Hal ini dikatakan Ketua Aliansi Masyarakat Jakarta (Amarta), M.Rico Sinaga. Bukti pertama, Ahok melawan UU Pilkada terkait aturan wajib cuti kampanye bagi petahana yang mencalonkan diri dalam Pilkada. Ahok mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi dengan dalih tidak mau meninggalkan pembahasan APBD Jakarta di DPRD.
Rico mengingatkan, ketika Ahok maju sebagai Cawagub di Pilkada Jakarta tahun 2012, ia selalu mengkritik petahana yang maju, Fauzi Bowo yang akrab dipanggil Foke. Saat itu Ahok menuding incumbent rentan menyalahgunakan kekuasaannya sebagai Gubernur, memperalat birokrasi serta APBD untuk memenangkan dirinya. Bahkan Ahok mengatakan bila dirinya, dan Joko Widodo sebagai Cagub, kalah dalam Pilkada maka bisa dipastikan akibat kecurangan incumbent.
"Ketika Ahok sebagai incumbent bernafsu untuk kembali maju di Pilkada DKI, seakan lupa apa yang pernah dituduhkan Beliau terhadap Foke saat itu. Ahok menolak dengan berbagai argumen yang hanya menjadi cemoohan masyarakat," ujar Rico yang juga mantan relawan pemenangan Fauzi Bowo pada Pilgub Jakarta tahun 2007 dan 2012.
Bukti lainnya, Ahok terang-terangan membiarkan mesin birokrasi Jakarta tidak netral, dengan tetap mempertahankan Kepala Badan Pengelola Keuangan Aset Daerah DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, dan Sekretaris Daerah DKI Jakarta, Saefullah.
Heru sejak awal digandeng Ahok untuk menjadi Cawagub dalam Pilkada 2017. Sedangkan Saefullah ketahuan berniat maju ke Pilkada mendatang setelah mengikuti penjaringan partai politik.
"Mereka sudah tidak netral ketika mereka memastikan diri untuk maju dalam kontestasi Pilgub ini. Terlepas kepastian dicalonkan atau tidak, namun secara etika ketika parpol sudah melakukan penjaringan terhadap mereka, akan sangat rentan terjadi perselingkuhan politik," tambah Rico.
Kalau Ahok tidak ingin menciptakan kegaduhan baru dalam pemerintahannya, lanjut Rico, hal penting untuk dilakukan adalah mencopot Saefullah dari jabatan Sekda, juga Heru dari posisinya sebagi Kepala BPKD. Keduanya sebagai PNS aktif sudah terlibat politik praktis, yang dalam aturan UU tegas dilarang. Tugas serta fungsi jabatan vital yang mereka pegang menjadi tidak maksimal. Contoh soal pendapatan daerah stagnan semenjak kepemimpinan Ahok. Penyerapan anggaran Jakarta paling buruk selama ini, serta koordinasi yang lemah antar institusi di bawah koordinasi Sekda.
"Kepala BPKD yang mengelola aset ratusan triliun Pemprov DKI merugikan ratusan miliar uang rakyat yang dihimpun melalui pajak. Mulai dari pembelian lahan Sumber Waras, lahan Rusun Cengkareng serta aset lainnya, yang seperti bom waktu akan meledak pada saatnya," terang Rico.
Selain memaksa dua pejabat itu mundur, Ahok pun mesti mematuhi aturan UU Pilkada bilamana ia nanti ditetapkan menjadi calon pada Pilkada mendatang. Hal ini wajib dilakukan agar rasa keadilan dapat berlaku sama untuk semua orang yang akan berlaga di arena Pilkada.
"Semoga pemerintah pusat dalam hal ini Kemendagri, KPU, Bawaslu, serta masyarakat luas dapat jeli melihat manipulasi yang dikemas dalam perselingkuhan politik yang menjadikan Ahok beserta kroninya sebagai aktor intelektual dalam menyiasati segala hal agar dapat mempertahankan jabatan yang sudah ada saat ini," pungkas Rico.
[ald]
BERITA TERKAIT: