Di satu sisi, kehadiran tokoh-tokoh global tersebut dinilai dapat memperkuat jaringan dan citra internasional Danantara. Namun di sisi lain, kalangan masyarakat sipil, termasuk dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pemantau Kinerja Aparatur Negara (Penjara 1), justru mempertanyakan urgensi dan arah kebijakan strategis yang semakin bergantung pada pengaruh luar negeri.
“Kami tidak sedang menghakimi. Kami hanya mengingatkan bahwa tidak semua yang bercahaya berasal dari matahari. Ada pula cahaya yang menyesatkan pandangan,” ujar Ketua Umum LSM Penjara 1, Teuku Z. Arifin, dalam keterangan tertulisnya, Kamis 3 April 2025.
Arifin menegaskan dukungan pihaknya terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang sah dan terpilih secara demokratis. Namun sebagai bagian dari masyarakat sipil yang memiliki komitmen moral menjaga transparansi dan kedaulatan publik, mereka merasa perlu menyampaikan beberapa catatan.
“Kami tetap menghormati arah pembangunan yang ditempuh pemerintahan saat ini. Tapi sebagai aktivis yang hidup di tengah denyut hati rakyat, kami merasa perlu mengetuk pintu kesadaran bersama. Tak semua langkah perlu dibenarkan hanya karena datang dari mereka yang punya nama besar dan paspor asing,” tegas Arifin.
Pernyataan tersebut bukan bentuk penolakan terhadap kerja sama internasional. Namun, Arifin mengingatkan agar semangat nasionalisme tetap menjadi fondasi utama dalam setiap kebijakan yang menyangkut masa depan ekonomi dan investasi bangsa.
Antara Kolaborasi Global dan Kepercayaan Diri NasionalMenurut Kepala Investasi Danantara, Pandu Patria Sjahrir, keberadaan tokoh-tokoh asing ini diperlukan untuk menghadapi tantangan makro ekonomi dan geopolitik global yang terus berkembang. Namun LSM Penjara 1 memandang, narasi tersebut tidak sepenuhnya menjawab kekhawatiran publik tentang kedaulatan arah kebijakan negara.
"Bangsa ini tidak pernah kekurangan tokoh berkualitas. Kita punya akademisi, ekonom, praktisi investasi, bahkan tokoh masyarakat yang lahir dari rahim Republik ini sendiri. Yang kita butuhkan hanyalah keberanian untuk percaya pada kemampuan bangsa sendiri, bukan meminjam legitimasi dari luar,” tutur Arifin.
Pihaknya juga menyinggung bahwa kehadiran para penasihat asing harus dilihat secara lebih kritis, terutama dalam hal potensi konflik kepentingan dan pengaruh terhadap alokasi sumber daya strategis negara. Apalagi jika nasihat yang diberikan berpotensi mengarahkan keputusan investasi yang menyentuh sektor-sektor vital nasional.
Lebih lanjut, Arifin menyampaikan harapan agar proses pembangunan nasional tetap berpijak pada semangat kemandirian dan nasionalisme yang telah diwariskan para pendiri bangsa. Di tengah gelombang globalisasi yang begitu kuat, menjaga akal sehat dan jati diri kebangsaan menjadi tanggung jawab bersama.
“Kami hanya menyampaikan secangkir pengingat kecil di tengah sajian megah yang bernama modernisasi. Bukan karena kami antiglobal, tetapi karena kami pro Indonesia. Kalau bukan kita yang menjaga rumah ini, maka siapa lagi?” tutup Arifin.
BERITA TERKAIT: