Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kiprah Konga Jaga Ketertiban Dunia

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/republikmerdeka-id-5'>REPUBLIKMERDEKA.ID</a>
OLEH: REPUBLIKMERDEKA.ID
  • Jumat, 05 Februari 2021, 08:39 WIB
Kiprah Konga Jaga Ketertiban Dunia
Patung Penjaga Perdamaian di kawasan Indonesia Peace and Security Center (IPSC), Bogor. Diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa (16/8/2014)/KOMPAS.com
rmol news logo Presiden Soekarno menyematkan nama Kontingen Garuda (Konga) kepada prajurit TNI yang dikirim membantu penciptaan perdamaian di Mesir saat konflik Terusan Suez tahun 1957. Saat ini Indonesia peringkat delapan pengirim pasukan perdamaian PBB terbanyak di dunia.

Ledakan dahsyat mengguncang Kota Beirut, Lebanon, Selasa, 4 Agustus 2020, pukul 18.10 waktu setempat. Tak kurang dari 2070 ton amonium nitrat yang disimpan pada sebuah gudang di pelabuhan kota itu tiba-tiba berubah menjadi bencana ‘bom atom’.

Duar. Duar. Kota Lebanon luluh lantak hingga radius beberapa kilometer dari pusat ledakan. Saking dahsyatnya, sebuah lubang dengan radius 200 meteran menganga di pusat ledakan. Ribuan bangunan di sekelilingnya hancur. Ratusan orang tewas dan lebih dari 5.000 orang lainnya luka-luka.

Saat insiden itu terjadi, ada 1.447 warga negara Indonesia yang tengah berada di Lebanon. Sebagian besar adalah pasukan TNI yang tergabung dengan Kontingen Garuda. Jumlahnya 1.234 orang. Sedangkan 234 lainnya adalah warga sipil, termasuk mahasiswa yang tengah belajar di negara itu.

Pasukan TNI di Lebanon itu tengah mengemban misi sebagai pasukan perdamaian dunia sebagai pasukan interim Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Lebanon (United Nations Interim Force in Lebanon/UNIFIL). “Pasukan Indonesia di UNIFIL ini turut membantu proses evakuasi segera setelah ledakan,” terang Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Jumat 7 Agustus 2020.

Lebanon bukanlah kota yang asing bagi TNI. Selama lebih dari tiga dekade, Lebanon menjadi tempat pengabdian sejumlah prajurit TNI yang ditugaskan sebagai pasukan perdamaian PBB. Mereka dinamai Kontingen Garuda (Konga). Nama itu disematkan Presiden Soekarno, saat melepas pertama kali pasukan TNI untuk menjaga perdamaian di Mesir, tahun 1957. Sejak itu nama Konga atau Pasukan Garuda disematkan untuk prajurit TNI/Polri yang dikirim ke negara lain.

Ada catatan historis di balik keputusan mengirimkan pasukan TNI ke luar Indonesia untuk pertama kali tersebut. Hal ini tidak terlepas dari rasa terima kasih Indonesia pada jasa Mesir pada masa-masa awal kemerdekaan.

Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Mesir adalah negara yang pertama meyatakan dukungan. Mesir bahkan menginisiasi Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara Liga Arab untuk mendukung kemerdekan RI. Pada 18 November 1946, Sidang Menlu Negara Liga Arab menetapkan resolusi yang berisi pengakuan Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat penuh. Pengakuan tersebut adalah suatu pengakuan de jure pertama atas kemerdekaan Indonesia menurut hukum internasional.

Sekretaris Jenderal Liga Arab ketika itu, Abdurrahman Azzam Pasya, bahkan mengutus Konsul Jenderal Mesir di India, Mohammad Abdul Mun'im untuk mengunjungi Indonesia menyampaikan langsung pengakuan Sidang Menlu Liga Arab.

Kunjungan Konjen Mesir dari India itu bukan sesuatu mudah. Penuh rintangan, terutama dari pihak Belanda. Tapi Abdul Mun'im berhasil sampai ke Yogyakarta, ibu kota RI ketika itu.

Kedatangannya diterima secara kenegaraan oleh Presiden Soekarno dan Bung Hatta pada 15 Maret 1947. Pengakuan dari Sidang Menlu Liga Arab, khususnya Mesir inilah merupakan pengakuan pertama atas kemerdekaan RI oleh negara asing.

Hubungan baik Indonesia dengan negara-negara Arab berlanjut dengan dibukanya Perwakilan RI di Mesir. HM Rasyidi ditunjuk sebagai Charge d'Affairs atau "Kuasa Usaha" RI untuk Mesir sekaligus merangkap sebagai misi diplomatik tetap untuk seluruh negara-negara Liga Arab.

Di forum Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB yang membicarakan sengketa Indonesia-Belanda, para diplomat Liga Arab gigih mendukung Indonesia

Sebagai bentuk penghargaan atas pembelaan negara-negara Arab di forum internasional itu, Presiden Soekarno membalas dengan mengunjungi Mesir dan Arab Saudi pada Mei 1956 serta Irak pada April 1960.

Momentum untuk membalas budi didapat Indonesia ketika Mesir mengalami konflik militer berskala besar pada tahun 1956 yang membuat PBB campur tangan. Pemicunya adalah langkah Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser menasionalisasi Terusan Suez pada Juli 1956.

Mengutip laman Britannica, Israel yang tengah berperang melawan Mesir ditambah Inggris dan Perancis merasa kepentinganya terganggu dengan langkah nasionalisasi itu. Mereka membentuk aliansi militer dan merencanakan penyerangan terhadap Mesir.

Ketiga negara tersebut sepakat untuk menginvasi Mesir dengan tujuan untuk membatalkan nasionalisasi Terusan Suez. Bahkan bila perlu menggulingkan Presiden Nasser. Misi ini jadi kesepakatan rahasia The Protocol Sèrves yang bocor ke publik di kemudian hari.

Pasukan Israel menyerang terlebih dulu pada 26 Oktober 1956. Dua hari berselang, Inggris dan Perancis bergabung. Aliansi ini berhasil menduduki Terusan Suez.

Krisis yang terjadi dalam periode Perang Dingin, juga dipengaruhi kubu Soviet dan Amerika Serikat. Soviet mengancam akan menghujani Inggris dan Perancis dengan misil nuklir jika terus melanjutkan serangan terhadap Mesir.

Mencegah eskalasi perang bertambah besar, Amerika Serikat pun turun tangan. AS mengancam ketiga negara tersebut dengan sanksi ekonomi jika mereka tetap melanjutkan serangan. Di bawah tekanan internasional itu ketiga negara akhirnya bersedia mundur.
 
Resolusi Majelis Umum PBB memerintahkan pasukan Inggris, Prancis dan Israel keluar dari wilayah Mesir pada 1956. PBB membentuk United Nations Emergency Force (UNEF) untuk dikirmkan ke Mesir guna mengamankan situasi dan menggantikan posisi pasukan Inggris dan Prancis.

UNEF merupakan pasukan bersenjata penjaga perdamaian yang pertama kali dibentuk PBB sebagai respon dari Krisis Suez yang memburuk. Indonesia mendukung keputusan itu. Indonesia pun mengirim pasukan perdamaian untuk membantu Mesir pada 8 Januari 1957.

Presiden Soekarno menamakan pasukan TNI itu dengan Kontingen Garuda I. Terdiri dari gabungan personel dari Resimen Infanteri-15 Tentara Territorium (TT) IV/Diponegoro serta 1 kompi dari Resimen Infanteri-18 TT V/Brawijaya di Malang.

Konga I berkekuatan 559 orang pasukan. Dipimpin oleh Letnan Kolonel Infanteri Hartoyo yang kemudian digantikan oleh Letnan Kolonel Infanteri Suadi Suromihardjo. Sedangkan wakilnya adalah Mayor Infanteri Soediono Suryantoro.

Pasukan ini berangkat menumpang pesawat C-124 Globe Master dari Angkatan Udara Amerika Serikat (AS) menuju Beirut, ibu kota Lebanon. Sesampainya di Beirut, pasukan Konga I dibagi dua. Sebagian menuju Abu Suweir dan sebagian lain ke Al Sandhira.

Selanjutnya pasukan di El Sandhira dipindahkan ke Gaza, daerah perbatasan Mesir dan Israel. Sedangkan kelompok Komando berada di Rafah. Kontingen ini mengakhiri masa tugasnya dengan gemilang pada 29 September 1957. Inilah titik awal Indonesia hingga akhirnya pemain penting dalam pasukan penjaga perdamaian PBB.

Tiga tahun kemudian, Indonesia pun mengirim misi Konga II ke Republik Demokratik Kongo. Pada 1960 itu, Kongo dilanda konflik dalam negeri berdarah. Krisis Kongo terjadi akibat pertentangan Perdana Menteri Patrice Lumumba terhadap upaya separatisme di provinsi Katanga.

Pasukan yang tergabung dalam Konga VIII/2 itu dikirim ke Timur Tengah pada 1975. Kemudian Kontingen Garuda XX/D, pernah diberangkatkan ke Republik Demokratik Kongo, pada 2006-2007.

Mereka berasal dari Kompi Zeni yang terdiri dari kelompok komando 27 orang, tim kesehatan 11 orang, ton bantuan 30 orang, ton 1 Zikon 22 orang, ton 2 Zikon 22 orang, ton 3 Zikon 22 orang, dan ton Alberzi 41 orang.

Hingga 63 tahun sejarahnya, Kontingen Garuda sudah terlibat dalam puluhan misi perdamaian dunia di bawah bendera PBB. Dikutip dari PBB dan Organisasi Internasional (2018), keterlibatan Pasukan Garuda dalam misi Peacekeeping Operation (UNPO) atau Misi Pemeliharaan Perdamaian (MPP) PBB sejak tahun 1957 telah diakui berbagai pihak.

Pada masa-masa awal MPP PBB, perannya lebih banyak terfokus pada upaya memelihara gencatan senjata dan stabilisasi situasi dalam perang. Gencatan senjata di negeri yang sedang bertikai, faktor penting untuk memberi kesempatan usaha politik dan diplomasi sebagai penyelesaian konflik.

Setelah berakhirnya era Perang Dingin, tugas MPP PBB mulai berubah dari misi "tradisional" yang lebih mengedepankan tugas-tugas militer, menjadi misi kemanusian yang lebih luas.

MPP PBB kini lebih banyak melibatkan polisi dan unsur sipil, seiring berubahnya konflik yang dihadapi. Jika sebelumnya tantangannya adalah konflik antarnegara, kini MPP PBB dituntut untuk dapat diterjunkan pada berbagai konflik internal dan perang saudara.

MPP PBB juga dihadapkan pada realitas semakin meningkatnya konflik yang bersifat asimetris, ancaman kelompok bersenjata, terorisme dan radikalisme, serta penyakit menular.

Mengutip data dari UN Peace Keeping Force, per 31 Januari 2020 saja, tercatat 2075 pasukan perdamaian PBB berasal dari Indonesia. Jumlah itu menempatkan Indonesia menjadi pengirim pasukan perdamaian terbanyak di Asia Tenggara dan peringkat 8 dari 124 negara 124 negara penyumbang pasukan perdamaian dunia.

Kontingen Garuda itu terlibat dalam berbagai misi seperti misi UNIFIL (Lebanon), UNAMID (Dafur, Sudan), MINUSCA (Republik Afrika Tengah), MINUSMA (Mali), MONUSCO(Republik Demokratik Kongo), MINUJUSTH (Haiti), MINURSO (Sahara Barat), UNMISS (Sudan Selatan) dan UNISFA (Abyei, Sudan).

Sesuai Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea IV, salah satu tujuan negara yakni menjaga ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Kontribusi pasukan perdamaian Indonesia ke Misi Pemeliharaan Perdamaian PBB merupakan wujud pelaksanaan mandat Konstitusi yang mengamanatkan Indonesia untuk "ikut melaksanakan ketertiban dunia."

Pengiriman pasukan perdamaian PBB juga merupakan instrumen pencapaian politik luar negeri sekaligus sebagai sarana peningkatan kapasitas dan profesionalisme personel TNI dan Polri.

Seperti amanat Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, saat pemberangkatan Satgas Kompi Zeni TNI yang akan bergabung dengan Konga XX-Q MONUSCO di Kongo, di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis, 30 Januari 2020, sebagai pasukan pemelihara perdamaian dunia, TNI membawa misi negara, baik dari aspek militer, politik, diplomasi maupun budaya.

Tugas sebagai pasukan perdamaian PBB merupakan penugasan yang dipercayakan oleh dunia berlandaskan moral, filosofi dan doktrin pertahanan serta perjuangan bangsa Indonesia yang cinta damai namun lebih mencintai kemerdekaan.

Pasukan Garuda berkewajiban mengemban nama baik dan kehormatan bangsa dan negara. Berbagai prajurit TNI dalam misi perdamaian dunia selalu menuai keberhasilan, termasuk pendekatannya kepada masyarakat dalam rangka mendukung pencapaian tugas pokok.

Pengiriman pasukan perdamaian dari Indonesia tersebut sebagai bentuk show of force yang diharapkan dapat menimbulkan efek cegah tangkal atau deterent effect dan sebagai salah satu faktor dalam meningkatkan peran Indonesia guna memperkuat bargaining position dalam percaturan politik dunia internasional.
“Keberhasilan pelaksanaan tugas para prajurit akan sangat menentukan citra dan prestasi, serta keberlanjutan misi-misi perdamaian Indonesia di masa mendatang,” ujar Panglima TNI. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA