Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dilarang Bertemu Tahanan, Boleh Wawancara Bos Rutan

Ke Salemba Pasca Keluarnya Larangan Meliput

Kamis, 11 Agustus 2011, 06:58 WIB
Dilarang Bertemu Tahanan, Boleh Wawancara Bos Rutan
RMOL. Jati berdiri tegap di belakang pintu masuk Rumah Tahanan (Rutan) Salemba di Jalan Percetakan Negara Nomor 88, Jakarta Pusat, Rabu siang (10/8). Kedua tangannya memegang kunci pintu masuk. Ia akan membuka pintu bila ada orang yang ingin membesuk keluarganya yang mendekam di situ.

Pria yang berprofesi sebagai petugas jaga Rutan ini matanya selalu awas bila ada pengunjung.

Jati mengatakan, bila ingin masuk ke dalam Rutan Salemba harus melapor telebih dahulu ke petugas pendaftaran. Setelah mendapat nomor antrean baru bisa masuk ke dalam.

Namun, bila ingin meliput ke dalam Rutan atau bertemu de­ngan narapidana, kata Jati, harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Kepala Kantor Wilayah Ke­menterian Hukum dan HAM DKI Jakarta atau ke Direktur Jenderal Pemasyarakatan. “Kalau sudah dapat izin dari mereka, baru diperbolehkan masuk,” katanya.

 Akan tetapi bila ingin wa­wa­n­cara dengan kepala rumah t­a­ha­nan (karutan), kata Jati, bisa lang­sung menuju ke ruangannya tan­pa harus ada izin terlebih dahulu. “Tapi sekarang Karutan sedang ti­dak ada di sini (Rutan) karena ada acara di Kanwil (Kemenkum dan HAM Jakarta),” katanya.

Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan larangan pe­liputan di dalam penjara. Lara­ngan ini dituangkan dalam surat edaran Direktur Jenderal Pe­ma­syarakatan (Dirjenpas) Nomor PAS.HM.01.02.16 tertanggal 10 Mei 2011.

Edaran ini berisi. Pertama, se­tiap narapidana atau tahanan ti­dak diperkenankan diwawancara baik langsung maupun tidak langsung, melalui media cetak mu­pun elektronik antara lain be­rupa wawancara, talkshow, teleconference, maupun rekaman.

Ke­dua, setiap lapas atau rutan tidak diperbolehkan sebagai tem­pat peliputan dan pembuatan film. Karena selain mengganggu kegiatan pembinaan dan merusak ketentraman penghuni, juga akan berdampak pada gangguan si­s­tem keamanan Lapas atau Rutan.

Ketiga, peliputan untuk ke­pen­tingan pembinaan dan do­ku­mentasi negara dapat dilakukan se­cara selektif setelah mendapat izin dari Dirjenpas atau bila perlu dari Menteri Hukum dan HAM.

Sebagai petugas jaga, ke­luarnya larangan bagi peliputan di rutan tak mengagetkan Jati. Se­bab, kata dia, selama ini untuk li­putan di rutan ini harus mendapat izin dari Kanwil. “Bila belum ada izin, maka tidak diperbolehkan masuk.” Surat edaran ini mem­per­kuat aturan yang telah dite­rapkan di Rutan Salemba.

Di depan Rutan Salemba yang berdiri sejak 1918 dengan luas se­besar 42.132 meter persegi ini ber­diri tenda semi permanen ber­ukuran 4x3 meter.

Di bawah tenda warna biru diletakkan enam kursi panjang  diperuntukkan bagi pengunjung yang antre masuk ke dalam.

 Sebelum masuk ke dalam, pe­ngunjung lebih dahulu me­ngam­bil formulir di loket yang berada di depan tenda. Loket yang di­batasi kaca dengan lubang kecil di bagian bawah itu dijaga dua petugas.

Di bagian depan loket ditempel papan pengumuman waktu ber­kunjung.  Waktunya Senin sam­pai Minggu mulai pukul 09.30-15.30 WIB, dengan waktu isti­ra­hat mulai pukul 12.00-13.00 WIB.

Untuk hari Jumat tidak ada jadwal kunjungan. Di bawah pengumuman waktu kunjungan ditulis peraturan berkunjung. Yakni maksimal selama 30 menit, kunjungan tidak dipungut biaya dan dilarang berkunjung malam hari. Di dinding sebelah kanan loket pendaftaran, ditempel papan pengumuman yang tak terlalu besar.

“Pelayanan kunjungan tidak dipungut biaya. Pengunjung di­larang memberikan suap kepada petugas dengan bentuk dan ke­pen­tingan apapun. Petugas juga dilarang melakukan pungutan liar dengan bentuk dan kepen­ti­ngan apapun”. Demikian tulisan di papan itu.

Setelah mengambil formulir kun­jungan, pengunjung kemu­dian mengisinya. Sebagai tempat menulis disediakan meja setinggi perut orang dewasa yang bisa di­gu­nakan empat orang sekaligus.

Bagaimana dengan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Ci­pi­nang? Apakah juga telah mene­rapkan larangan itu? Menurut Kepala Lembaga Pe­ma­sya­ra­katan (Kalapas) Cipinang, Wayan Sukerta, surat edaran Dirjenpas yang melarang media untuk meliput kegiatan di lapas sudah diterapkan di LP Cipinang sejak lama.

Bahkan sebelum adanya pe­ra­turan, kata Wayan, Lapas Ci­pi­nang juga memberlakukan aturan bahwa wartawan yang ingin meliput ke dalam harus dapat izin dari Dirjen Pemasyarakatan atau Kantor Wilayah Kementerian Hu­kum dan HAM DKI Jakarta.

Kenapa surat edaran itu tak ditempel? Wayan beralasan, wartawan pasti sudah mengetahui aturan baru itu.

Wayan meminta jangan me­lihat surat edaran itu dengan cara yang kaku. “Bisa saja wartawan yang ingin meliput ke dalam LP Cipinang izin melalui saya da­hulu, kemudian saya yang me­neruskannya ke Dirjen bila ingin meliput sesuatu yang penting,” katanya. Yang penting, kata Wayan, semua peliputan bertu­juan positif untuk membangun Lapas agar lebih baik ke depan.

Wayan menjelaskan, unsur pem­binaan kepada narapidana yang ada didalam Lapas bisa ber­jalan dengan baik bila dilakukan oleh tiga eleman. Yaitu, petugas. Kedua, narapidana dan ketiga, masyarakat.

Dengan adanya dukungan dari masyarakat termasuk di da­lam­mya pers, lanjut dia, pembinaan nara­pidana yang ada di dalam Lapas akan berjalan dengan baik.

Peraturan Internal Tak Boleh Langgar UU

Ketua Komisi Pengaduan Ma­syarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers Agus Sudibyo me­ngatakan, larangan peliputan di rumah tahanan ataupun di lem­baga pemasyarakatan berle­bi­han. Penerapan aturan itu meng­ham­bat akses wartawan memperoleh informasi.

“Kenapa hanya berlaku untuk wartawan, harusnya untuk se­mua orang,” katanya. Menu­rutnya, harusnya aturan-aturan seperti itu diperuntukkan bagi semua orang, bukan hanya un­tuk wartawan. “Mestinya ada perlakuan yang simetris,” ujarnya.

Agus mengungkapkan, kasus serupa bukan hanya di lapas. Kata dia, saat ini Dewan Pers juga te­ngah memantau larangan liputan di sebuah sekolah di Pu­lo­gadung. Di situ, wartawan ha­nya bisa me­liput jika mengan­tongi izin ter­lebih dahulu dari Dinas Pendidikan.

Dewan Pers, tegas Agusm da­lam waktu dekat Dewan Pers akan mengundang Kementerian Hu­kum dan HAM untuk memin­ta penjelasan atas terbitnya surat edaran itu.

Tetapi sebelum itu, Dewan Pers akan mempelajari terlebih dahulu aturan internal yang dibuat oleh kementerian yang terkait.

“Kita mau cari dulu peratu­rannya se­perti apa. Kita pelajari, lalu kita undang pihak Ke­men­terian ke Dewan Pers,”  katanya.

Menurut Agus, sebetulnya se­tiap lembaga memiliki hak un­tuk membuat peraturan di int­er­nal­nya. Asal saja tidak berten­tangan dengan Undang-undang Pers dan Undang-Undang Ke­bebasan In­formasi Publik. “Yang penting ti­dak melanggar itu,” katanya.

Menkumham: Tidak Tertutup Sama Sekali

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum dan HAM) Patrialis Akbar me­ngatakan, surat edaran Di­rektorat Jenderal Pem­as­ya­ra­katan Kementerian Hukum dan HAM yang melarang wartawan tidak boleh meliput di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dimaksudkan untuk menjaga kenyamanan semua pihak yang berada di dalam penjara.

“Oh, tidak mengekang ke­bebasan pers, justru untuk menjaga kenyamanan semua pi­hak, termasuk juga kenya­ma­nan pegawai yang bekerja disitu,”  kata politisi PAN.

Patrialis menjelaskan, awak media masih tetap bisa mela­ku­kan aktifitas peliputannya di dalam penjara. Namun, setiap aktifitas yang dilakukan harus seizin Dirjen Pema­sya­rakatan (Dirjenpas).

“Tapi boleh masuk ada saat­nya, kan disitu ada peng­e­cu­a­lian, kecuali atas izin Dir­jen­Pas. Jadi tidak tertutup juga, tapi terkoordinir lebih baik. Istilahnya teman-teman mau kesana, ya udah maksudnya apa mau ketemu siapa, nan­tikan bisa koordinasi, sudah izin sama DirjenPas, sehingga kawan-kawan yang bekerja di Lapas pun merasa tenang,” ungkapnya.

Menurut Patrialis, keha­diran pers secara intens tanpa disadari justru bisa mengganggu aktivitas petugas di dalam lem­baga pemasyarakatan (lapas) atau rumah tahanan (rutan).

Intensitas pers memberitakan informasi yang berhubungan dengan narapidana atau tersangka yang ditahan dari dalam tahanan, lanjutnya, juga berpotensi meng­ganggu proses penyidikan kasus.

“Ya pasti ada plus minusnya, ada saatnya wartawan boleh ma­suk, tapi tidak sebebas-bebasnya. Karena itu juga akan meng­gang­gu orang-orang yang ada di da­lam. Yang jadi pikiran juga ja­ngan nanti adanya pikiran bahwa wawancaranya ada unsur-unsur politik,” katanya.

Ditegaskan Patrialis, per­ny­­a­taan pelarangan media tersebut yang dilontarkan sebagian pihak justru tidak akan bermanfaat. Pasalnya, melarang pers melaku­kan tugas peliputan, sama saja melanggar hukum. Kalau ada ungkapan seperti itu, justru akan membuat sesuatu yang tidak bermanfaat.

“Kan sekarang zaman sudah ter­­buka, tapi kan juga tidak mung­kin melarang teman-teman pers untuk memberitakan sesua­tu, karena itukan juga melanggar hukum kan,” katanya.   [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA