Sebagai sanksi terhadap kesalahan perempuan itu maka kepadanya dijatuhkan semacam sanksi sebagaimana disebutkan dalam Kitab Kejadian 3:16: "FirmanNya keÂpada perempuan itu: "Susah payahmu wakÂtu mengandung akan kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepaÂda suamimu dan ia akan berkuasa atasmu". Kelihatan Hawa (Eva) dalam pasal ini terpoÂjok dan harus menerima akibat perbuatanÂnya yang menggoda suaminya.
Di dalam beberapa kisah dalam perjanjiÂan lama terdapat beberapa figur perempuan yang menjadi faktor terjadinya sebuah skanÂdal besar. Termasuk juga yang diabadikan di dalam Al-Qur'an, yaitu drama perempuan istri pembesar dengan Nabi Yusuf. Istri pembesar dinyatakan bersalah secara hukum karena baju yang dipakai Nabi Yusuf terkoyak bagian belakang, bukannya bagian depan. Di bagian lain istri Nabi Ayub dan istri Nabi Shaleh juga disebut sebagai dua perempuan penghianat, yang kemudian menimbulkan persoalan di dalam masyarakat.
Image perempuan sebagai penggoda menÂjadi salah satu isu kontemporer yang sering dimanfaatkan untuk memojokkan perempuan. Lahirnya paham misogini, suatu paham yang membenci perempuan karena citranya sebaÂgai penggoda menyebabkan nenek moyang kita Adam jatuh dari syurga kenikmatan ke bumi penderitaan. Kalangan misoginis menÂganggap perempuan separuh iblis dan seÂbaliknya Adam dianggap sebagai separuh Tuhan, karena kepadanya para makhluk diÂperintahkan untuk sujud dan menghormat.
Ada ungkapan mengatakan: "Yang paling bersahabat dengan agama ialah perempuan, tetapi yang paling tidak bersahabat dengan perempuan ialah agama". Dari beberapa segi pernyataan itu ada benarnya. Bukankah yang paling memadati majelis-majelis ta’lim dan ibadah adalah perempuan, sementara kaum laki-laki amat terbatas. Bukan hanya dalam agama Islam tetapi dalam kegiatan-kegiaÂtan ritual keagamaan pada agama lain juga memiliki persamaan.
Image dan mitos perempuan sebagai pengÂgoda hingga kini masih melekat dan masih menjadi stigma negatif di dalam berbagai masyarakat, terutama di dalam dunia politik. Perempuan seringkali menjadi korban karena isu ini. Seolah perempuan dilahirkan sebagai makhluk penggoda (temptator). Padahal, sesÂungguhnya perempuan adalah manusia biasa seperti halnya laki-laki. Bahkan dunia laki-laÂki mungkin lebih sering menjadi faktor dalam persoalan kemanusiaan dan kemasyarakatan dalam lintasan sejarah.
Sudah saatnya menghapusnya stigma perempuan sebagai penggoda dengan cara membaca ulang kitab suci dan mengevaluÂasi nilai-nilai budaya yang cenderung memoÂjokkan perempuan secara teologi dan secara budaya. Sebab jika nilai-nilai penafsiran daÂlam agama berkolaborasi dengan nilai-nilai budaya lokal untuk mempertahankan stigma perempuan sebagai penggoda maka itu akan amat sulit sekali diubah. Diperlukan wakÂtu yang amat Panjang untuk membersihkan kaum perempuan dari berbagai mitos yang menyebabkannya termarginalisasi dalam berÂbagai urusan.