RMOL. Bunga Kamboja mekar di halaman rumah bernomor 17 di Jalan Sumenep, Menteng, Jakarta Pusat. Kembang yang kerap dikaitkan dengan kematian ini merekah menjelang 30 September, seolah ikut mewarnai suasana berkabung.
Rumah itu merupakan kediamÂan Brigjen Jenderal Sutoyo SisÂwomihardjo, Inspektur KeÂhaÂkiman Angkatan Darat. Tepat paÂda tanggal itu, empat puluh enam tahun silam, Sutoyo diculik paÂsukan Tjakrabirawa dan dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Sutoyo gugur di tempat itu. JaÂsadnya lalu dimasukkan ke sumur tua bersama lima jenderal dan seÂorang perwira pertama Angkatan Darat. Mereka yang jadi korban GeÂrakan 30 September diteÂtapÂkan sebagai Pahlawan Revolusi. Mereka pun memperoleh keÂnaikan pangkat anumerta, setingÂkat lebih tinggi.
Rakyat Merdeka berkunjung ke kediaman Sutoyo. Rumah ini maÂsih ditempati keluarga almarhum. Suasananya tampak sepi, tak ada terlihat aktivitas di sini.
Sebuah bel tersedia di balik pintu gerbang masuk. Bel diÂpencet. Tidak berapa lama keluar pria setengah baya. Ia berjalan pelan ke arah gerbang.
Pria yang mengaku bernama Nari ini mengatakan, rumah ini diÂtempati anak kedua Sutoyo, NaÂni Nurachman. Anak pertama SuÂtoyo, Agus Widjojo tinggal di Cikeas.
Agus mengikuti jejak ayahnya berkarier di militer. Jabatan terÂakhir Kepala Staf Teritorial TNI dengan pangkat letnan jenderal. SeÂmentara Nani memilih berÂkiprah di dunia pendidikan. Ia dosen di Universitas Atmajaya, Jakarta.
“Penghuni rumah tidak ada, sedang kerja,†kata Nari tanpa memÂbukakan pintu. Pria yang mengenakan kaos berkerah ini menyarankan, bila ingin bertemu dengan keluarga Sutoyo sebaikÂnya datang hari Sabtu atau MingÂgu. Biasanya, hari libur itu Nani menghabiskan waktu di rumah.
Menurut Nari, bentuk rumah ini sudah berubah. Empat tahun lalu, keluarga Sutoyo melakukan renovasi. Hampir sebagian besar bangunan diperbaiki agar terlihat rapi dan bersih. “Kalau yang dulu kan model lama, terlihat kusam,†katanya.
Pemerintah DKI Jakarta meÂmaÂsukkan rumah Sutoyo sebagai cagar budaya golongan B. Bagian luar bangunan tidak boleh diutak-atik. Tata ruang boleh diubah asal tak mengubah struktur bangunan. Penambahan bangunan diperÂbolehkan.
Nari mengungkapkan, hampir setiap tahun anak-anak Sutoyo memÂperingati peristiwa penÂcuÂlikan dan pembunuhan ayah meÂreka. “Biasanya mereka memÂpeÂringati dengan mengibatkan benÂdera setengah tiangg,†bebernya.
Rumah yang didiami keluarga Sutoyo tergolong sederhana diÂbanÂdingkan rumah di kanan dan kiriÂnya yang rata-rata berÂlanÂtÂai dua dengan arsitektur moÂdern. RuÂmah yang berdiri di atas lahan 400 meter persegi hanya berlantai satu.
Rumah Sutoyo yang sudah direnovasi ini mempunyai gerÂbang masuk di sebelah kanan deÂngan lebar tiga meter. Pintu gerÂbang dari besi warna putih seÂtinggi satu meter dengan ujung runÂcing itu dalam keadaan terÂtutup. Dilihat dari modelnya, bentuk gerbang model lawas. Hanya catnya telah diperbarui.
Di samping kanan pintu masuk terdapat tiang stinggi 1,5 meter warna putih. Di tiang ini dipaÂsangi angka “17†berukuran kecil dari bahan kuningan sebagai penanda nomor rumah.
Di samping kiri pintu masuk dibangun pagar setinggi 1,5 meÂter dengan panjang 10 meter. PaÂgar tidak terlihat karena ditutupi dengan tanaman yang menutup seluruh pagar.
Di belakang pintu masuk terÂdapat carport yang hanya mampu memuat satu mobil. Kondisinya kosong. Di atas carport dipasang kaÂnopi dari genteng untuk menjaga kendaraan dari sengatan matahari dan guyuran air hujan.
Di samping kiri carport terÂdaÂpat halaman yang penuh dengan peÂpohonan yang rindang sehÂingÂga memÂbuat rumah terlihat asri dan adem. Salah satu pohon yang tumÂbuh di sini adah pohon KamÂboja.
Masuk lebih dalam terdapat garasi mobil dalam keadaan terÂtutup. Di sebelah kanan garasi terdapat pintu masuk ke dalam rumah.
Tak diketahui bagaimana benÂtuk dalam rumah, apakah juga telah diubah atau tidak. Kerai dari yang dipasang di bagian depan menghalangi pandangan.
Belum Pernah Direnovasi Sejak 1965
Masih di kawasan Menteng, teÂpatnya di Jalan Prambanan NoÂmor 8 terlihat bangunan model kuno yang telah dicat ulang.
Lingkungan di sini cukup rinÂdang dengan pohon-pohon besar tumbuh di pinggir jalan. Panas sinar matahari siang kemarin, tak terasa karena terhalang dedaunan pohon.
Siapa sangka di kawasan peÂmuÂkiman yang tenang ini pernah terjadi peristiwa berdarah. Mayor JenÂderal Mas Tirtodarmo HarÂyoÂno dibunuh pasukan TjakÂraÂbiÂrawa yang menyatroni rumahnya pada 1 Oktober 1965 dinihari.
Di rumah bernomor 8 di Jalan PramÂbanan inilah MT Haryono tinggal. Hingga kini rumah itu ditempati keluarganya.
Saat Rakyat Merdeka datang, konÂdisi rumah sepi. Untuk masuk ke dalam rumah harus melewati gerÂbang di bagian kanan pagar. GerÂbang dalam keadaan tertutup, naÂmun bisa dibuka karena tidak terkunci.
Di balik gerbang terdapat carÂport yang dinaungi atap dari polyÂcarbonate. Carport mengaÂrahÂkan ke teras rumah. Di tiang teras dipasang bel. Rakyat Merdeka lalu menekan bel sekali. Tak terÂlihat ada orang yang keluar.
Setelah dua kali ditekan baÂrulah seorang wanita keluar dari dalam rumah. “Maaf mau ketemu siapa?†tanyanya. Saat disamÂpaiÂkan hendak bertemu keluarga MT Haryono, ia mengatakan pengÂhuni rumah sedang kerja. “PuÂlangnya malam hari,†kata peÂremÂÂpuan yang memperkenal diri bernama Yati ini.
Yati mengatakan, sepeÂngetaÂhuanÂnya rumah ini belum pernah direnovasi. Agar tak terlihat kuÂsam, rumah dicat ulang.
Rumah MT Haryono memÂpunyai luas 700 meter persegi deÂngan cat warna putih yang terlihat mengkilap. Gerbang masuk ke dalam rumah berada di sebelah kanan dan kiri.
Gerbang masuk sebelah kiri dipergunakan untuk keluar maÂsuk mobil karena mempunyai ukuran yang cukup lebar. SeÂdangÂkan gerbang sebelah kanan untuk keluar masuk penghuni rumah.
Kedua pintu gerbang terbuat besi setinggi satu meter warna puÂtih dalam keadaan tertutup. DiÂatas pagar terdapat besi yang diÂrunÂcingkan.
Halamam rumah terletak di sebelah kanan gerbang. Pohon-poÂhon besar tumbuh di sini memÂbuat rumah itu teduh. Di teras rumah tersedia kursi lengkap dengan meja kayu untuk santai maupun menerima tamu.
Sebuah bangunan berlantai dua menempel di bagian kanan. BenÂtukÂnya juga lawas. Di bagian deÂpan bangunan terdapat atap dari beton.
Perlu 20 Tahun Hilangkan Trauma
Debu pekat yang sangat mengÂganggu pernapasan ketika menÂdekati rumah Mayor JenÂderal Donald Isaac Panjaitan di Jalan Hasanuddin Nomor 53, MeÂlawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Pasalnya di depan rumah meÂgah setinggi dua lantai sedang dibangun jalan layang non tol dari Jalan Antasari menuju Blok-M.
Rumah DI Panjaitan berdiri megah di antara komplek perÂkanÂtoran. Di rumah berukuran 1.000 meter persegi ditutupi deÂngan pagar yang terbuat dari besi setinggi dua meter.
Gerbang masuk berada disini kanan dan kiri dengan lebar emÂpat meter. Bagian atas pagar diÂruncingkan. Mobil keluar maÂsuk lewat gerbang sebelah kiri.
Gerbang itu dibangun sedikit menjorok ke dalam. Pintu gerÂbang dilapisi dengan polycarÂbonate warna hitam sehingga bagian dalam rumah tidak terÂlihat dari luar.
Gerbang masuk sebelah kiri dan kanan terdapat pagar rumah setinggi dua meter. Di balik pagar ditanami bamboo. TingÂginya mencapai enam meter sehingga menutupi pandangan ke dalam.
Di sisi kiri gerbang masuk ditempatkan bel untuk memÂbeÂritahu ada tamu di luar rumah. Sedangkan di tiang sebelah kaÂnan ditempel batu warna hitam yang huruf “Pâ€. Alamat rumah ini juga dicantumkan di baÂwahnya.
Bel dipencet namun tidak ada respons dari dalam rumah. SeÂpuluh menit lamanya meÂnungÂgu baru seorang wanita terlihat membuka penutup pagar yang berada di sela-sela gerbang.
Perempuan bernama Sri ini menyampaikan bahwa pengÂhuÂni rumah tidak ada. “Mereka sedang kerja dan baru pulang malam hari,†katanya.
Menurut dia, untuk bertemu dengan anak-anak DI Panjaitan harus ada janji terlebih dahulu. “Kalau nggak ada janji sulit ketemu mereka, soalnya mereka sibuk,†katanya.
Sri mengatakan, seluruh anak DI Panjaitan sampai saat ini masih tinggal di rumah ini. “IsÂtrinya sudah meninggal dua taÂhun lalu,†katanya.
Dalam pertemuan anak para jenderal pahlawan revolusi dan anak tokoh PKI di Gedung MPR, 1 Oktober 2010, CatheÂrine Panjaitan, putri Mayjen TNI Anumerta DI Panjaitan, mengaku butuh waktu 20 tahun untuk bisa menghilangkan rasa traumanya yang mendalam akibat kematian sang ayah di depan matanya.
Bahkan, ia enggan menonton film G/30/S yang dulunya selalu diputar di layar kaca pada tangÂgal 30 September. “Saya tidak pernah menonton film itu kaÂrena tidak mau ulangi (ingatÂan) dalam film itu. Saya melihat dari jauh bagaimana ayah saya ditembak,†kisah Catherine.
Namun Catherine meminta semua pihak saling memaafkan dan memandang semuanya dari segi kemanusiaan. “Kalau orang tua kita berbuat salah, jangan teruskan sampai ke anak cucu kita. Biarlah saya mengalah, saÂya meminta maaf kepada puÂtera-putera yang dulu diangÂgap lawan,†katanya. [rm]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.