Situasi itu tidak berpengaruh terhadap kegiatan di kantor salah satu penyedia layanan transporÂtasi aplikasi ini, Grab Car di Cikini, Jakarta Pusat, kemarin.
Kendati hari menjelang sore, puluhan orang masih berjubel di kantor tiga lantai ini. Tidak ada yang istimewa di kantor berukuÂran 6x15 meter itu. Bangunannya biasa saja.
Papan nama "Grab Car" yang berada di depan kantor ditutupi plastik hitam. Di depan kantor tersedia carport yang ditutupi kanopi. Beberapa sepeda motor terparkir rapi di carport yang hanya muat satu mobil itu.
Masuk lebih dalam, terdaÂpat pintu terbuat dari kaca yang bertuliskan "Grab" berukuran besar. Di dekat pintu itu satpam berjaga-jaga. "Pendaftaran suÂdah tutup," ucapnya.
Dia menjelaskan, kantorini hanya untuk pendaftaran Grab Car dan Grab Taxi. Sedangkan pendaftaran ojek online di kanÂtor Grab yang lain, tapi masih di Jakarta Pusat.
"Kalau Grab Bike di Bendungan Hilir," jelasnya.
Saat ditanya keberadaan pengurus GrabCar, satpam tersebut mengatakan, seluruh pengurus sedang keluar kantor. "Lagi ada urusan di luar," ucapnya.
Di dalam ruangan, puluhan orang duduk santai di lantai. Mereka menunggu giliran diÂpanggil oleh bagian pendaftaran Grab. Namun, kursi yang diseÂdiakan, tidak mampu menamÂpung semua orang yang ingin bergabung ke Grab itu.
Begitu juga dengan Iwan. Pria setengah baya ini terlihat gelisah di pojok ruangan. Sesekali, pria yang sebenarnya telah bergabung di Grab Car ini, mengotak-atik handphone yang dibawanya.
"Mau lapor ke sini, aplikasi Grab Car di HP saya diblokir sejak tiga hari lalu," ucapnya.
Iwan mengaku sudah satu buÂlan bergabung dengan Grab Car dan hasilnya lumayan. "Dalam sebulan dapat sekitar Rp 5 juta," sebut pria asal Cakung ini.
Namun, dalam tiga hari ini, Iwan tidak bisa menerima order karena aplikasi Grab Car di hp-nya tidak bisa diakses. Pasalnya, dalam dua minggu dirinya tidak menerima order karena sedang ganti plat nomor kendaraan.
"Saya lupa lapor ke sini. Jadi diblokir. Kalau lapor, pasti tidak diblokir," ujarnya.
Iwan menambahkan, dalam aturan di Grab Car, bila dalam seminggu berturut-turut tidak menerima order, maka dengan sendirinya aplikasi diblokir.
"Kalau sudah diblokir, biÂasanya agak ribet ngurusnya dan harus mengulang dari awal," katanya.
Walhasil, lanjut dia, dua mingguini waktunya akan banyak dihabiskan untuk mengurus pengaktifan kembali aplikasi Grab Car. "Soalnya harus antre daftarnya," tandas Iwan.
Selebihnya, dia berharap agar aplikasi layanan transportasi seperti Grab Car, tidak diblokir pemerintah. Sebab, aplikasi seperti ini sama saja membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang, di tengah situasi sulitnya mencari pekerjaan.
Menurutnya, aplikasi seperti ini, juga menolong masyarakat yang membutuhkan alat transÂportasi aman, nyaman dan muÂrah. "Kalau diblokir, akan banÂyak yang protes," tutupnya.
Managing Director Grab Indonesia, Ridzki Kramadibrata menÂgaku, pihaknya bukan operator layanan transportasi, melainkan sebagai perusahaan teknologi yang menghubungkan antara pengemudi dan penumpang.
"Kami sudah bekerja sama dengan perusahaan penyedia transportasi independen dalam menghantarkan layanan Grab Taxi, Grab Car, Grab Bike, dan Grab Express kepada peÂlanggan kami," ujar Ridzki, kemarin.
Pria yang akrab disapa Kiki ini mengatakan, Grab Indonesia bukan perusahaan transporÂtasi ilegal. Menurutnya, Grab Indonesia sudah terdaftar sebaÂgai pembayar pajak dari perusaÂhaan aplikasi.
"Kami berkomitmen untuk menaati semua peraturan dan ketentuan lokal yang berlaku. Kami proaktif berkomunikasi dengan berbagai pihak, guna memudahkan kepentingan inÂdustri," ucapnya.
Kiki menambahkan, Grab juga membantu membuka lapanÂgan pekerjaan lebih luas bagi masyarakat.
Terpisah, Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Rudiantara menyatakan, tidak akan terburu- buru membuat keputusan, apakah aplikasi layanantransportasi akan diblokir atau tidak.
Pihaknya, lanjut Rudiantara, akan terlebih dahulu mencari tahu permasalahan secara menÂdalam, bersama kementerian terkait dan beberapa pihak lainÂnya. "Belum ada keputusan blokir. Kita bertemu dulu dengan Grab, Uber Taksi, Kementerian Perhubungan dan Dishub DKI untuk membahas permasalaÂhan ini," katanya di Jakarta, kemarin.
Menurut Rudiantara, pemerintahtidak akan mengambil keputusan jika belum diketahui secara jelas letak permasalahanÂnya. Sebab, pemerintah tidak ingin terjadi pertentangan di masyarakat, yang justru merugiÂkan masyarakat.
"Baik itu sopir taksi konÂvensional maupun yang mengÂgunakan aplikasi. Kita juga ingin aspirasi masyarakat unÂtuk mendapatkan pelayanan publik dan nyaman terpenuhi," tuturnya.
Lebih lanjut, ia menilai, bila dikaitkan dengan teknologi, aplikasi yang digunakan Grab atau Uber tidak bisa disalahkan. Sebab, menurutnya, aplikasi ini merupakan bentuk upaya kreÂatif dan inovatif dalam bidang ekonomi. Hanya, perlu ada reguÂlasi yang mengaturnya.
"Jangan disalahkan aplikasinÂya, aplikasi ini netral, karena ada juga taksi konvensional mengÂgunakan itu," ucapnya.
Untuk itu, dia berharap, denganbertemu seluruh stake holder,bisa diketahui titik perÂsoalannya. Kemudian, dicarikan solusi yang tidak merugikan seÂmua pihak. "Jadi, bukan aplikasi yang menentukan. Aplikasi netral," tandasnya.
Rudiantara menambahkan, pihaknya juga akan melihat dulu struktur industri ini, apakah jumÂlah yang ditawarkan, sesuai atau tidak dengan permintaan. "Itu yang harus di-manage dulu," katanya. ***