Pasca Operasi Pemberantasan Penyakit Masyarakat (Pekat), kawasan Kalijodo, Jakarta Utara jadi lebih sepi. Jalan Kepanduan II yang berada tepat di depan deretan kafe, lebih lengang.
Sejumlah pengendara motor melintasi kawasan yang terkenal hiburan malamnya itu. Beberapa anggota polisi berjaga untuk mengamankan Kalijodo pasca operasi tersebut. Deretan warung yang biasa menyediakanminuman, banyak yang tak beroperasi. Hanya beberapa yang masih buka.
Belakangan ini, para pemilik kafe menutup tempatnya berdaÂgang. Hal itu terpaksa dilakukan lantaran para pekerja kafe dan pekerja seks komersial (PSK) pergi entah ke mana. Pasalnya, penghasiÂlan mereka sangat bergantung pada ramainya tamu. Karena rencana penertiban, kawasan tempat hiburan malam ini jadi sepi.
Warga Kalijodo pun tak banÂyak yang beraktivitas di luar ruÂmah. Pintu-pintu rumah tertutup rapat. Hanya ada beberapa warga Kalijodo yang berada di luar ruÂmah, untuk sekadar berbincang. Perbincangan mereka kebanyakan tentang relokasi ke rusun. Ada yang tidak setuju, dan ada juga yang setuju dengan syarat tertentu.
Warga Kalijodo diberi waktu 11 hari dari Kamis (18/2) unÂtuk mengosongkan atau memÂbongkar sendiri bangunannya. Sebelas hari itu terdiri atas tujuh hari untuk masa berlaku surat peringatan pertama, tiga hari untuk masa berlaku surat perinÂgatan kedua, dan satu hari untuk masa berlaku surat peringatan ketiga. Jika tidak mengosongkan wilayah Kalijodo, pemerintah akan melakukan eksekusi.
Sumiyati, salah satu warga pemilik kios makanan dan miÂnuman ringan, dengan tegas menolak relokasi ke rusun. Alasannya, tawaran ganti rugi itu tidak menjamin kehidupannya akan tetap sejahtera saat sudah bertempat tinggal di rusun. "Di rusun, kami mau usaha apa? Mau buka warung, tetangga kanan kiri juga usaha yang sama," ujar Sumiyati di kiosnya.
Sumiyati mengaku belum memiliki rencana jika Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI jadi melakukan pembongkaran kiÂosnya setelah mengeluarkan Surat Perintah Bongkar (SPB) awal Maret nanti. Dia tak perÂnah punya rumah di Kalijodo. Dia hanya menyewa kontrakan di Kalijodo, begitu juga anak-anaknya yang kini tinggal di sebelah kontrakannya.
Tempat tinggalnya hanya kamar kecil tanpa kamar manÂdi. Makanya, Sumiyati mesti mandi di WC umum setiap hari. Harga sewa kontrakannya hanya Rp 250.000 per bulan. "Sekarang saya pusing harus pindah ke mana. Kamarnya sudah saya rapikan, barang-barang sudah dimasukkan ke koper, tapi saya bingung pindah ke mana," tuturnya.
Sumiyati begitu mengganÂtungkan hidupnya dari kios yang telah ia kelola selama 20 tahun. Dia biasa mendapat penghasilan Rp 400.000 hingga Rp 500.000 setiap hari dari kios yang ia kelola. "Setelah rencana penertÂiban ramai diberitakan, apalagi setelah Surat Peringatan Pertama dikeluarkan, penghasilan saya turun drastis. Penghasilan saya sekarang paling tinggi 100 ribu per hari," curhatnya.
Penurunan pendapatan itu, lanjut Sumiyati, terjadi karena pemilik kafe dan para PSK yang biasa menjadi langganannya telah meninggalkan Kalijodo. Mereka mulai pergi sebelum SP1 dikeluarkan. "Dari kios ini, saya bisa menyekolahkan tiga anak. Sekarang kalau mau digusur, tidak tahu bagaimana nasib kami," tuturnya.
Sukinem, warga RT 05 RW 05 memiliki pandangan yang agak berbeda. Ia bersedia direlokasi ke rusun, asalkan mereka ditemÂpatkan di satu blok dalam rusun yang sama. "Kalau semua setuju masuk rusun bareng-bareng, saya mau. Satu blok gitu dari sini semua," usulnya.
Sukinem menyatakan, sampai saat ini dia belum mau pindah ke rusun lantaran banyak warga Kalijodo belum mau pindah. Warga masih sepakat bertahan bersama. Selain itu, rusun yang ditawarkan jadi tempat relokaÂsi, yakni Rusun Marunda dan Pulogebang, lokasinya juga jauh. "Saya kalau dipindah ke Rusun Daan Mogot mau, tapi katanya beÂlum selesai dibangun," lanjutnya.
Sukinem juga merasa tidak diterima di lingkungan baru nanti. "Warga Marunda di TV biÂlangnya tak mau menerima kita. Kayak orang Kalijodo bukan manusia saja," ujar perempuan asal Yogyakarta ini.
Sukinem sekarang bingung mau tinggal di mana. Meski mengontrak di Kalijodo sejak umur 17 tahun, ia telah memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI. Saat ini, dia tak ada pilihan lain selain mencari kontrakan yang dekat. Di Kalijodo, dia meÂnempati kontrakan seharga Rp 200.000. Anak dan menantunya juga demikian.
"Saya nyari di perumahan belakang sini, tapi tak ada yang mau terima. Bilangnya penuh, padahal masih ada yang koÂsong. Tak mau kalau orang dari Kalijodo. Kalau ada kontrakan lain, mahal, rata-rata 500 ribu per bulan. Uangnya kurang, makanya saya masih cari-cari ini," ujar Sukinem.
Diman, warga RT 05 RW 05 Kalijodo lainnya, mengatakan hal yang hampir serupa. Ia setuju kalau direlokasi ke rusun, asalkan satu bangunan bersama warga Kalijodo lainnya. "Saya di mana saja, asalkan satu blok sama orang dari sini," imbuhnya.
Diman juga punya permintÂaan lain. Ia tetap berharap, ada kompensasi kalau tempat tingÂgalnya dibongkar. "Kami tak mau melawan aparat, tidak ngeÂlawan Ahok. Tapi, kami harus mempertahankan hak. Saya harap ada ganti rugi yang sesuai harga bangunan," urai Diman.
Diman menambahkan, dirinya punya tiga rumah yang seluÂruhnya tak bersurat. Dia cuma punya bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan tiap tahun. Diman memakai satu rumah untuk tinggal, sedangkan dua rumah lainnya ia kontrakkan.
"Dari kontrakan, setiap bulan saya dapat pemasukan sekitar Rp 700.000. Kalau saya pindah ke rusun, pemasukan saya hilang. Wajar dong saya minta ganti rugi," ucap pria yang tinggal di Kalijodo sejak lahir ini.
Ketua RW 05 Kelurahan Pejagalan, Y Kunarso Suro Hadi Wijoyo menyatakan, tokoh masyarakat maupun pengurus Rukun Tetangga (RT), dan Rukun Warga (RW) di lokalisasi, sepakat memÂinta Pemprov DKI Jakarta untuk menyediakan Rumah Susun Hak Milik (Rusunami). Mereka berseÂdia untuk pindah asal direlokasi ke rusunami tersebut, bukan Rumah Susun Sewa Sederhana (Rusunawa).
Alasannya, kawasan Kalijodo merupakan wilayah yang sudah ditempati selama puluhan tahun, meski memang menduduki taÂnah milik negara, dan harusnya merupakan ruang terbuka hijau (RTH). Kawasan prostitusi kelas bawah tersebut telah ada sejak tahun 1960-an.
"Warga sudah banyak yang mendapatkan nafkahnya dari wilayah ini, dengan cara berÂjualan. Itu yang harus pemerinÂtah pikirkan. Kalau PSK mungÂkin bisa pindah, tapi buat warga yang tinggal di sini puluhan tahun, masa iya mereka tidak mendapat kompensasi apapun," ujar Kunarso di depan Kantor Pos RW 05 Kelurahan Pejagalan.
Menurutnya, saat ini kawasan Kalijodo sudah jauh lebih tertib dibandingkan puluhan tahun laÂlu. Saat itu Kalijodo bukan hanya daerah prostutusi, perjudian juga masih marak di sana. "Kalau kita fair-fairan, tak ada perjudian. Memang ada yang minum miÂnuman beralkohol, tapi tak ada yang berbuat kriminal di sini. Sedangkan pelacuran itu dampak kondisi ekonomi yang memaksa para perempuan dari daerah unÂtuk datang bekerja seperti ini," tambah Kunarso.
Latar Belakang
Polisi Temukan 436 Anak Panah BeracunGelar Operasi Pekat Di Kalijodo
Aparat gabungan dari Polda Metro Jaya dan Kodam Jaya diterjunkan dalam Operasi Penyakit Masyarakat (Pekat) di kawasan Kalijodo, Jakarta.
Salah satu kafe yang menjadi sasaran adalah Intan Cafe milik pentolan Kalijodo, Abdul Aziz alias Daeng Aziz. Polisi anti huru hara dikerahkan ke kafe ini. Mereka menjaga ketat kafe itu.
Pantauan di lokasi, lima wanitasempat diamankan di sana. Mereka didata dan dites urine. Polwan yang mendata menduga, mereka adalah pekerja seks komersial (PSK) serta mucikari. Bukan hanya itu, polisi juga menemukan satu gudang berisi penuh minuman bir yang masih terisi.
Kapolda Metro Jaya Irjen Tito Karnavian mengatakan, pihaknya akan menyelidiki siapa yang memasok minuman terseÂbut. Sebenarnya kami sudah mendapatkan informasi, tapi tak bisa saya jelaskan dulu siapa. Jika memang itu ilegal dan tanpa izin, kami akan proses secara hukum,†tandasnya.
Sedangkan pemilik senjata tajam, terancam terkena Undang Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, Pasal 2. Aparat juga menyita 33 senjata tajam dari berbagai jenis, 2 palu, 8 linggis, 3 tang, 9 obeng, 1 senapan angin, 166 dus kondom, dan ratusan anak panah dalam operasi tersebut.
"Ada sekitar 10 ribu bir yang kami temukan di sini (Kafe Intan), dan 436 anak panah yang kami duga beracun," ujar Kepala Biro Operasi Polda Metro Jaya Kombes Martuani Sormin di lokasi.
Operasi Pekat yang digelar paÂda Sabtu (20/2) sejak pukul 04.00 WIB itu, menyasar 66 kafe di Kalijodo, Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Selain menyita ratusan kondom, polisi juga menyita gunting, palu, linggis, pisau pemotong kue, dan foto-foto perempuan yang didapat dari kafe-kafe tersebut.
Tak hanya itu, dalam Operasi Pekat ini, aparat juga menangkap 17 orang, di mana 9 orang di antaranya adalah pemilik kafe, dua orang memiliki senjata tajam (sajam), tiga orang sebagai PSK, dan tiga pemuda yang diketahui sedang berpesta narkoba.
Direktur Narkoba Polda Metro Jaya Kombes Eko Daniyanto mengatakan, pihaknya mengaÂmankan tiga orang yang kedaÂpatan sedang mengonsumsi narkoba saat operasi pekat seÂdang dilakukan. Ketiga pemuda tersebut yakni Lani, Rizal, dan Sandi, mereka merupakan warga sekitar Kalijodo yang kepergok berpesta narkoba saat operasi pekat dilakukan ribuan pasukan gabungan TNI dan Polri.
"Mereka dibawa ke Polres Metro Jakarta Utara untuk menÂjalani proses pemeriksaan lebih lanjut, namun dari hasil tes urine yang sudah kita lakukan, mereka positif menggunakan narkotika jenis sabu," kata Eko.
Selain menemukan sejumlah baÂrang bukti paket sabu ukuran kecil, ia mengungkapkan, anggotanya juga menemukan alat hisap dan seÂjumlah senjata tajam yang dimiliki dua pemuda untuk berjaga-jaga bila terjadi keributan.
"Kawasan prostitusi dan bar seperti ini selain rawan tindak kriminal, dapat dengan mudah ditemukan penyalahgunaan narkotika. Oleh sebab itu, kami akan melakukan operasi pekat ini secara rutin," ucapnya.
Sementara itu, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Krishna Murti mengatakan, pihaknya akan terus melakukan operasi semacam ini. Tujuannya untuk menjaga agar situasi di Kalijodo selalu kondusif. Dengan Operasi Cipta Kondisi di Kalijodo, pihaknya berharap tidak ada hambatan bagi Pemprov DKI Jakarta untuk menerapkan kebijakannya.
"Cipta Kondisi terus dilakuÂkan, supaya pada saatnya nanti, kebijakan Bapak Gubernur daÂpat berjalan lancar. Artinya apa, kami berharap nanti ketika penataan oleh pemda berjalan, tidak ada lagi hal-hal yang tidak diinginkan. Nah, itu harus dicipÂtakan, di-create dari awal. Kalau tidak, berarti tidak ada perencaÂnaan," urainya.
Menurut Krishna, saat ini, pemilik 50 kafe di Kalijodo suÂdah mulai keluar. Tak hanya itu, para pengontrak di Kalijodo juga mulai meninggalkan kawasan itu. "Yang warga sebagian sudah mendatangi kecamatan untuk nanti mendapat kompensasi perumahÂan, sebagaimana yang telah diatur Pemprov DKI," tandasnya.
Sebelum melakukan operasi tersebut, aparat gabungan dari Polda Metro Jaya, TNI, Satuan Polisi Pamong Praja melaksanaÂkan apel dalam rangka operasi menangani penyakit masyarakat di Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara. Data dari Polda Metro Jaya menyebutkan, aparat keamanan gabungan yang diterjunkan terdiri dari sekitar 3.400 personel kepolisian, 600 TNI, dan 2.000 satuan polisi pamong praja (Satpol PP). ***