Selamat Idul Fitri
Selamat Idul Fitri Mobile
Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) Menuai Polemik

Rabu, 27 Maret 2019, 10:08 WIB
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) Menuai Polemik
Foto/Net
rmol news logo Draf Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), memantik polemik.

Dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM), ada peruba­han RUU PKS menjadi 52 pasal, dari yang sebelumnya terdapat 152 pasal.

RUU ini, menuai pro kontra, karena dianggap mendu­kung seks bebas dan LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender). Hal ini ditunjukkan dengan penyampaian petisi menolak RUU itu, dengan judul provokatif, "Tolak RUU Pro Zina" beberapa waktu lalu.

Pemerintah, melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA), sudah membantah opini tersebut. Menurut Kementerian PPA, RUU ini justru harus segera disahkan, karena berpihak kepada kepent­ingan para korban kekerasan seksual.

RUU PKS mengerucutkan sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual, menjadi empat jenis tindak pidana dalam bentuk DIM. Empat jenis tindak pidana itu adalah pencabulan, persetubuhan dengan kekerasan, ancaman kekerasan atau tipu muslihat, eksploitasi seksual dan penyiksaan seksual.

Sebelumnya ada sembilan bentuk kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi dan perkosaan. Selanjutnya adalah pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, serta penyiksaan seksual.

Apa sebetulnya yang menyebabkan pihak kontra men­ganggap RUU ini pro LGBT dan seks bebas? Apakah mereka tidak mempertimbangkan bahwa disahkannya RUU ini, bisa melindungi para korban? Lantas, ba­gaimana pandangan pihak yang pro? Berikut penjelasan lengkapnya.

Euis Sunarti: Tak Vulgar LGBT, Tapi Maknanya Seperti Itu

Kenapa Anda menolak RUU PKS? Ada beberapa alasan mengapa RUU ini harus ditolak. Pertama, RUU ini dirumuskan dengan filosofi, nilai dan teori sosial konflik yang diimplementasikan dalam feminist legal theory dan gender.

Memangnya kenapa jika filo­sofinya seperti itu?
Secara sosiologis, hal itu tidak sesuai dengan nilai dan budaya yang dianut masyarakat dan keluarga Indonesia, yang ber­dasarkan nilai agama sesuai Pancasila dan konsitusi UUD 45. Keluarga dan masyarakat Indonesia itu menganut nilai, dan teori struktural fungsional, bukan sosial konflik.

Alasan kedua?
RUU ini memisahkan antara nilai dan norma perilaku seksual, dengan pengaturan praktik atau perilakunya saja. Pemisahan nilai dan norma dengan peri­laku sangat jelas, tertera dalam definisi kekerasan seksual yang dituangkan dalam Bab 1 Pasal 1 Nomor 1.

Apa persoalannya kalau dipisahkan?
Sebuah undang-undang har­usnya tidak memisahkan, antara nilai dan norma dengan perilaku. Pelacuran yang dipermasalahkan dalam RUU ini, adalah jika dilakukan dengan kekerasan atau pemaksaan. Namun kalau dilakukan tidak dengan kekerasan, tidak dipersoalkan, itu sebagai contoh.

Kan tidak ada pasal pro zina?
Memang tidak ada pasal di RUU (PKS) ini yang pro zina dan pro LGBT. Tidak ada pasal yang vulgar seperti itu dan tidak mungkin. Tapi Pasal 1, kemudian Pasal 11, diuraikan lagi di pasal-pasal berikutnya, itu jus­tru membuka ruang untuk terjadinya pemaknaan seperti itu. Selama itu disetujui, selama itu adalah suka, maka dia tidak menjadi masalah. Nah, itu yang kami keberatan.

Apa alasan penolakan selanjut­nya?
Ketiga, RUU ini menegasikan kelu­arga, tidak membedakan perilaku sek­sual dalam ikatan pernikahan dalam keluarga, dengan yang di luar ikatan pernikahan atau keluarga. Sehingga, dengan RUU ini, dimungkinkan adanya marital rape. Ini lebih liberal dibandingkan KUHP yang disusun Belanda dulu. Naskah akademik RUU ini, tidak acknowledge perilaku seksual dalam ikatan pernikahan dan keluarga.

Apa dampaknya bagi keluarga?
Dalam pembahasan landasan so­siologis dan landasan yuridis, sama sekali tidak acknowledge, bahwa RUU ini akan berdampak terhadap hubungan suami-istri, dan hubungan orangtua dengan anak. Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang menjadi dasar ikatan pernikahan dan menjadi dasar hubungan seksual yang halal antara suami istri, sama sekali tidak diacu.

Tapi, banyak yang mendukung RUU ini...
Saya rasa, memang banyak orang mendukung RUU ini, tapi tidak membaca secara cermat, naskah akademik yang menjadi spirit RUU ini. Isi pasal dalam RUU ini banyak keanehan, banyak jebakan yang membuka ruang perlindungan terhadap perilaku seksual menyimpang.

DPR sepertinya setuju...
DPR menyetujui RUU yang disusun Komnas Perempuan ini menjadi hak inisiatif DPR. Saya menduga, DPR juga menyetujui karena tidak betul-betul memahami spirit dan dampak RUU ini.

Pasal berapa saja yang men­jebak?
Bab 1 Pasal 1 Nomor 1 menge­nai definisi. Kemudian, Pasal 11 tentang bentuk kekerasan seksual, dilanjutkan penjelasannya, dimu­lai dari Pasal 12 mengenai uraian pelecehan seksual yang sangat multitafsir dan ambigu.

Seperti apa multitafsirnya?

Silahkan baca RUU-nya secara lengkap dan naskah akademiknya. Yang multitafsir utamanya di definisi Pasal 1, dan Pasal 11, memuat sem­bilan bentuk kekerasan seksual. Lalu, Pasal 12 yang mulai menguraikan bentuk-bentuk kekerasan, dimulai oleh pelecehan seksual.

Di naskah akademiknya seperti apa?
Di naskah alademik ada perlindun­gan dan kebebasan menurut SOGIE, atau Sexual Orientation and Gender Identity and Ekspression. Makanya, para LGBT berlindung di RUU Ini, dan sangat mendorong pengesahan­nya.

Indriyati Suparno: Kami Tak Mengurus Yang Suka Sama Suka
Masih banyak yang menolak RUU PKS...

Penolakan terhadap RUU PKS itu faktor pertamanya, berangkat dari kel­ompok yang merasa terancam dengan pemberlakuan RUU ini. Kelompok ini, terancam terjerat pidana dengan berlakunya RUU ini.

Faktor berikutnya?
Faktor kedua, adalah kelompok masyarakat yang belum memahami substansi RUU PKS. Yang ketiga, kami khawatir ini digunakan untuk kepentingan elektoral.

Tapi, yang menolak ini may­oritas alasannya karena RUU ini pro zina dan pro LGBT...
Perdebatan RUU PKS itu pasti seputar LGBT, zina, seks bebas, dan marital rape (perkosaan dalam perkawinan). Hal itu menujukkan, kelompok yang kontra ini belum paham RUU PKS.

Dimana tidak pahamnya?
Dalam pasal per pasal, tidak mengatur tentang LGBT, tidak mengatur tentang zina, tidak mengatur tentang seks bebas, apalagi kondom dan segala macam, itu tidak ada. Yang diatur itu hanya enam hal

Apa sajakah itu?
Pertama adalah bentuk tindak pidana, yaitu sembilan jenis tindak kekerasan seksual yang di dalam regulasi, atau peraturan hukum pidana di Indonesia, belum diatur. Sehingga, ada kekoson­gan hukum ketika korban dari sembilan kejahatan tersebut ingin menyelesaikan kasusnya melalui peradilan.

Jadi, isi utamanya adalah sembilan jenis kekerasan seksual, yang belum diatur dalam peraturan pidana kita. Kalaupun sudah ada, belum lengkap pengaturannya.

Yang kedua?
Tentang pemidanaannya. Misalnya untuk kasus pelecehan seksual. Itu ada rumusannya, tinggal hukuman­nya bagaimana, deiliknya murni atau aduan, itu yang diatur.

Apalagi isinya?
Ketiga, yang diatur itu adalah tentang aspek selama ini tak ada di peraturan pidana lain, yaitu tentang pencegahan. Dalam hukum pidana kita, tentang pencegahan itu memang tidak banyak disebut. Dalam RUU ini disebut, dan diatur dengan sistematis dalam kerangka RUU-nya, sehingga tidak terjadi keberulangan.

Bagaimana dengan pemulihan korban?
RUU PKS ini memberi fokus kepada korban. Korban itu kondisinya bagaima­na, dia perlu perlindungan tidak, perlu pengobatan tidak, perlu ganti rugi apa tidak jika itu diatur. Kalau bahasa kami, itu kemuliaan RUU PKS.

Jangan-jangan, pelaksanaannya tak sesuai...
Nah, di bagian kelima, yang dia­tur itu adalah pemantauan terhadap implementasi. Soal ini, belum ada dalam hukum pidana yang sekarang ini. Jadi, bagaimana ada institusi seperti Komnas Perempuan, yang punya mandat untuk memantau, seberapa jauh undang-undang ini sudah diim­plementasikan. Seberapa kuat korban mendapat layanan di peradilan, dan juga seperti apa perubahan yang terjadi dalam institusi penegak hukum.

Pihak kontra menganggap RUU ini pro zina dan pro LGBT, karena yang suka sama suka tak dilarang...
Jadi begini, latar belakang sosi­ologis dan filosofis RUU PKS itu adalah, dari para perempuan yang mengalami kasus kekerasan seksual, tapi tidak bisa mendapatkan upaya hukum yang adil. Kami tidak punya landasan sosiologis terkait LGBT, zina. Kami tidak punya landasan sosiologis terkait seks bebas.

Ada latar belakang soal LGBT?
Tidak ada latar belakang yang terkait LGBT, tidak ada kaitannya dengan zina, dan tidak ada kaitannya dengan seks bebas. Ketika seorang perempuan itu menjadi korban kekerasan seksual, maka otomatis yang terjadi adalah pemaksaan seksual. Kalau suka sama suka melakukan aktivitas seksual, dia bukan korban kekerasan seksual.

Berarti zina dan LGBT tidak dilarang dalam RUU PKS...
Iya tidak mencakup, karena kan secara sosiologis dan filosofisnya berangkat dari para korban pemak­saan hubungan seksual yang sulit mendapatkan keadilan hukum, itu yang jadi background. Makanya yang diatur sembilan jenis tadi, dan nggak ada soal zina atau LGBT. Karena, itu memang bukan sesuatu yang menjadi penyebab RUU ini lahir.

Apalagi zina sudah diatur dalam KUHP, lalu marietal rape juga su­dah diatur dalam Undang Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). RUU PKS nggak mengatur wilayah yang sebel­umnya sudah diatur. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA