Apa kegiatan Pak TB belaÂkangan ini?Mengajar sebagai dosen senior di Lemhannas materi Kepemimpinan. Hari Jumat yang lalu baru saja saya memÂberi ceramah kepada para Bupati, Walikota dan Ketua DPRD dari berbagai daerah di Indonesia. Judul materi ceramah adalah "
Shared Leadership", Kepemimpinan Bersama.
Apakah itu ilmu yang baÂru?Sebenarnya materi ini sudah lama dikenal di Indonesia yang terkenal dengan Kepemimpinan Musyawarah. Itu milik dan budaÂya bangsa kita sejak dulu. Cuma kita tidak kembangkan sebagai ilmu karena dianggap sudah kesÂeharian, justru Amerika mengemÂbangkannya secara ilmiahdan dipraktekkan disana, lalu di '
eksport' ke Indonesia.
Apa prinsip Shared Leadership itu?Prinsipnya adalah berbagi kepemimpinan dengan bawaÂhan dalam merumuskan tuÂjuan, penugasan, pengambilan keputusan atau upaya lain demi meningkatkan produktivitas organisasi. Jadi berbeda dengankepemimpinan klasik yang kita kenal selama ini yang disebut dengan directional, vertiÂcal, atau hierarchical. Shared Leadership disebut juga
horiÂzontal leadership.Apakah hal itu cocok diterapkan di Kabinet Jokowi?Sangat cocok dan beliau sudah melaksanakannya. Malah ada keharusan untuk melaksanakanÂnya. Penerapannya dilaksanakan karena kondisi yang dihadapi: pertama, saling ketergantungan diantara para menteri dalam kabinet. Kedua, permasalahan bangsa kita makin rumit dan kompleks. Ketiga, dibutuhkan terobosan dan kreatifitas karena banyak program tidak jalan dengan baik, dan keempat, para menteri memiliki berbagai ilmu dan keahlian.
Di samping itu Pak Jokowi juga didukung koalisi dan harus bekerjasama dengan DPR. Tidak bisa lagi asal memberi perintah atau secara murni directional leadership seperti biasanya.
Bagaimana prakteknya daÂlam kabinet?Memberikan kekuasaan yang besar kepada para menteri untuk mengembangkan kepemimpinannya dalam kemenÂterian sendiridan ikut dalam kepemimpinan bersama Presiden dalam kabinet. Para menteri diberi kesempatan untuk memÂberi pendapat kepada Presiden, Wapres, Menko dan para menteri lain walaupun secara tidak langÂsung tidak berhubungan dengan bidangnya. Ide-ide cermerlang diperlukan. Para menteri diberi keleluasaan untuk berbicara terbuka tetapi jujur, terus terang bahkan kalau perlu mengkritik Presiden atau Wapres, namun dengan cara yang elegan atau santun.
Kalau kebablasan bagaimaÂna, apalagi sampai terbuka kepada umum seperti yang terjadi belakangan ini antara Menko Rizal Ramli yang nanÂtang debat ke Wapres?Nah, untuk itulah diperlukan adanya aturan. Walaupun bebas perlu ada aturan supaya efektif. Aturan itu dalam perusahaan harus menjelma menjadi "
corÂporate culture" artinya harus diciptakan suatu budaya yang berakar dari budaya bangsa itu, antara lain, saling mempercayai (
trust), saling menghargai (
reÂspect), komit terhadap tugas kabinet (
commitment), tulus (
sincere) dan selalu peduli terÂhadap tugas (
concern). Untuk lebih tegas harus disusun kode etik dan harus ada sanksinya.
Tugas siapa membuat itu?Itu tugas Menpan. Sebelum menyusun, Menpan harus minta pengarahan dari Presiden dan Wapres termasuk sanksi kalau ada pelanggaran.
Apakah itu tidak mengurangikreasi dari para menteri?Sama sekali tidak. Itu hanyÂalah membiasakan berbicara dan bersikap dengan santun dan tidak perlu berbicara terbuka keluar. Kekompakan itu perlu diÂjaga dan dipelihara. Kalau tulus kan ndak perlu bicara keluar.
Apakah menurut pak TB, Presiden Jokowi itu terlalu sabar?Justru itulah para menteri seharusnya lebih menghargai, jangan menganggap kesabaran itu kelemahan.
Apa akibatnya kalau keadaan itu berjalan terus?Tidak baik untuk bangsa kita. Jangan sampai orang luar menganggap kita sudah meninÂggalkan nilai-nilai luhur bangsa ini. Presiden dan Wapres itu juga simbol dari bangsa dan negara kita.
Karena itulah sebabnya ada usul menyusun undang-unÂdang yang berhubungan dengan penghinaan terhadap Presiden. Rakyat bisa bertanya, menteri saja tidak menghargai Presiden dan Wapres, kenapa rakyat diÂsuruh menghormati. Harusnya para menteri itu yang harus duluan menghormati. Itu suara yang sumbang.
Dalam kasus Rizal Ramli mengkritik pembelian Airbus A350 dan masalah listrik proÂgram pembangkit dengan sasaran 35.000 megawatt seÂharusnya bagaimana?Kritik itu bagus. Namun harusÂnya tidak terbuka untuk umum. Sebaiknya menghadap Presiden tentang pesawat Airbus A350 dan Wapres tentang pembangkit listrik, bukan menantang debat di depan umum. Sangat jelas cara seperti ini bukan budaya bangsa kita.
Pengalaman Pak TB sewaktu MenPan apakah ada seperti itu?Ada. Pada masa itu Menhan tidak setuju Menristek yang negosiasi pembelian kapal-kapal perang ex Jerman Timur untuk dipakai TNI AL.
Lalu apa tindakan Menhan waktu itu?Menhan menghadap Presiden Soeharto. Dalam kesempaÂtan itu Pak Harto mengatakan Menristek Habibie sangat tahu masalah Jerman dan sangat dekat denganPerdana Menteri Jerman serta para menteri-menterinya. Menristek juga sangat memahaÂmi teknologi kapal-kapal perang Jerman Timur, kelemahan dan kelebihannya, dan dengan deÂmikian mengetahui bagaimana merehab kapal-kapal perang itu dengan teknologi yang lebih maju.
Lalu bagaimana sikap Menhan pada waktu itu?Walaupun tidak puas sepenuhÂnya Menhan menerima penjelaÂsan tersebut. Menhan menyadari sepenuhnya bahwa putusan terakhir ada di tangan Presiden. Lagi pula Pak Harto itu juga purnawirawan TNI berpangkat bintang lima. Dan masalah ini tidak pernah secara terbuka diketahui oleh masyarakat.
Pak TB apa pernah mengÂkritik Pak Harto?Suatu ketika saya menghadap Pak Harto untuk menyampaikan tanggapan saya terhadap kebiÂjaksanaan beliau yang menurut saya kurang pas dan akan memÂbawa dampak yang kurang baik di masa depan. Dengan cara santun dan terlebih dahulu minta maaf, saya minta izin menyamÂpaikan.
Sesudah diizinkan dan saya sampaikan tanggapan saya, beÂliau menjawab: "Terima kasih atas tanggapanmu itu. Sekiranya kamu tidak memberi tanggapan itu berarti kamu turut menjeruÂmuskan saya ke jurang." Saya jawab dengan singkat : "Amien, terima kasih Pak." ***
BERITA TERKAIT: