Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia mengomentari dikeluarkannya Keputusan KPU 731/2025 tentang Penetapan Dokumen Persyaratan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai Informasi Publik yang dikecualikan KPU.
Direktur DEEP Indonesia Neni Nurhayati menjelaskan, prinsip transparansi dan akuntabilitas publik dalam pemilu mengalami kemunduran, karena beleid tersebut bukan sekedar keliru secara hukum tetapi juga berbahaya secara politik.
"KPU secara efektif mengunci akses publik terhadap informasi vital yang menentukan integritas calon pemimpin bangsa," ujar Neni dalam keterangan tertulisnya, Selasa 16 September 2025.
Apalagi, menurutnya, dokumen yang ditutup seperti daftar riwayat hidup, profil singkat, dan rekam jejak setiap bakal calon, laporan harta kekayaan (LHKPN), serta surat keterangan lainnya.
"Hal ini juga bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yang menjamin hak setiap orang untuk memperoleh informasi dan mendorong partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang terbuka dan transparan," kata Neni.
Lebih lanjut, Neni memandang, badan publik seperti KPU wajib menyediakan informasi, apalagi berkaitan dengan hal krusial seperti terkait dengan rekam jejak calon pemimpin.
"KPU tidak boleh berlindung di balik alasan perlindungan data pribadi untuk menutup dokumen publik yang krusial. Menutupnya berarti mengunci hak rakyat untuk tahu dan melemahkan akuntabilitas pemilu," kata Neni.
Neni menekankan bahwa KPU adalah lembaga publik yang harus berintegritas, dan tidak boleh menjadi alat penguasa untuk kepentingan politik pragmatis.
BERITA TERKAIT: