Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

Sayangnya, Korupsi Politik Masih Tetap Mendominasi

Indeks Persepsi Korupsi Masuk Ranking 89

Kamis, 31 Januari 2019, 08:12 WIB
Sayangnya, Korupsi Politik Masih Tetap Mendominasi
Foto/Net
rmol news logo Transparency International (TI) merilis In­deks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perceptions Index (CPI) Indonesia tahun ini naik dibanding pada 2017. Pada 2017, angka IPK Indonesia 37, sedangkan tahun ini menjadi 38. Indonesia menempati ranking 89 dari 180 negara. Pada 2017 negara kita berada di pering­kat 96. Posisi Indonesia ini sama dengan Bosnia dan Herzegovina, Sri Lanka, dan Swaziland.

Di ASEAN, Indonesia menempati peringkat ke­empat. Yang pertama masih dipegang Singapura, berikutnya Brunei, Malaysia, kemudian Indonesia. Faktor yang mendorong perbaikan peringkat IPK Indonesia adalah proses berusaha, perizinan, dan investasi yang semakin mudah di Indonesia.

Sayangnya, prestasi ini dibayangi masih ting­ginya korupsi politik yang terjadi di negeri kita. Berdasarkan data yang dirilis Komisi Pemberan­tasan Korupsi (KPK) korupsi politik di Indonesia yang pernah ditangani KPK sebanyak; anggota DPR 69 orang, anggota DPRD 161 orang dan kepala daerah 107 orang. Jika ditotal, lebih dari 60 persen dari seluruh pelaku korupsi yang di­tangani KPK merupakan korupsi politik atau di­lakukan bersama-sama aktor politik. Berikut ini pernyataan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dan Sekjen Transparency International Indonesi (TII) Dadang Trisasongko.

Saut Situmorang: Kader Terbaik Parpol Pun Terlibat Korupsi

 Kenapa korupsi politik masih men­jadi hambatan serius untuk terus menaikkan nilai IPK negara kita?
Sebagaimana kita pahami, varieties of democracy (videm) memberikan nilai rendah atas situasi partai politik kita karena mereka menilai banyak hal. Antara lain seperti apa egalitar­ian pada parpol memberi pengaruh atas CPI .

Apakah karena kesan mewah ter­hadap pemangku politik sehingga tren tersebut belum bisa hilang?
Penilaian itu tidak datang dari barang-barang yang dikenakan oleh anggota parlemen. Akan tetapi dari performance atau kinerja dan perilaku yang ditunjukkan. Misalnya cara-cara mereka menyelesaikan masalah bagaimana sistem pemikirannya mencari solusi apakah substansi, konsisten, dan seterusnya.

Data KPK, 60 persen perkara korupsi yang ditanganinya be­rasal dari unsur politik, baik DPR, DPRD, maupun kepala daerah. Kesadaran apa yang KPK berikan kepada mereka?
KPK masuk melalui banyak pintu. Seperti Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara, gratifikasi, politik cerdas berintegritas dengan semua partai politik.

Forum grup diskusi pada beberapa penelitian, rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR. Lewat organisasi profesi di mana anggota DPR ikut aktif di kamar dagang dan industri. Misalnya KPK membuat MoU dengan Kadin, dan lain-lain. Ada juga organisasi kepemudaan dan masyarakat, program profesional berintegritas, dan lain-lain.

Umumnya modusnya seperti apa yang dilakukan oleh koruptor politik itu?
Kebanyakan suap dan pengadaan barang dan jasa.

Apakah dilakukan bersama-sama dengan pemangku politik lainnya?
Bermacam-macam, selain sendiri dengan swasta. Yang lain juga bersa­ma-sama beberapa anggota pengurus parpol dengan pihak swasta.

Apakah pengurus partai pun menikmati?
Dalam beberapa kasus, disebutkan organisasi menerima sesuatu dari hasil tipikor yang dilakukan. Bahkan oleh seorang kader terbaik mereka.

Jadi pengawasan apa yang KPK lakukan kepada pemangku politik agar terhindar dari korupsi?
Penindakan. Hal tersebut adalah pengawasan yang baik selain menjaga orang-orang baik di parpol itu untuk tetap baik membangun negaranya. Selain banyak model-model supervisi, koordinasi, monitoring, kampanye, pendidikan, dan pencegahan.

Adakah kendala dalam menga­wasinya?
Wewenang KPK membukti­kan korupsi yang dilalukan oleh penyelenggara negara. Kendala utama ialah lu­asnya Indonesia dengan keterbatasan sumber daya manusia karena teknologi juga membu­tuhkan kehadiran KPK. Artinya tidak cukup dengan yang ada di website korsup­gah.kpk.go.id. Di mana eksekutif dan legislatif ter­masuk di daerah saling check and balances. Pun KPK mereko­mendasi­kan sejumlah rencana dan intervensi hal-hal yang harus dilakukan.

Bagi-bagi jabatan di dunia politik apa juga menjadi bagian penga­wasan KPK?

Tentu namun tidak hanya fokus pada Tipikor-nya. Sementara un­tuk aparatur sipil negara itu sebab­nya padakorsupgah.kpk.go.id KPK mengintervensi manajemen ASN sebab di beberapa daerah manaje­men ASN ini belum hijau alias masih kuning.

Jadi ada beberapa indikator antara lain kepatuhan LHKPN, terbentuknya unit LHKPN di kementerian dan lem­baga, kepatuhan gratifikasi, kepatu­han LHKPN, skor evaluasi jabatan atau tambahan penghasilan Pegawai (TPP) dievaluasi oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara, penilaian kinerja pegawai, kepatuhan pelaporan gratifikasi. Dengan demikian manajemen ASN dapat ditata secara berintegitas jauh dari perilaku korup.

Apa karena ada fenomen ini ke­mudian KPK sempat mengusulkan agar partai didanai pemerintah?
Penyelenggara negara yang dipi­lih karena kontestasi parpol lewat pemilu atau pilkada sering dikaitkan dengan besarnya dana pencalo­nan, uang mahar, sumbangan yang mengikat calon, biaya saksi pilkada, dan lain-lain.

Hal ini memunculkan ide agar kepemimpinan yang mucul dari par­pol maka parpol itu berintegritas dan tidak terikat masa lalu. Maka banyak dibahas agar parpol dibiayai oleh negara agar diaudit secara ketat dan KPK sepakat tentang ini.

Berapa IPK atau CPI Indonesia tahun 2018?

Setelah tahun 2017 tidak naik dari tahun 2016. Yaitu 37 padahal OTT-nya jadi dua kali lipat. Maka pada dua hari lalu diumumkan CPI NKRI kita telah diumumkan oleh pihak Transparency International Indonesia dan CPI NKRI naik satu menjadi 38 di 2018.

Apakah ada penurunan diband­ing tahun lalu?

Malah naik satu. Di harap tahun de­pan NKRI kita naik terus itu sebabnya mari kita semua berubah. Siapa pun kita ASN, TNI, POLRI, jaksa, hakim, petugas bea cukai,pajak partai politik dan kadernya.

Termasuk dosen, mahasiswa, pela­jar, gubernur, walikota, bupati, DPR, DPRD, wiraswasta, pembayar pajak, masyarakat umum jangan mau lagi sogok-menyogok. Lapor ke KPK bila diminta sogokan jangan malah kes­enangan. Atau kita akan lambat naik lantaran angka 38 di atas kita dapat­kan dari cara menghentikan perilaku korup.

Dadang Trisasongko: Kemudahan Usaha Jadi Faktor IPK Naik

Bagaimana pandangan TII soal masih tingginya korupsi politik menurut KPK?

Jadi sebetulnya ini mengkonfirmasi apa yang kemarin kami luncurkan, di­mana salah satu faktor yang membuat korupsi di negara kita makin buruk, menurut kami adalah yang kami sebut sebagai korupsi politik. Korupsi poli­tik itu adalah, korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang menduduki jabatan publik, akibat dari proses politik. Modusnya adalah dengan menyalahgunakan kewenangan, atau memanfaatkan mekanisme yang memang masih kurang. Mereka itu mainnya di penganggaran, kemudian dipengadaan barang, dan kewenangan yang terkait dengan perizinan usaha. Tiga ranah itu yang umumnya digu­nakan, dan pelakunya adalah mereka yang menduduki jabatan akibat dari proses politik tadi. Korupsi politik ini biasanya melibatkan anggota DPRD dan pemerintah daerah.

Kalau berdasarkan penelitian TII, bagaimana tingkat korupsi politik dan berapa datanya?
Kalau kami tidak melihat kasus per kasus. Kami hanya melihat dari kat­egorinya saja. Kami tidak punya data, dan kami merujuknya pada data dari KPK. Menurut kami valid kok data yang 60 persen itu. Data KPK itu, me­nyokong dan menguatkan apa yang sudah kami sampaikan kemarin, soal korupsi politik tadi. Memang jenis itu paling besar dampaknya terhadap masyarakat, terhadap negara, dan ter­hadap perekonomian. Jadi esensi dari korupsi politik itu, sebetulnya adalah adanya kolusi antara politisi dengan pebisnis, selalu begitu.

Menurut TII korupsi politik ini trennya seperti apa?
Ya memang kalau kami lihat tren­nya itu selalu naik. Ini trennya naik karena sumber masalahnya belum bisa diatasi. Untuk pengadaan itu juga sebetulnya kan sudah ada secara elektronik, tapi belum dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah untuk mencegah korupsi. Sehingga bupati, walikota, dan anggota DPRD masih bisa bermain dengan proyek yang ada di bawah kewenangan mereka, dengan menggunakan sistem yang offline itu. Dan itu pasti peluangnya lebih besar. Kemudian pemberian izin juga begitu. Karena ternyata kan masih banyak yang tidak mengguna­kan sistem online.

Berapa persentase kenaikannya per tahun?

Angka itu adanya di KPK, kalau ka­mi enggak punya. Yang ada di KPK, kalai kami melihat polanya saja.

Kalau berdasarkan pernyataan TII kemarin, skor kita naik jadi 38, dan peringkat kita juga naik ke peringkat 89. Itu bagaimana?
Terhadap indeks itu, yang penting dilihat itu sebetulnya di skornya, yaitu 38 poin artinya kita naik 1 poin dibandingkan dengan tahun kemarin. Lalu rankingnya juga naik 7 peringkat ke peringkat 89. Ranking itu menurut kami enggak terlalu penting untuk dilihat, sekornya yang penting.

Karena ranking itu sangat relatif, tergantung dari kondisi negara lain, atau sekor negara lain. Kalau skor negara lain banyak yang turun, kita pasti naik peringkatnya. Jadi sangat relatif, dan tidak betul-betul mencerminkan kondisi korupsi. Yang betul-betul mencerminkan itu ada di skornya. Jadi kalau 0 itu skor untuk negara yang sangat korup, sementara 100 adalah skor untuk negara yang sangat bersih dari korupsi. Nah kita itu skornya baru di 38 poin.

Skor Indonesia kalau dibanding­kan dengan negara lain di Asia atau Asia Tenggara bagaimana?
Kita di posisi empat untuk Asia Tenggara. Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Singapura itu IPK-nya sekitar 80 poin, Malaysia sekitar 50 poin, dan Brunei juga sekitar 50 poin. Artinya cukup jauh di atas Indonesia lah. Thailand, Timor Leste, dan Vietnam baru ada di bawah kita.

Berarti masih cukup rendah ya skor Indonesia itu?
Masih jauh, skornya itu masih di bawah rata-rata global juga. Skor CPI global itu rata-rata 43 poin. Jadi masih selisih 5 poin. Dan memang tahun ini, banyak negara yang dulunya tinggi pada rontok. Mereka banyak yang tu­run 2-3 poin, dan itu juga yang turut mendong­krak rangking Indonesia.

Menurut TII skor Indonesia itu membaik kar­ena apa?
Begini, ada tiga komponen yang kami lihat untuk menentukan skor tersebut. Satu terkait dengan kemudahan berusaha, dua terkait dengan korupsi politik itu tadi, dan yang ketiga adalah terkait penegakan hukum. Yang naik sejak dua tahun lalu itu sebetulnya kemudahan berusaha. Tahun 2018 itu ke­mudahan berusaha meningkat sam­pai 12 poin. Tetapi itu tidak cukup mendongkrak skor Indonesia, karena tingginya korupsi politik dan penega­kan hukum tadi.

Aspek penegakan hukum juga masih tinggi?

Dia stagnan sebetulnya angkanya, tidak naik. Sebetulnya kalau kita lihat 10 tahun terakhir ya segitu-segitu saja. Tidak pernah ada kenaikan yang signifikan.

Karena kalau kita lihat, reformasi penegakan hukum di Indonesia belum mengalami kemajuan yang berarti. Pengadilan, kejaksaan, lapas masih begitu saja. Jadi selama lembaga penegak hukum itu tidak menujukan integritas dan kapabilitasnya, ya skor itu akan tetap, tidak akan bisa naik secara signifikan.

Berarti membaiknya cuma kar­ena faktor kemudahan usaha ya?
Iya karena izin usah. Jadi justru yang fundamental, yaitu korupsi politik dan penegakan hukum tidak membaik. Kalau saja dalam aspek itu dilakukan perbaikan, taruhlah dua tahun ke depan serius membenahi polisi, jaksa, dan pengadilannya itu kontribusinya akan lumayan mung­kin.

Makanya menurut kami perlu dor­ongan yang lebih kuat lagi dari presi­den. Karena kepolisian dan kejaksaan itu kan ada di bawah presiden. Jadi presiden harus mendorong reformasi di lembaga-lembaga tersebut. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA