Perbedaan pendapat bagi manusia adalah bahagian yang inheren dengan kemajmukan ciptaan Tuhan. Dari sinilah Rasulullah pernah mengungkapkan bahwa perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat (
ikhtilaf baina ummati rahmah). Al-Qur’an juga sejak awal menginformasikan bahwa komunitas manusia tidak mungkin bisa menjadi suatu kesatuan yang homogen. "Jika Tuhanmu menghendaki niscaya Ia akan menjadikan manusia sebagai satu umat" (Q.S. Hud/11:118). Ayat ini menggunakan huruf lau (pengandaian), bukannya menggunakan huruf possibilitas berupa in atau idza. Dengan demikian dapat difahami bahwa sejak semula manusia disetting untuk menjadi makhluk yang heterogen. Namun, di tengah heterogenitas itu dimungkinkan terbentuknya umat-umat homoÂgen yang dipersatukan oleh suatu visi dan misi khusus dan yang seperti inilah diperintahkan di dalam Qur'an dalam istilah "umat ideal"/khaira ummah (Q.S. Ali ’Imran/3:104 & 110).
Konsep khaira ummah inilah yang menjadi obsesi besar Rasulullah sejak awal. Kita tahu bahwa komunitas masyarakat tempat Al-qur’an diturunkan (jazirah Arab) adalah masyarakat qabilah (
tribal society). Dalam masyarakat ini tidak ada
civil society karena promosi karier kepemimpinan hanya bergulir di lingkungan orang dalam para raja/penguasa laki-laki. Masyarakat lain dan perempuan tidak mungkin mengakses kepemimpinan dunia publik, sehÂebat apapun prestasi orang itu. Islam datang merombak sistem masyarakat qabilah menjadi masyarakat ummah, yang mengacu kepada konsep keadilan ('adalah), toleransi (tasamuh), persamaan (musawa), dan profesionalisme (ihtiraf). Siapapun yang memiliki syarat itu, jenis kelamin apapun, etnik apapun, suku dari manapun, dan dari golongan manapun berhak mengakses berbagai prestasi yang layak unÂtuknya, sebagaimana diisyaratkan dalam Q.S. al-Hujurat/49:13.
Dalam upaya mewujudkan dan sekaligus memperkenalkan konsep khaira ummah di dalam pluralitas masyarakat, Nabi berpegang teguh kepada prinsip-prinsip dasar Al-Qur'an dan membawanya dikenang sebagai tokoh universal kemanusiaan dari segala zaman. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: Al-Qur'an menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebersamaan, sungguhÂpun umat Islam terlibat sebagai subyek atau objek dalam persoalan tersebut: Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. (Q.S. al-Maidah/5:8). Ayat ini mengisyaratkan betapa pentingnya keadilan itu dan betapa perlunya jiwa besar dalam mewujudkan keadilan itu. Tidak dibenarkan rasa keadilan dikorbankan demi kepentingan subyektifitas. Al-Qur'an samasekali tidak mentolerir pembinasaan diri sendiri dalam mencapai tujuan, sesuci apapun tujuan itu: Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. al-Baqarah/2:195). Menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan, apalagi dengan sengaja mengorbankan diri dan orang lain yang tak berdosa, tidak pernah dicontohkan Rasulullah dan para sahabatnya. Jihad yang dilakukan Rasulullah tidak pernah mengenyampingkan pertimbangan ijtihad (raÂsional) dan pertimbangan mujahadah (nurani). Jihad yang kehilangan dimensi ijtihad dan muÂjahadah dapat dikategorikan dengan nekat.