WAWANCARA

Adrianus Meliala: Ujaran Kebencian Sekarang Lagi Gila-gilaan, SE Kapolri Dibuat Agar Polisi Tidak Bimbang

Selasa, 10 November 2015, 08:51 WIB
Adrianus Meliala: Ujaran Kebencian Sekarang Lagi Gila-gilaan, SE Kapolri Dibuat Agar Polisi Tidak Bimbang
Adrianus Meliala/net
rmol news logo Pria ini berperan besar di balik penerbitan Surat Edaran (SE) Kapolri tentang prosedural penanganan kasus uja­ran kebencian alias hate speech. Adrianus Meliala men­gungkapkan, sejatinya perumusan SE Kapolri itu sudah dilakukan sejak tongkat komando Polri masih dipegang Jenderal Sutarman. "Sehingga saya tahu persis hingga bergulir menjadi surat edaran," ujar Adrianus kepada Rakyat Merdeka.

Kini banyak kalangan men­curigai penerbitan SE ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk membungkam daya kritis masyarakat. SE ini dinilai seba­gai bentuk kamuflase dari pasal penghinaan presiden yang sudah dicabut Mahkamah Konstitusi (MK). Bagaimana Adrianus menanggapi tudingan tersebut, ini wawancara selengkapnya;

Memang apa urgensinya surat edaran ini?
Urgensinya kita lihat sendiri kan bahwa ujaran kebencian apakah itu teks tertulis, teks di media sosial, tukang khutbah, itu sekarang kan gila-gilaan banget. Sementara aparat di lapangan bimbang. Bimbangnya bukan karena faktor hukumnya, tapi lebih karena sebetulnya; aman nggak saya kalau saya meng-enforce (kasus) ini. Nah lewat surat edaran ini, Kapolri menekankan kepada seluruh jajaran di bawah agar jangan ragu-ragu. Tapi jan­gan juga sedikit-sedikit dibawa ke ranah hukum jika bisa dide­teksi untuk dilakukan pencega­han. Kalau tidak bisa (dicegah) barulah ditegakkan hukumnya dengan undang-undang yang ada, dengan pasal-pasal yang ada, yang selama ini tidak dipakai dalam rangka itu.

Lalau bagaimana membe­dakan ujaran kritik dengan ujaran kebencian?
Saya kira beda sekali ya. Kalau kritis itu kan pada kebijakan, se­mentara ujaran kebencian nggak ada kaitannya dengan kebijakan. (Ujaran kebencian) itu kaitan­nya dengan variabel-variabel primordial yang dieksploitasi secara negatif oleh orang-orang yang mengutarakannya.

Maksudnya?
Maksudnya begini, misalnya Islam itu apa, Kristen itu apa. Lalu benci itu bagaimana, orang Jawa itu bagaimana. Jadi itu yang dieksploitasi, untuk tujuan-tujuan yang bersifat agresif, menyerang. Nah itu kan nggak ada kaitannya dengan kritis.

Tapi kok pasal pencemaran nama baik dimasukkan sebagai bentuk ujaran kebencian, itukan pasal yang sudah dicabut MK?

Ya kalau (ujaran) itu me­nyerang orang, itu memang pencemaran nama baik. Misal; Andrianus brengsek kamu, itu kan pencemaran nama baik kan. Atau Andrianus kamu tukang selingkuh. Itu artinya ada target dan subjeknya.

Nah bedanya dalam hal ini apa?
Dalam hal ini kita berbicara mengenai adanya orang yang secara umum mengeneralisir variabel-variabel primordial tadi untuk tujuan-tujuan yang jelek. Misalnya, Islam itu semuanya korup, Kristen itu semuanya munafik, tidak ada orang yang secara langsung tersinggung atau terhina, tetapi jelas ada variabel-variabel yang sebe­narnya sudah dieksploitasi oleh yang bersangkutan dengan kon­teks benci.

Kalau tidak ada subjeknya, bagaimana mekanisme penanganan hukum yang ditem­puh?
Ketika itu terjadi maka nega­ralah yang mengambil peranan, mulai dari mengingatkan dan seterusnya hingga penegakan hukum.

Jadi tidak ada kaitannya dengan pasal karet yang di­cabut MK itu?
Pada konteks itu maka tidak masuk dengan apa yang dila­rang atau dicabut oleh MK. Karena kita tidak bicara men­genai mencemarkan nama baik, tapi kita berbicara mengenai eksploitasi secara destruktif variabel primordial oleh suatu kalangan demi keuntungannya dalam rangka kebencian pada kalangan tersebut. Pada konteks ujaran kebencian ini tidak ada orang yang dituju. Jadi tidak ada subjeknya. Tapi kalangannya yang lebih dari satu orang.

Contohnya?
Misalnya, kalangan Ahmadiyah itu halal darahnya, orang Ahmadiyah kan puluhan ribu. Oleh karena itu tidak ada satu pun orang Ahmadiyah yang angkat bicara, mengadu kepada polisi dan meminta kepada polisi untuk melakukan penegakan hukum.

Kalau tidak ada yang mengadukan?
Kalau tidak ada yang men­gadu, tidak berarti lalu kemudian semuanya berjalan beres. Jika berangkat pada pendekatan Hak Asasi Manusia, maka seyog­yanya negaralah yang mengam­bil peranan. Dalam konteks penegakan hukumnya, itu polisi memakai cara polisilah yang mengadukan kepada polisi.

Secara aturan dibenarkan?

Dibenarkan. Jadi dengan kata lain yang menjadi pelapornya adalah polisi sendiri. Agar men­jadi dasar bagi polisi untuk melakukan penyelidikan.

Tapi kayaknya Surat Edaran ini masih sangat rawan disala­hartikan oleh petugas polisi di lapangan?
Memang betul. Tidak usah Polri yang di lapangan, pimpinan yang pangkat-pangkat tinggi pun nggak ngerti apa itu hate (speech). Mungkin sekali adanya kesalahpengertian, makanya kami, Kapolri juga sedang gen­car-gencarnya melakukan so­sialisasi.

Tapi kenapa Anda getol memperjuangkan masalah hate speech ini?
Sebetulnya begini, kami me­nyadari Polri amat gamang ya ketika ada masyarakat yang begitu leluasa mengeksploitasi variabel-variabel primordial tadi, kami melihat ada yang salah dan harus dibenarkan. Cara memperbaikinya mulai dengan menciptakan undang-undang baru atau Peraturan Pemerintah atau apalah. Kami menduga un­tuk membuat itu perdebatannya akan sengit sekali, karena banyak orang yang belum sadar dan se­cara waktu juga akan lama sekali. Maka kami mengusulkan kepada Polri, agar segeralah berbuat ses­uatu dengan langkah cepat. Agar kemudian anggota anda bisa ber­tindak tegas dan gagah. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA