Hari menjelang sore. Jam menunjukkan pukul 15.00 WIB. Lina masih sibuk membolak-balik berkas yang tertumpuk di depannya. Sesekali, wanita berkaca mata ini menulis berkas yang dipegangnya.
Sejurus kemudian, wanita berkemeja putih ini beranjak untuk mengambil dokumen yang tak jauh dari tempat duduknya. "Sampai hari ini baru sembilan yang mendaftar. Satu orang hanÂya mengambil berkas," ujar Lina Maryani, Kasubag Rekrutmen Hakim KY di Gedung KY, Jalan Kramat Raya Nomor 57, Jakarta Pusat, Rabu (17/2).
Sore itu, tempat pendaftaran CHA yang berada di lantai 1 Gedung KY sepi sekali. Tidak terÂlihat satu pun pendaftar. Hanya ada dua petugas pendaftaran yang sibuk mebolak-balik berkas di meja pendaftaran.
Ruangan selebar lapangan tenis meja itu cukup nyaman. Satu set sofa ditempatkan di bagian depan untuk tempat ruang tunggu tamu. Meja pendaftaran ditempatkan di tengah-tengah ruangan.
Di bagian belakang ditempelspanduk besar bertuliskan "Penerimaan Usulan Calon Hakim Agung Republik Indonesia Tahun 2016". Spanduk dengan ukuran lebih besar juga dipasang di depan Gedung KY dengan tuÂlisan yang sama. Walhasil, para pengguna jalan bisa dengan muÂdah mengetahui dan membaca spanduk warna gelap itu.
Lina mengatakan, pihaknya mendapat permohonan seleksi CHA dari Mahkamah Agung (MA) tanggal 15 Januari 2016 guna mencari delapan hakim agung yang akan ditempatkan di berbagai kamar. Yaitu, 1 orang di Kamar Pidana, 4 di Kamar Perdata, 1 di Kamar Agama, 1 di Kamar Militer, dan 1 di Kamar Tata Usaha Negara (TUN).
Para hakim agung tersebut, lanjut dia, akan menggantikanhakim agung yang segera meÂmasuki masa pensiun dan berÂdasarkan analisa beban kerja yang cukup berat.
Lina menjelaskan, Panitia Seleksi (Pansel) CHA tidak hanyamenunggu pendaftar, tetapi juga melakukan jemput bola dan melakukan penjaringan di 7 kota besar di Indonesia. Yaitu, Medan, Surabaya, Makassar, Bandung, Yogyakarta, Samarinda dan Padang. "Semoga dengan cara ini, antusiasme masyarakat yang mendaftar akan meningkat," harap dia.
Langkah jemput bola dilakuÂkan dengan cara, Lina menconÂtohkan, media visit, sosialisasi di perguruan tinggi dan pengadilan tinggi. "Kebanyakan sebatas menelepon untuk menanyaÂkan syarat-syarat pendaftaran. Biasanya menjelang penutupan baru ramai yang mendaftar," sebut dia.
Selama pendaftaran, kata Lina, ada 6 petugas yang berjaga berÂgantian mulai pukul 08.00 WIB hingga pukul 16.30 WIB. Untuk persyaratan menjadi CHA, Lina menyebut, lebih berat dibanding menjadi hakim ad hoc tipikor tingkat kasasi. Hakim karir harus lulus S 2 (master) dan non karir harus lulus S 3 (doktor). "Untuk hakim ad hoc tipikor cukup lulus sarjana," sebutnya.
Persyaratan lainnya, untuk calon hakim karir minimal beruÂmur 45 tahun, berpengalaman selama 20 tahun menjadi hakim, termasuk 3 tahun menjadi haÂkim tinggi. "Juga tidak pernah mendapat sanksi pemberhentian sementara," tandasnya.
Sementara untuk non karir juga minimal berumur 45 tahun. Jenjang pendidikan dari sarjana hingga doktor harus di bidang hukum, dan berpengalaman seÂlama 20 tahun menjadi praktisi atau akademisi.
"Yang penting lagi, tidak perÂnah diancam pidana selama 5 tahun atau lebih," terangnya.
Seluruh CHA yang mendafÂtar akan mengikuti serangkain tahapan tes mulai assemment, kesehatan, wawancara dengankomisioner KY hingga uji kepatutan dan kelayakan di DPR. "Semua tahapan itu akan berlangÂsung selama 6 bulan," sebutnya.
Nantinya, lanjut Lina, Pansel KY akan memilih CHA yang bakal dikirim ke DPR. "DPR hanya menyetujui atau tidak. Kalau tidak diterima, kami akan melakukan seleksi ulang," tanÂdasnya.
Terpisah, Juru Bicara MA Suhadi mengatakan, CHA hasil seleksi KY akan menggantikan hakim agung yang saat ini telah memasuki masa pensiun karena telah berumur 70 tahun.
"Bukan untuk penambahan hakim agung," ujar Suhadi keÂpada Rakyat Merdeka.
Suhadi menyebut, hakim agung yang akan memasukimasa pensiun antara lain Imron Anwari, Imam Subekti, Habiburahman, Made Tara, Komariah, Djoko Sarwoko. "Mereka berasal dari berbagai kamar perkara," sebutnya.
Lebih lanjut, kata Suhadi, idealnya jumlah hakim agung 60 orang, tapi saat ini jumlahnya baru 49 orang dikurangi dengan 8 orang yang akan memasuki masa pensiun tahun ini. Mereka tersebar di lima kamar, yaitu piÂdana, perdata, agama, militer dan tata usaha negara (TUN).
"Jumlah hakim agung pernah mencapai rekor sebanyak 53 orang. Kini menyusut, karena banyak yang pensiun dan alasan lainnya," ujar Suhadi.
Mengenai penambahan jumÂlah hakim agung, dia belum mengetahui secara pasti karena pimpinan lebih tahu soal itu. "Nanti kalau pimpinan memÂbutuhkan tambahan personel, pasti akan meminta ke KY untuk melakukan seleksi kembali," ucapnya.
Untuk CHA, Suhadi lebih menginginkan agar lebih banyak berasal dari hakim karir dari paÂda non karir. Alasannya, merekatelah meniti karir bertahun-tahun dari bawah, bahkan sejak umur 25 tahun, sehingga sudah berÂpengalaman dan adaptasinya tidak terlalu sulit. "Biasanya yang dari non karir butuh adaptasi agak lama," tandasnya.
Suhadi menambahkan, tugas hakim agung hampir sama denganhakim di tingkat banding yang meneliti berkas perkara. Di tingkat banding, tugas haÂkim meneliti bukti-bukti yang ada dan berkas-berkas penduÂkung. Sedangkan di tingkat kasasi, lebih kepada menguji apakah penerapan hukum yang dilakukan hakim di tingkat perÂtama dan banding sudah tepat atau tidak.
Sudut PandangSeleksi Bukan Sekadar Untuk Penuhi KuotaReza Syahwawi, Aktvis TII
Peneliti hukum dan kebijakan dari Transparency International Indonesia (TII) Reza Syahwawi meminta Panitia Seleksi (Pansel) untuk mencari calon hakim agung (CHA) yang kompeten di bidangnya.
Jangan sampai seleksi asal-asalan demi memenuhi kuota, sehingga mengesampingkan kualitas dan kapasitas calon. "Selama ini kami melihat beÂberapa hakim agung yang tidak sesuai kompetensinya, sehingÂga tidak pas dalam membuat putusan," kritik Reza.
Sebetulnya, menurut Reza, sistem kamar yang ada di MA saat ini sudah cukup baÂgus untuk mengklasifikasi kompetensi hakim agung seÂsuai bidangnya. Namun, ada beberapa kasus, hakim yang dipaksakan kompetensinya dan duduk di kamar yang bukan sesuai keahliannya.
"Seleksi yang dilakukan KY diharapkan sebagai pintu awal mendapatkan hakim agung seÂsuai kapasitasnya," harap dia.
Kendati demikian, dia melihat ada beberapa hakim agung yang bagus dan kompeten seperti Artidjo Alkostar, yang kerap memberi hukuman tinggi kepada terpidana kasus korupsi.
Seharusnya, lanjut Reza, kompetensi itu tidak hanya dimiliki satu orang, tapi seluruh hakim agung, sehingga lembagatertinggi pengadilan itu bisa menjadi gerbang terakhir para pencari keadilan.
"Masih terjadi disparitas keahlian antara hakim agung," kritiknya.
Kendati demikian, dia meyaÂkini hasil seleksi calon hakim agung di KY akan berjalan secara transparan dan sesuai kapasitas serta kapabilitas calon. Sebab, selama ini hasil seleksi di lembaga pengawas pengadilan itu sudah cukup teruji dan tidak ada yang berÂmasalah.
Namun, menurut Reza, yang masih menjadi pertanyaan adalah saat seleksi di Komisi Hukum DPR. Biasanya, lanjut dia, DPR tidak hanya melihat dari segi kapasitas dan kapaÂbilitas, tapi juga unsur politis.
Untuk itu, langkah yang tepat untuk menghindari poliÂtisasi pemilihan hakim agung adalah dengan mengirimkan nama-nama sesuai kebutuhan MA. "Kalau butuh 8, ya, kirim 8," saran dia.
Tidak hanya itu, Reza juga meminta calon hakim agung yang akan melakukan uji keÂlayakan dan kepatutan di DPR untuk menyiapkan diri dengan baik, dan tidak gampang grogi bila mendapat pertanyaan yang bertubi-tubi dan tajam. "Selalu tenang dalam menjawab perÂtanyaan yang diajukan, karena itu kunci meyakinkan kalangan Dewan." ***