Perempuan Hebat di dalam Al-Qur'an (14)

Siti Sarah

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Kamis, 06 September 2018, 09:10 WIB
Siti Sarah
Nasaruddin Umar/Net
SITI Sarah ialah salah se­orang di antara istri-istri Nabi Ibrahim. Dalam riwayat ia disebut istri pertama Nabi Ibrahim berasal dari et­nik dan suku yang sama dari Palestina. Ia bermu­kim di Palestina semenjak awal perkawinannya den­gan Nabi Ibrahim. Di sana ia menjalani kehidupan dengan suaminya cu­kup lama dan tidak pernah berpindah negeri, meskipun suaminya pernah hidup di Tanah Arab ketika mengantarkan istri keduanya, Siti Hajar di Makkah. Ia dikarunia anak-anak saleh bernama Nabi Ishaq dan Nabi Ya'qub, ketika umurnya sudah senja. Ia hampir putus asa kar­ena sekian lama berdoa dan berusaha mempu­nyai anak tetapi tak kunjung datang. Nanti set­elah dipancing dengan lahirnya Nabi Ismail dari Rahim bekas pembantunya, Siti Hajar, baru ia menyusul mendapatkan keturunan.

Anak-anak yang lahir dari lingkungan kelu­arga Nabi Ibrahim-Siti Sarah antara lain Nabi Musa yang kemudian mendapatkan amanah sebagai pembawa agama Yahudi dengan kitab sucinya Kitab Taurat. Salahseorang turunannya juga bernama Nabi Isa yang membawa agama Nashrani, sekarang lebih dikenal dengan agama Kristen, dengan kitab sucinya bernama Kitab Injil (Bible). Sedangkan Siti hajar bermu­kim di Arab (Mekkah) dan disinilah ia membe­sarkan anaknya, Nabi Ismail. Turunannya ke­mudian melahirkan Nabi Muhammad Saw yang membawa agama Islam dengan kitab sucinya bernama Kitab Al-Qur'an.

Nabi Ibrahim sesungguhnya Nabi paling beruntung karena anak keturunannya menja­di Nabi dan sekaligus membawa agama dan kitab suci. Agama Yahudi, Nasrani, dan Islam sering disebut para orientalis dengan "Abraha­mic Religion" (Agama anak cucu Nabi Ibrahim). Jika para penganut ketiga agama ini mendala­mi sejarah genetic agamanya masing-masing maka niscaya mereka akan kompak. Ketiga pembawa ajaran agama Samawi ini berasal dari satu nenek yang sama. Sangat ironis jika antara sesama penganut "Abrahamic Religion" bermusuhan satu sama lain. Seharusnya mer­eka bersatu di dalam menghadapi gelombang peradaban baru yang sangat menantang inti ajaran agama anak cucu Nabi Ibrahim ini. Na­mun kenyataannya, dalam lintasan sejarah ke­tiga agama ini selalu berhadap-hadapan bah­kan bermusuhan satu sama lain. Sejarah kelam pernah mencatat bagaimana antara penganut agama Yahudi dan Kristen pernah bunuh-bunu­han. Bagaimana dahsyanya Perang Salib yang pernah berlangsung 250 tahun, antara penga­nut agama Kristen dan penganut agama Islam perang habis-habisan. Bagaimana Israel dan Palestina sampai sekarang masih terus ber­langsung peperangan secara sporadis, pada­hal mereka masih satu turunan genetik.

Pertarungan antara Israel yang sering men­gusung bendera Yahudi dan penduduk Pales­tina yang juga sering mengusung bendera Is­lam terus saja berlangsung. Israel bagaikan tidak punya telinga untuk mendengarkan se­ruan badan-badan resmi dan tidak resmi in­ternasional agar menghentikan pembantaian dan pendudukannya ke tanah-tanah Palestina. "Perang Saudara" antara Israel dan Palestina jika diurut ke atas maka sesungguhnya meru­pakan jejak persaingan dua ibu atau dua istri. Istri pertama, Siti Sarah, dibela oleh kelompok Yahudi-Israel dan istri kedua, Siti Sarah, dibela oleh Muslim-Palestina. Kedua kelompok ini masing-masing mengklaim Yerusalem dan Pal­estina adalah tanah leluhur mereka. Sebetul­nya masing-masing memiliki kebenaran seba­gai sama-sama anak cucu Nabi Ibrahim, tetapi kebenaran matril, dilihat dari perspektif hukum ketatanegaraan, Israel telah bertindak tidak adil terhadap muslim Palestina. Bukan hanya mem­bantai penduduknya tetapi juga merampas ta­nah dan kekayaan alamnya.

Bayangkan, wilayah Hamas memiliki bentan­gan pantai cukup panjang tetapi mereka tidak diperbolehkan mengaksesnya karena sudah di­pagar dengan tembok tinggi. Wilayah-wilayah perbatasan, termasuk wilayah pantai semua sudah dikuasai oleh Israel. Bukti autentik bah­wa Palestina pernah memiliki luas lahan sekitar 80% di negerinya tetapi kini terbalik, wilayah­nya tersisa hanya sekitar 20 persen. Itu pun sudah berdiri tembok-tembok tinggi pertanda di bawah penguasaan Israel. Sejarah kemanu­siaan seperti ini seharusnya tidak boleh lagi ter­ulang di dalam sejarah umat manusia. Agama yang seharusnya mengangkat martabat kema­nusiaan berganti sebagai kekuatan penindas. Allahu a'lam

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA