Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pengurus Ibnu Mas'ud Pasang Spanduk Untuk Halangi CCTV

Bertamu Ke Ponpes Yang Dicurigai Sebagai Sarang Teroris

Senin, 18 September 2017, 11:09 WIB
Pengurus Ibnu Mas'ud Pasang Spanduk Untuk Halangi CCTV
Pondok Pesantren Tahfizh Al Quran Ibnu Mas'ud/Net
rmol news logo Pondok Pesantren Tahfizh Al Quran Ibnu Mas'ud, Bogor, Jawa Barat menjadi sorotan. Penyebabnya, ponpes yang berada di kaki Gunung Salak ini, dituding sebagai sarang teroris.
 
 Hal itu menyeruak pasca-salah satu santrinya, Hatf Saiful Rasul (13 tahun) tewas di Suriah awal September lalu, setelah bergabung dengan militan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).

Jumat sore itu (15/9), saat Rakyat Merdeka bertamu, suasanapondok pesantren yang berada di Jalan Jami, Sukajaya, Tamansari, Kabupaten Bogor ini sepi. Hanya terlihat beberapa santri asyik meriung di depan masjid sembari menanti azan Asar. Mereka yang rata-rata berumur 15 tahun ini, kom­pak memakai celana panjang, baju koko, hingga peci hitam di kepala.

Tidak jauh dari masjid, sejum­lah santri wanita yang mengena­kan jilbab besar dan cadar, sibuk mempersiapkan barang-barang yang berada di area kantin.

"Pondok lagi sepi. Santri memilih pulang kampung karena takut dengan isu warga sekitar yang akan mengepung pondok," ujar Agus Purwoko, Ketua Yayasan Al Urwatul Usro yang menaungi Pondok Ibnu Mas'ud.

Letak Pondok Ibnu Masud cukup jauh dari perkampungan penduduk. Jalan menuju pondok sudah beraspal dan bisa dilewati kendaraan roda empat. Tapi, tanah dan bangunan ponpes ini tidak terlalu luas, hanya sekitar 1000 meter persegi.

Masuk ke areal pondok, ter­dapat gerbang yang tidak ter­lalu besar. Di atasnya terdapattulisan, "Pondok Pesantren Tahfizh Al Quran Ibnu Mas'ud" lengkap dengan tulisan Arab di sampingnya. Di bawahnya ter­dapat spanduk tidak terlalu besar bertuliskan, "Sudahkah Anda sholat. Mari sholat berjamaah" dengan huruf kapital warna merah. "Spanduk kami pasang untuk menghalangi CCTV yang dipasang tepat di depan pon­dok," ungkap Agus.

Di tengah-tengah ponpes ini, dibangun masjid yang tidak terlalu besar. Masjid satu lantai itu, mampu menampung sekitar 100 jamaah. Agar bisa memuat seluruh santri, di bagian bela­kang ditambah satu lantai lagi untuk jamaah wanita.

"Ini masjid bantuan dari Kuwait sejak tiga tahun lalu," sebut Agus.

Di sekeliling masjid dibangun asrama santri setinggi dua lantai. Bangunan bercat biru itu tampak kusam. Di dalamnya hanya ada lemari dan ranjang tingkat. "Kalau tidak ada kegiatan, siswa bisa bersantai di kamar. Kalau pelajaran, semua dilakukan di masjid," jelas pria berumur 57 tahun ini.

Agus menambahkan, pondok ini berdiri pada 2011 dengan jumlah siswa pertama kali se­banyak 10 orang yang seluruh­nya laki-laki. Lambat laun, jum­lahnya terus bertambah hingga mencapai 260 siswa. Terdiri dari 120 siswa laki-laki, dan sisanya perempuan.

"Pengasuh dan guru pem­bimbing sebanyak 20 orang," sebutnya.

Menurut Agus, santri yang bisamasuk ke pondok ini dibatasiumurnya, maksimal 16 tahun dan minimal 6 tahun. "Kami tidak terima murid tingkat SMAke atas," tandasnya.

Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Seperti, Kalimantan, Sumatera, hingga sejumlah provinsi di Pulau Jawa. "Tapi, paling banyak dari Tangerang, Jakarta dan Bekasi," ucap Agus.

Agus menjelaskan, mayoritas siswa yang belajar di pondok ini berasal dari keluarga ber­masalah, sehingga anaknya tidak terawat. "Kami terpanggil untuk mengurus mereka atas dasar ke­manusiaan, karena banyak anak tidak mendapatkan pendidikan agama yang layak," tuturnya.

Agus membantah, banyak anak narapidana teroris belajar di tempat ini. "Kalaupun ada, cuma dua siswa. Sisanya ada yang anak pecandu narkoba dan tindak kriminal lainnya," sebut Agus tanpa mengungkap siapa nama siswa dan orangtuanya itu.

Alasan menerima anak yang berasal dari keluarga bermasalah, kata dia, karena anak tersebut tidak berdosa, yang berdosa orangtuanya. "Kami urus merekatanpa melihat latar belakang orangtuanya," tuturnya.

Selama di pondok, kata priayang mengenakan peci ini, para santri hanya mendapat­kan ilmu Tahfid Al Quran dan Agama Islam. "Kalaupun ada materi umum, hanya Matematika," ujarnya.

Usai belajar di pondok, kata Agus, siswa tidak akan menda­pat ijazah yang bersifat nasional, melainkan hanya surat pengakuan dari kertas biasa. “Itu pun syaratnya santri harus hafal 30 juzz,” tandasnya.

Namun demikian, kata dia, siswa yang belajar di ponpes ini tidak diwajibkan hafal 30 juzz Al Quran. Tapi, sesuai dengan kemampuan anak saja.

"Kalau orang tua ingin mengambil anak-anaknya sewaktu-waktu, silakan saja tidak ada larangan," ujarnya.

Selama belajar di pondok ini, lanjutnya, santri ditarik iuran per bulan sebesar Rp 600 ribu. Uang tersebut digunakan untuk kebutuhan makan sehari-hari dan cuci pakaian.

"Tapi, banyak juga santri yang tidak bayar. Tapi, tak apa-apa, kami punya donatur dari luar pondok," ujar Agus tanpa mer­inci siapa saja donaturnya.

Untuk kegiatan keseharian di pondok, Agus menjelaskan, santri harus bangun tepat pukul 03.00 WIB untuk menjalankan sholat Tahajud yang dilanjutkan dengan sholat shubuh berja­maah. Selanjutnya, santri mem­baca Al Quran hingga pukul 07.00 WIB. Setelah itu, istirajat dan kembali masuk kelas pukul 09.30 WIB.

"Santri mendapat materi Agama Islam seperti Rukun Iman, Rukun Islam atau sejarah nabi," kata dia.

Sejam di kelas, santri diper­bolehkan istirahat dan kegiatan bebas hingga pukul 3 sore. Usai sholat Ashar berjamaah, santri diwajibkan membaca dan meng­hafal Al Quran hingga pukul 16.30 WIB.

"Kalau waktu kosong, bisa ikut kegiatan ekstra kurikuler seperti renang dan sepakbola," lanjutnya.

Sebenarnya, kata Agus, sebe­lumnya ada kegiatan bela diri, namun kegiatan tersebut di­larang petugas dengan alasan tidak jelas. "Kami pilih ikut aturan itu saja. Tidak mau ribut-ribut," ujarnya.

Soal izin kegiatan pondok dari Kementerian Agama, Agus membenarkan belum ada izin dari institusi pemerintah itu. "Kami tak kunjung mendapatkan izin karena prosedur pendaftaran yang berbelit-belit," alasannya.

Selain itu, Agus menolak jika Pondok Ibnu Mas'ud secara kelembagaan dikaitkan dengan Hatf dalam kasus terorisme. "Hatf belajar di sini cuma tiga bulan. Setelah itu diambil kelu­arganya," kenang Agus.

Karena sering dikaitkan denganteroris, Agus mengakui pondoknya sering mendapat ter­or dari orang tidak dikenalnya. Bentuknya berupa suara motor yang terus digeber tepat di depan pondok setiap tengah malam. "Tapi Alhamdulillah, tidak ada teror fisik," tandasnya.

Tidak hanya itu, lanjut dia, seluruh aktivitas pondok juga selalu diawasi dengan CCTV yang dipasang tepat di depan pondok. "Saya tidak tahu siapa yang memasang. Mungkin orang yang tidak suka dengan pon­dok," ujarnya.

Sebetulnya, kata dia, CCTV dipasang di pohon akasia tepat di arah gerbang masuk. Kemudian, beberapa pengurus berinisiatif menutup pandangan CCTV denganspanduk berukuran besar.

"Karena pandangan terhalang, akhirnya CCTV dipindah ke pohon yang lain," tandasnya.

Agus menambahkan, pihak Polsek Taman Sari pun mengul­timatum seluruh santri dan guru untuk secepatnya meninggalkan pondok karena akan diserbu ribuan warga.

"Saya harap kepolisian mengamankan, jangan sampai me­nakut-nakuti santri dan guru," pintanya.  
 Latar Belakang
Usai Mengunjungi Ayah, Bocah 13 Tahun Itu Putuskan Bergabung Dengan ISIS

Pondok Pesantren Ibnu Mas'ud, Taman Sari, Bogor, Jawa Barat tiba-tiba populer. Penyebabnya, pondok yang khusus mempelajari Tahfizh Al Quran ini, pernah menjadi tempat be­lajar Hatf Saiful Rasul.

Bocah berumur 13 tahun ini, memutuskan bergabung denganNegara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Suriah se­usai mengunjungi ayahnya, Syaiful Anam alias Brekele di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Syaiful Anam merupakan terpidana kasus terorisme dengan lama hukuman 18 tahun pen­jara. Ia merupakan salah satu pelaku peledakan bom di Pasar Tentena, Poso, Sulawesi Tengah pada 2005. Anak Syaiful, Hatf telah tewas awal September lalu karena terkena serangan udara di Suriah.

Selain itu, pondok yang be­rada di kaki Gunung Salak ini, juga memiliki keterkaitan denganHari Budiman, terpidana kasus pelatihan militer di Aceh pada 2010 yang difasilitasi Dulmatin, salah satu otak Bom Bali tahun 2002.

Selain Hatf dan Hari, Ponpes Ibnu Mas'ud juga dikaitkan den­gan sejumlah nama lain sepertiDulmatin, pelaku teror bom Thamrin, Dian Juni Kurniadi, hingga pelaku bom gereja di Samarinda, Gusti Adam.

Tidak ketinggalan, salah satu alumni ponpes ini, Aman Abdurrahman kini mendekam di penjara akibat sejumlah kasus serangan terorisme di Indonesia. Aman adalah pendiri Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang bersekutu dengan ISIS dan telah melahirkan sejumlah senior ISIS di Asia Tenggara.

Beberapa kasus yang me­libatkan anggota JAD, adalahmengibarkan bendera ISIS di Kebayoran Lama (Jakarta Selatan) dan berencana meledak­kan markas polisi di Bima (Nusa Tenggara Barat).

Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris men­gaku telah mengetahui masalah terkait Ponpes Ibnu Mas’ud yang disebut-sebut sebagai sa­rang teroris. Namun demikian, kata Irfan, lemahnya hukum kontra-terorisme di Indonesia, menjadi penyebab mengapa ponpes seperti Ibnu Mas’ud tak dikenakan sanksi yang efektif.

"Itu bukan domain kerja ka­mi, ini kerjaan Kementerian Agama," elaknya.

Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin, Ibnu Mas'ud tidak pernah ter­daftar sebagai pesantren. "Sekolah ini juga tidak terdaftar di Kementerian,"sebutnya.

Menurut Amin, pemerintah daerah setempat juga telah me­minta pihak ponpes tersebut menjelaskan mengenai status sekolah ini, namun tidak menda­pat respon.

Senada, Staf khusus Menteri Agama Hadi Rahman mengata­kan, Kemenag mencatat terdapat 29.700 pesantren resmi yang ter­daftar. "Realitasnya ada sekitar 80.000 pesantren di Indonesia," sebutnya.

Menurut Hadi, pendaftaran ke Kemenag ini sifatnya tidak wajib, namun keuntungannya mudah mendirikan sekolah formal, dapat bantuan dan mudah bekerjasama dengan pihak lain.

Terkait hal ini, Camat Tamansari, Bogor, Ahmad Sopian mengatakan, sejumlah santri mulai meninggalkan Pondok Pesantren Ibnu Mas`ud sejak Jumat (15/9) malam. Mereka dijemput orangtua dan keluarga masing-masing.

"Berdasarkan informasi dari kepolisian, sudah ada beberapa orang santri meninggalkan pon­dok," sebut Sopian.

Sopian menambahkan, masyarakat di sekitar pondok pesantren ini memang telah mengeluarkan ultimatum agar pondok itu dikosongkan mulai 17 September 2017. Seiring ultimatum itu, orangtua siswa buru-buru menjemput anak mereka.

"Santri yang belum dijemput keluarga, rencananya akan dipindah ke tempat lain oleh pengurus pesantren," ucapnya.

Sebelumnya, kata Sopian, ratusan penduduk mendatangi Pondok Pesantren Ibnu Masud, karena salah satu pengajar di pesantren itu, membakar kain umbul-umbul merah-putih yang dipasang untuk memperingati Hari Kemerdekaan.

Tindakan itu, lanjutnya, me­nyulut kemarahan masyarakat dan menuduh pesantren tersebut anti Pancasila dan anti-NKRI. "Berdasarkan surat pernyataan tanggal 17 Agustus lalu, pengu­rus Ibnu Masud meminta waktu satu bulan untuk mengosong­kan pondok pesantren," jelas Sopian.

Sopian menambahkan, da­lam kurun satu bulan tersebut, jajaran Muspika, baik petugas Kecamatan, Polsek, MUI datang ke Ponpes untuk berkoordi­nasi dan menjalin komunikasi dengan pengurus yayasan dan Ponpes Ibnu Masud yang tetap bertahan dan tidak akan mening­galkan ponpes. "Mereka sempat bilang tetap tinggal di sana," pungkasnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA