukan mas­sa pada tahun 1998. Namun salah satu rumahnya yang ber­dampingan dengan jalan raya di­bakar massa dan hingga kini belum diperbaiki.

Untuk menuju ke rumah Liem Sioe Liong harus melewati jalan Gu­nung Sahari VI. Di depan jalan ter­sebut terdapat pos keamanan dengan pagar setinggi 2 meter yang hanya dibuka sebagian. Mo­bil polisi di parkir di depan pagar. Dua po­lisi terlihat berjaga di pos tersebut.

Jalan menujur rumah Sudono Salim selebar empat meter. Ber­aspal mulus. Suasananya sangat lengang dan tidak ada aktivitas. Beberapa rumah megah yang be­rada di kanan dan kiri jalan ter­tutup rapat. Begitu juga Gereja Kris­ten Kalvari yang berada di jalan tersebut juga tidak menun­jukkan adanya kegiatan.

Tidak jauh dari gerbang masuk, di sebelah kanan terdapat rumah bergaya klasik dengan bentuk atap meruncing keatas. Di seke­liling rumah dipenuhi pohon be­sar sehingga terlihat asri.

Rumah itu milik Liem Sioe Liong. Rumah pria yang akrab di­sapa Om Liem diapit rumah Fran­siscus Welirang, menantunya yang berada di sebelah kanan dan salah satu kerabatnya di samping kiri. Tak tampak karangan bunga duka di rumah itu.

Masuk kedalam rumah harus me­­lalui gerbang masuk setinggi dua meter. Pagar dari besi warna abu-abu ini tertutup namun tak ter­kun­ci. Masuk lebih dalam ter­dapat halaman selebar lima meter yang diplester. Di ujung halaman dipar­kir mobil Volvo milik ajudan Liem.

Rumah berada di sebelah ka­nan halaman. Sebelum masuk harus melewati pintu masuk se­tinggi 1,5 meter. Masuk lebih da­lam terdapat pintu rumah namun tertutup rapat. Hanya pintu ma­suk ruang satpam yang terbuka. “Kunci rumah dibawa salah satu keluarga Om liem,” kata Toto.

Dari rumah ini terlihat rumah Om Liem yang dibakar massa pada tahun 1998. Bekas jilatan api dua belas tahun lalu itu masih terlihat jelas di rumah dua lantai itu. Bagian depan rumah ditutupi dengan seng setinggi dua meter.

Paulus Antonius Nitisasmito, ajudan Om Lie mengatakan dia bertemu dengan bosnya empat ta­hun lalu saat ulang tahun peres­mian PT Indofood Sukses Mak­mur. “Waktu itu dia bagi-bagi uang,” katanya.

Ia sendiri sudah bersama Om Liem sejak 1969. Saat itu usianya baru 29 tahun. “Saya diambil ke­sa­­tuan. Ceritanya Komandan Lettu Edy Sunarto mencari te­naga baru untuk mengawal Om Liem, ka­rena saya bertingkah laku baik maka saya ditugaskan,” kenangnya.

Sejak awal, Niti mengaku su­dah melihat Om Liem orang yang baik dan memperhatikan penga­wal­nya. Ia bersama kelima te­mannya dari Kostrad kemudian mengawalnya kemana pun ia beraktivitas. Ia me­ngaku bangga bisa bertemu de­ngan orang se­perti itu, “Dia pe­ngertian, merak­yat,” katanya.

Selain itu, kata Niti, Om Liem orang­nya rendah hati dan mem­punyai sikap sederhana. “Dia orang yang ingin terus mem­ba­wah, dia selalu memperhatikan ke­bersihan dan kerapian, dia con­toh yang baik.” katanya.

Pria dengan pangkat terakhir Kopral Kepala mengingat rumah pertama Om Liem belum memi­liki pendingin udara. Tempat ti­dur­nya terlihat sederhana de­ngan kipas angin untuk meng­halau rasa panas.

Biasanya ketika setelah ber­aktivitas seharian, Om Liem se­ring berkumpul bersama penga­wal­nya di teras rumah. “Bapak senang melihat permainan catur yang biasa dimainkan penga­wal­nya. Ia sering gabung melihat ca­tur, tapi dia nggak main cuma me­lihat saja. Terus dia beli kac­ang go­reng sama ketan untuk makan ba­­reng-bareng,” kenangnya.

Peti Matinya Cuma 67 Juta

Liem Sioe Liong dikenal se­bagai konglomerat dan ber­lim­pah uang. Namun peti matinya hanya berharga puluhan juta saja. Peti mati itu dibuat Singa­pore Casket.

Selasa siang (12/6), petugas di perusahaan layanan pera­wa­tan jenazah itu memberitahu harga peti Om Liem 9.000 dolar Singapura. Dengan kurs Rp 7.500 per 1 dolar Singa­pura, harganya setara Rp 67,5 juta. “Petinya dibuat dari cherry­wood. Kualitas terbaik yang di­impor dari luar negeri,” ujar kar­yawan Singapore Casket.

Saat membeli peti mati itu, kata sang petugas, keluarga Om Liem tidak menawar lagi karena tidak boleh melakukan tawar-menawar dalam hal itu.

Kerabat Om Liem, Jamin Hi­dayat, menolak menyebut nilai persemayaman orang terkaya di Indonesia itu. “Tidak tahu, tidak etis,” katanya.

Namun, lanjut dia, yang lebih tak etis bila keluarga melakukan tawar menawar harga peti mati dengan penjual.

“Tidak boleh dita­war,” kata dia. Pengadaan peti mati diurus Singapore Cascet.

Anak keempat taipan Liem Sioe Liong, Mira Salim, me­mas­tikan ayahnya dimakamkan di Singapura. “Akan dikubur, bukan dibakar (dikremasi),” katanya. [Harian Rakyat Merdeka]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA