Secara umum liberalisme sering diartikan sebagai suatu paham yang berusaha untuk memilih kebebasan berprilaku (try to keep a liberal attitude) dengan menonjolkan sikap fair-minded, open-minded dan toleransi. BeÂgitu besar toleransinya sehingga kebatilan dan kekufuran pun ditoleransi. Liberalisme dalam pengertian populer ialah suatu paham mengedepankan kebebasan dan acuannya hanya kepada dasar-dasar Hak Asasi ManuÂsia (HAM) dan HAM pun dibatasi pada himanÂitarianisme atau dalam bahasa filsafat disebut antropocentrisme. Antroposentrisme ialah paÂham serba manusia. Yang bisa memanusiaÂkan manusia ialah manusia itu sendiri. MaÂnusia dalam paham ini tidak membutuhkan kekuatan luar di luar diri manusia seperti TuÂhan, Dewa, agama untuk memanusiakan diri manusia. Kebalikan dari paham ini ialah teoÂsentrisme, yaitu suatu paham yang serba TuÂhan (jabariyah).
Pemahaman liberalisme seperti ini sangat membahayakan kehidupan agama dan berÂbagsa. Islam yang mengenal Tuhan sebagai sumber nilai-nilai kebenaran paling tinggi dan bangsa Indonesia yang menganut paham dan ideologi Pancasila, tentu tidak sejalan dengan paham liberalisme di atas. Kewajiban manuÂsia untuk menyembah Tuhan dan keharusan warga Negara Indonsia menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya dan agama membuat liberalisme sulit tumbuh di bumi Indonesia. Namun demikian, liberalisme memiliki banÂyak “topeng†yang bisa dicermati secara kriÂtis. Boleh jadi seseorang berteriak-teriak anti liberalisme tetapi pada saat bersamaan ia menjadi bagian dari gaya hidup liberalisme. Sebaliknya mungkin ada kelompok mengaÂtasnamakan diri sebagai kelompok liberal tetapi sesungguhnya ia termasuk anti liberalÂisme. Seseorang yang muslim sejati dan warÂga Indonesia sejati rasanya tidak akan pernah mungkin menjadi orang liberalis tulen. Tidak mungkin liberalisme bisa satu atap dengan nilai-nilai luhur agama dan budaya Indonesia.
Liberalisme dalam arti eksrim sebagaimaÂna didefinisikan di atas mungkin tidak perlu dikhatirkan secara berlebihan. Namun liberalÂisme dalam sub-sub atau unit-unit kehidupan tertentu bisa dicermati. Setiapkali pertimbanÂgan rasio harus dikedepankan dan memaksa kelompok-kelompok sistem nilai lain untuk menyesuaikan diri maka sesungguhnya ini merupakan perwujudan liberalisme. LiberalÂisme bisa meminjam bahasa agama dan baÂhasa politik di dalam menjabarkan nilai-nilainÂya. Liberalisme bisa bersembunyi di belakang HAM, kesetaraan jender, demokrasi, local wisdom, Tafsir, dan Ushul Fikih. Bahkan lebih rigis bisa menggunakan istilah teknis agama seperti konsep al-maqashid al-syari’ah dan al-mashlahat al-‘ammah.
Dampak liberalisme dalam kehidupan masyarakat efeknya bisa terlihat dan terasa pada saat kita menyaksikan sikap masyarakat tidak merasa miris menyaksikan penderitaan sauÂdaranya, rela membangun istana di atas puin-puin kehancuran orang lain, dan berdosa dan bermaksiyat sambil terbahak-bahak, dan tidak terbebani dengan kehancuran relasi bisÂnisnya, dan berpesta di atas kekalahan orang lain. Tolransi sejati semakin mahal, lembaga-lembaga paguyuban semakin mati suri, ikaÂtan-ikatan primordial semakin loyo, keimanÂan masyarakat semakin dangkal yang dapat diukur dengan mudahnya larangan dilanggar dan sulitnya peritah Tuhan dilaksanakan. Jika kondisi masyarakat ini terjadi maka kita semua harus waspada karena azab Tuhan tidak hanÂya akan menimpa umat yang berdosa tetapi orang-orang baik yang ada di sekitarnya juga akan terkena dampaknya.