Hal itu disampaikan Mahfud dalam Kuliah Perdana Program Magister Hukum UII, Sabtu (14/9).
“Ketatanegaraan di Indonesia sejak tahun 1945 berkembang terus, terjadi dinamika, perubahan-perubahan ketatanegaraan terus terjadi, selalu dinamis. Tapi prinsip negara hukum terus bertahan,” kata Mahfud dikutip
RMOL dalam akun Youtube
Mahfud MD Official, Rabu malam (18/9).
“Jadi yang mengatur jalannya pemerintahan itu harus negara hukum, yang lain itu alat,” tambahnya.
Lanjut dia, Indonesia dalam konstitusinya tertulis jelas sebagai negara hukum dan demokrasi. Hal itu berdasarkan perdebatan panjang dalam forum BPUPKI pada 10 Juli 1945.
“55 orang memilih demokrasi dan 7 orang ingin kerajaan (monarki). Voting dalam demokrasi tak terpisahkan. Jangan bermimpi semuanya harus sepakat, tidak mungkin, kayak Pemilu itu kan voting,” jelasnya.
Mahfud menjelaskan bahwa NKRI didirikan berdasarkan voting, maka dari itu jangan ada pihak yang mengharamkan voting, walaupun di Indonesia dikenal dengan sebutan demokrasi permusyawaratan.
Mantan Menko Polhukam itu menegaskan bahwa demokrasi yang sudah menjadi pilihan para pendiri bangsa juga harus melalui legitimasi hukum.
“Tidak boleh demokrasi tanpa hukum, sehingga demokrasi itu kalau di bahasa ilmiahkan namanya nomokrasi. Nomokrasi itu kedaulatan hukum, demokrasi itu kedaulatan rakyat. Prinsipnya negara demokrasi itu saling menguatkan dengan negara hukum,” bebernya.
“Ada adagium demokrasi tanpa nomokrasi itu liar, anarkis, orang mau menangnya sendiri, bertindak sendiri,” tegasnya.
Mahfud pun mengurai saat ini terjadi demokrasi yang main-main alias kembali otoriter.
“Negara kecenderungan menjadi otoritarian, terutama di tingkat elite. Pembentukan peraturan perundang-undangannya menjadi konservatif, sepihak. Kalau saya ingin ini, dibahas hari ini, sore jadi, besok bisa disahkan. Tapi kalau penguasa tidak ingin ini, undang-undangnya tidak pernah dibahas,” pungkasnya.
BERITA TERKAIT: