Untuk memahami lebih jauh permasalahan ini, berikut wawancara Republik Merdeka Online (RMOL) dengan Kusfiardi, analis ekonomi politik dari FINE Institute.
Pemerintah Indonesia melaporkan penurunan penerimaan pajak sebesar 30,2% pada awal tahun 2025 dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Apa faktor utama yang menyebabkan hal ini?
Ada dua faktor utama yang berkontribusi terhadap penurunan ini. Pertama, turunnya harga komoditas unggulan seperti batu bara dan minyak sawit. Sektor ini menyumbang porsi besar dalam penerimaan pajak, sehingga ketika harga turun, otomatis penerimaan pajak ikut menurun.
Kedua, perubahan dalam metode pengumpulan pajak yang belum berjalan optimal. Sejak diberlakukannya sistem digital baru, banyak wajib pajak yang mengalami kendala teknis, sehingga keterlambatan atau bahkan kegagalan pelaporan pajak terjadi.
Pemerintah telah meluncurkan core tax system sebagai bagian dari digitalisasi perpajakan, tetapi implementasinya justru menimbulkan banyak masalah. Apa yang sebenarnya terjadi?Core tax system adalah inisiatif penting yang bertujuan meningkatkan transparansi dan efisiensi perpajakan melalui digitalisasi. Namun, pelaksanaannya terkesan terburu-buru. Ada beberapa masalah utama, seperti ketidaksesuaian data antara sistem lama dan baru, gangguan teknis yang menghambat akses wajib pajak, serta kendala dalam penerbitan dokumen pajak. Akibatnya, banyak wajib pajak mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajibannya, dan pemerintah akhirnya memutuskan untuk kembali menggunakan sistem lama sementara perbaikan dilakukan. Ini menunjukkan bahwa reformasi berbasis teknologi memerlukan kesiapan infrastruktur yang matang serta uji coba yang lebih luas sebelum diterapkan secara penuh.
Jika dibandingkan dengan negara lain, reformasi pajak di Indonesia tampaknya masih tertinggal. Apakah ada contoh negara yang berhasil melakukan reformasi pajak yang bisa menjadi referensi?Beberapa negara telah membuktikan bahwa reformasi pajak yang tepat dapat meningkatkan efektivitas penerimaan negara. Australia, misalnya, berhasil menerapkan Goods and Services Tax (GST) pada tahun 2000, yang menyederhanakan sistem pajak dan mendapat dukungan luas dari berbagai pemangku kepentingan. Kenya juga berhasil dengan iTax, sistem digital perpajakan yang memungkinkan wajib pajak melaporkan pajaknya secara online, sehingga meningkatkan kepatuhan pajak secara signifikan.
India memberikan contoh lain yang relevan. Pada tahun 2017, mereka menggantikan berbagai pajak regional dengan satu mekanisme GST yang lebih sederhana. Ini mengurangi kompleksitas administrasi dan meningkatkan kepatuhan bisnis. Korea Selatan juga telah sukses dengan sistem e-Tax, yang memanfaatkan teknologi untuk mendokumentasikan transaksi pajak secara elektronik. Berkat reformasi ini, tingkat kepatuhan pajak elektronik di sana mencapai 89,2% pada tahun 2013.
Selain sistem perpajakan itu sendiri, bagaimana peran kelembagaan dalam keberhasilan reformasi pajak?Struktur kelembagaan sangat berpengaruh. Negara-negara dengan sistem pajak yang lebih efisien umumnya memiliki lembaga perpajakan yang lebih otonom. Di Australia, misalnya, Australian Taxation Office (ATO) tetap berada di bawah Kementerian Keuangan, tetapi memiliki kendali atas administrasi dan anggaran. Hal serupa juga diterapkan di Korea Selatan melalui National Tax Service (NTS), yang meskipun berafiliasi dengan Kementerian Keuangan, tetap memiliki otonomi dalam aspek pengelolaan sumber daya manusia dan keuangan.
Sebaliknya, di India, Central Board of Direct Taxes (CBDT) masih beroperasi sebagai bagian dari Kementerian Keuangan tanpa otonomi penuh. Hal ini membuat sistem pajaknya lebih rentan terhadap birokrasi yang kompleks. Sementara itu, Kenya diduga mengikuti model Semi-Autonomous Revenue Authority (SARA), meskipun detail spesifik mengenai status otoritas pajaknya masih terbatas.
Jadi, apakah otonomi lembaga perpajakan menjadi faktor kunci dalam keberhasilan reformasi pajak?Betul. Semakin besar otonomi lembaga pajak, semakin fleksibel kebijakan yang bisa diambil tanpa campur tangan politik yang berlebihan. Otonomi ini memungkinkan lembaga pajak untuk lebih profesional dalam pengelolaan administrasi, memperbaiki sistem pengawasan, serta meningkatkan transparansi dan kepatuhan wajib pajak. Jika Indonesia ingin memperbaiki sistem perpajakannya, mungkin perlu mempertimbangkan untuk memberikan lebih banyak kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP), seperti yang dilakukan Australia dan Korea Selatan.
Dari berbagai pengalaman negara lain, apa saja rekomendasi konkret yang bisa diterapkan di Indonesia untuk memperbaiki sistem perpajakan?Ada beberapa langkah yang bisa diambil. Pertama, stabilitas penerimaan pajak harus diperkuat dengan mengurangi ketergantungan pada sektor tertentu dan memperluas basis pajak. Kedua, digitalisasi perpajakan harus dilakukan secara lebih hati-hati. Evaluasi terhadap Core Tax System harus dilakukan secara menyeluruh sebelum kembali diterapkan. Infrastruktur teknologi harus siap, data harus bersih dan terintegrasi, serta wajib pajak harus diberikan edukasi dan sosialisasi yang cukup.
Ketiga, pemerintah perlu mempertimbangkan pemberian otonomi yang lebih besar kepada DJP agar dapat beroperasi lebih fleksibel dan profesional.
Terakhir, penyederhanaan sistem pajak harus menjadi prioritas. India telah membuktikan bahwa sistem pajak yang lebih sederhana akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Pajak yang terlalu kompleks hanya akan menciptakan celah bagi penghindaran pajak dan meningkatkan beban administrasi bagi masyarakat.
Apakah Anda optimis bahwa Indonesia bisa segera melakukan reformasi pajak yang lebih baik?Saya optimis, tetapi dengan catatan bahwa reformasi ini harus dirancang dengan lebih matang. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap kebijakan baru tidak hanya didukung oleh data yang kuat dan uji coba yang memadai. Keterlibatan dalam bentuk dukungan pemangku kepentingan, termasuk dunia usaha dan masyarakat juga sangat menentukan.
Selama ini aspek pelibatan pemangku kepentingan ini seringkali diabaikan oleh Menteri Keuangan sebagai otoritas fiskal. Kita membutuhkan Menteri Keuangan yang bisa melibatkan pemangku kepentingan agar sistem perpajakan Indonesia dapat bertransformasi menjadi lebih transparan, adil, dan berkelanjutan.
BERITA TERKAIT: