WAWANCARA

Siti Nurbaya: Menteri Pun Tak Bisa Menjamin, Kita Berdoa Saja Semoga Lekas Tuntas

Minggu, 01 November 2015, 08:57 WIB
Siti Nurbaya: Menteri Pun Tak Bisa Menjamin, Kita Berdoa Saja Semoga Lekas Tuntas
Siti Nurbaya/net
rmol news logo Tak hanya Menko Luhut Pandjaitan yang sibuk mengh­adapi kabut asap, menteri asal Partai Nasional Demokrat ini juga pontang-panting ikut memantau upaya pem­adaman kebakaran hutan dan lahan. Kamis (29/10) lalu sebelum menghadiri rapat di DPR, dan bertolak ke Palembang Sumatera Selatan, Rakyat Merdeka mencuri waktu mewawancarai Menteri Siti di kediamannya di Jakarta. Disuguhi bubur ayam, dan teh hangat, Menteri Siti memulai bincang-bincang;

Kementerian Anda dinilai gagal mengatasi bencana ka­but asap. Bagaimana anda menyikapinya?
Saya nggak mau mengomen­tari soal itu. Itu hak prerogatif Presiden. Saya kerja saja. Di luar itu perlu saya jelaskan bahwa yang kita tangani ini kan sebetulnya adalah akumu­lasi dari banyak masalah di waktu-waktu yang lalu. Dan itu sekarang semua secara simultan kita selesaikan. Dan tidak se­mua tahap-tahap penyelesaian itu diketahui dengan baik oleh publik. Karena yang nampak visualisasi fisik kan pemada­mannya, apinya. Dan kita pun sebetulnya di beberapa tempat itu kementerian yang melakukan (pemadaman api). Tapi kalau api-api besar, di lahan gambut seperti di Sumatera Selatan itu baru bersama-sama (BNPB, TNI/Polri dan bantuan asing). Sebab kita nggak punya juga armada yang cukup.

Lantas saat ini progress pe­madamannya seperti apa. Apa bisa tahun depan negara kita tak jadi produsen asap?
Bisa. Pada dasarnya pendeka­tannya sudah ketahuan kok. Coba tiru di Riau aja, tiru aja cara ker­janya. Dari bulan Desember ke Februari kita nyelamatin Riau.

Apa Indikator bahwa penye­lamatan di Riau sukses?
Indikatornya adalah peristiwa-peristiwa di Singapura. Kan ada SEA Games, bulan Juni itu kan juga panas sebetulnya. Tapi bisa kita kontrol apinya, setiap ada padamin. SEA Games pun berjalan nggak terganggu asap. Kemudian yang dahsyatnya waktu F1 Grand Prix, kan nggak terganggu juga. Jadi sebetulnya sedahsyat-dahsyatnya Riau itu bisa dikontrol.

Kenapa di Sumatera Selatan tidak bisa terkontrol?
Karena yang terbakar itu gam­butnya luas. Tahu nggak berapa, puluhan ribu (hektar) terbakar di dalam satu blok. Itu berat. Saya saat berada di atas udara melihat apa yang terjadi, gelap asapnya. Di Kalteng lebih gelap. Tapi pada dasarnya bisa diselesaikan. Kalau ditanya apa Menteri bisa menjamin, ya sulit lah, alam dan dari Tuhan juga kan. Ya kita berdoa juga. Yang paling penting manusianya berusaha, komitmennya dilaksanakan.

Bagaimana proses penegak­kan hukumnya?
Itu bagian keduanya, penegakan hukum. Walaupun penegakan hukum itu ada dua bagian, jalurnya Polri pidana dan jalurnya KLHK itu pidana, perdata, ad­ministrasi.

Jalur Polri atau LHK itu ber­sama-sama di Jaksa Agung. Di Bareskrim Mabes Polri atau di Polda kita juga kerjasama. Jadi dukungan saksi ahli, investigasi bersama, itu kita lakukan. Jadi, operasional kerjanya bersama kami.

Nah sekarang yang tertumpu di KLHK itu adalah yang perdata dan administratif. Strateginya yang administratif yang mend­esak, kalau nggak beres cabut izin atau kita bekukan, atau kita beri sanksi administrasi yang keras. Kan kebijakan Presiden jelas, areal yang terbakar diambil oleh negara. Yang besar dan blok-blok itu diatur untuk mengatasi res­olusi konflik. Masyarakat yang tidak punya tanah, konflik dengan perusahaan itu bisa kita kelola. Bisa untuk ilmu pengetahuan dan restorasi ekosistem. Dan untuk perluasan kesempatan kerja.

Undang-Undang 39 Tahun 2002 mengizinkan membakar lahan dua hektar per KK. Ini bagaimana?
Itu sedang kita siapkan untuk direvisi. Di dalam penjelasan un­dang-undang itu dikatakan ada kearifan lokal. Selama ini yang terjadi di lapangan, kearifan ini kemudian teradopsi oleh umum dan perusahaan. Indikasinya seperti itu. Kalau mau direvisi bisa dua macam, pertama diha­pus sama sekali. Pilihan kedua adalah mempertegas bahwa itu (membakar lahan dua hektar/ KK) hanya boleh dilakukan oleh masyarakat adat.

Kalau menunggu revisi un­dang-undang kan lama?
Kalau kebutuhannya mendesak, Perppu mungkin adalah pi­lihan yang harus dipertimbang­kan. Sambil mempertegas bahwa kebakaran juga merupakan salah satu unsur perusakan hutan. Karena di Undang-Undang 18 tahun 2013 nggak terlalu tegas terkait kebakaran. Itu harus kita sebutin. Selanjutnya adalah per­lindungan lahan gambut. Saat ini lahan gambut yang sudah berizin itu sudah sangat luas. Dari 31 juta hektar lahan gambut di Indonesia yang di kehutanan aja, yang berizin itu sudah delapan juta (hektar) lebih. Belum yang perkebunan, belum yang HGU-HGU. Kalau menurut data LHK itu 550 ribu (hektar) lebih yang terbakar, lahan gambut itu. Dan sangat dahsyat itu. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA