Hari telah beranjak siang saat Mus, salah seorang pedagang ayam di Pasar Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat, sedang mencincang dagangannya. Saat itu, dia sedang menyelesaikan pemotongan puluhan ekor ayam pesanan pelanggannya.
Ada lebih dari 20 ekor ayam yang harus dipotong. Dengan cekatan Mus, pemilik kios Bu Mus itu, menguliti dan meÂmotong ayam-ayam tersebut. Mus hanya perlu kurang dari satu menit untuk menghasilÂkan potongan-potongan ayam berukuran kecil sesuai dengan pesanan pelanggannya.
Setelah dipotong, daging dan isibagian dalam ayam dipilah-pilah lagi. Potongan daging diletakkan di sebelah kanannya.Sedangkan kulit dan isi bagian dalam ayam diletakÂkan di sebelah kiri. Isi bagian dalam itu juga akan dikemas terpisah dari daging-daging hasil potongannya.
Kios atau lapak dagangan Mus berada di Blok E9, Nomor 6, lantai dasar, Pasar Pondok Gede. Di pasar itu, dia berbagi tempat dengan puluhan pedagang lainÂnya. Di bagian itu, Mus tidak hanya ditempatkan bersama puluhan pedagang ayam lainnya. Ada juga lapak untuk pedagang ikan dan daging.
Lapak dagangan Mus pun tak berbeda dengan lapak pedagang lainnya. Meja tempatnya meletakkan dan memotong ayam dilapisi keramik berkelir putih. Susunan kayu yang digunakan sebagai tempat menggantung berbagai perlengkapan dagang, mulai dari kantong plastik dan timbangan turut melengkapi lapaknya.
Sehari-hari, Mus menjual ayam dagangannya dengan ukuran per ekor. Hari itu, Mus memÂbanderol ayam yang dijualnya dengan harga Rp 28 ribu per ekor. Harga tersebut lebih mahal sekitar Rp 6-7 ribu dibanding harga jual biasanya.
"Sudah beberapa minggu ini naik, Mas. Mungkin jelang puasa. Biasanya saya jualnya Rp 21 ribu per ekor. Pada mahal semuanya. Dari bandarnya juga sudah mahal," ucap Mus, saat ngobrol-ngobrol dengan Rakyat Merdeka, Jumat (11/5).
Harga saat ini, menurut Mus, terasa cukup berat, khususnya bagi para pelanggannya. Makanya, penjualannya berkurang. Karena, kata dia, pelanggannya ada yang menguÂrangi pembelian. Kalaupun ada yang membeli, biasanya hanya pembeli yang mengonsumsi untuk kebutuhan sendiri.
"Kalau saya, biasanya pelanggannya kebanyakan pedaÂgang juga. Mereka pada mau jual lagi. Dengan harga segitu, ya pada ngurangin belinya. Takut nggak bisa jual lagi karena keÂmahalan. Ini saya lagi banyak motongin karena ada pesanan dari pedagang pecel lele," ucap wanita yang biasa dipanggil Bu Haji itu.
Mus mengaku tidak tahu sampaikapan harga tersebut berÂtahan. Apalagi, Ramadan dan Lebaran semakin dekat. "Kalau turun nggak tahu kapan. Malah kalau saya kira bisa makin naik lagi, karena dari agennya juga sudah mahal. Kalau dari pedaÂgang sih berharapnya turun," ucap wanita yang telah berdaÂgang di Pasar Pondok Gede sejak 1986 itu.
Selain daging ayam, komodiÂtas sembako yang harganya turut terkerek naik signifikan adalah telur ayam negeri. Nanda, agen telur di pasar yang sama, membanderol harga telur per kilogram (kg) sebesar Rp 26-27 ribu. Harga itu naik Rp 4-5 ribu dari harga biasanya.
"Biasanya kita jualnya Rp 20-22 ribu per kg, tergantung berapa banyak belinya. Tapi, beberapa minggu ini sudah naik jadi paling mahal Rp 27 ribu per kg," jelas Nanda, saat ditemui di tokonya.
Namun, berbeda dengan ayam, menurut Nanda, tingginya harga telur tidak berpengaruh terhadap permintaan. Malah, kata dia, permintaan telur ayam negeri ke tokonya naik.
"Nggak ngaruh kalau ke kita. Ini malah naik. Karena kan logiÂkanya, harga naik karena perÂmintaan juga naik," tuturnya.
Dia tak tahu persis sampai kapan harga tersebut bertahan. Namun, lanjut Nanda, biasanya, harga itu bakal bertahan hingga pertengahan bulan puasa. Baru setelahnya, harga mulai turun perlahan.
"Biasanya pertengahan bakal turun, terus jelang Lebaran naik lagi, lalu turun stabil lagi. Kalau harapannya bagaimana, yakita ngikutin pasar saja baÂgaimana. Kita jualnya dengan harga yang sesuai permintaan saja," ujarnya.
Masih di pasar yang sama, harga komoditas sembako lainÂnya seperti minyak goreng, gula dan garam cenderung stabil. Di sebuah toko sembako di Pasar Pondok Gede, minyak goreng curah dibanderol Rp 12 ribu per kg. Sedangkan gula dan garam sama sekali tak ada kenaikan.
"Minyak goreng masih sama, yang curah Rp 12 ribu per kg. Belum ada perubahan. Begitu juga dengan gula dan garam, belum ada perubahan harga," jelas Hiski, salah satu karyawan toko tersebut.
Tak hanya di toko tersebut. Stabilnya harga minyak goreÂng, gula dan garam juga dapat ditemui di beberapa toko semÂbako lainnya di pasar tersebut.
Alina, ibu rumah tangga, mengaku keberatan dengan harga bahan pangan pokok yang mengalami kenaikan. Sebab, jelang bulan Ramadan, kata dia, banyak kebutuhan yang harus dikeluarkan.
"Kalau bisa jangan naik harga telur, beras, cabai, daging, karena banyak kebutuhan. Mau puasa dan Lebaran juga. Belum nanti akhir tahun ajaran sekoÂlah," ujarnya.
Namun, dengan tingginya harga pangan sekarang ini, Alina mengaku mengurangi pembelian. "Yang paling perlu saja yang dibeli. Secukupnya saja," pungkas ibu dua anak ini. ***
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.