WAWANCARA

Letjen (Purn) TB Silalahi: Kritik Rizal Ramli Itu Bagus

Selasa, 25 Agustus 2015, 08:07 WIB
Letjen (Purn) TB Silalahi: Kritik Rizal Ramli Itu Bagus
Letjen (Purn) TB Silalahi/net
rmol news logo Tantangan Rizal Ramli yang seorang Menko terhadap Pak Jusuf Kalla yang seorang Wakil Presiden menuai protes banyak pihak. Karena tindakan itu dinilai tidak senonoh, dan tidak sopan. Bagaimana pandangan Letjen (Purn) TB Silalahi soal ini? Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara di era Kabinet Pembangunan VIPresi­den Soeharto, apa yang dilakukan Rizal Ramli masalah serius menyangkut wibawa Dwitunggal, Presiden dan Wakil Presiden. Kenapa Demikian? Rakyat Merdeka se­cara khusus menemui tokoh bangsa yang biasa dipanggil TB atau Opung itu, di Jakarta, kemarin. Selain bicara soal kegiatannya sehari-hari, juga tak kelewatan membahas kondisi bangsa saat ini, terutama dari sisi leadershipnya. Berikut petikan wawancaranya:

Apa kegiatan Pak TB bela­kangan ini?
Mengajar sebagai dosen senior di Lemhannas materi Kepemimpinan. Hari Jumat yang lalu baru saja saya mem­beri ceramah kepada para Bupati, Walikota dan Ketua DPRD dari berbagai daerah di Indonesia. Judul materi ceramah adalah "Shared Leadership", Kepemimpinan Bersama.

Apakah itu ilmu yang ba­ru?
Sebenarnya materi ini sudah lama dikenal di Indonesia yang terkenal dengan Kepemimpinan Musyawarah. Itu milik dan buda­ya bangsa kita sejak dulu. Cuma kita tidak kembangkan sebagai ilmu karena dianggap sudah kes­eharian, justru Amerika mengem­bangkannya secara ilmiahdan dipraktekkan disana, lalu di 'eksport' ke Indonesia.

Apa prinsip Shared Leadership itu?
Prinsipnya adalah berbagi kepemimpinan dengan bawa­han dalam merumuskan tu­juan, penugasan, pengambilan keputusan atau upaya lain demi meningkatkan produktivitas organisasi. Jadi berbeda dengankepemimpinan klasik yang kita kenal selama ini yang disebut dengan directional, verti­cal, atau hierarchical. Shared Leadership disebut juga hori­zontal leadership.

Apakah hal itu cocok diterapkan di Kabinet Jokowi?
Sangat cocok dan beliau sudah melaksanakannya. Malah ada keharusan untuk melaksanakan­nya. Penerapannya dilaksanakan karena kondisi yang dihadapi: pertama, saling ketergantungan diantara para menteri dalam kabinet. Kedua, permasalahan bangsa kita makin rumit dan kompleks. Ketiga, dibutuhkan terobosan dan kreatifitas karena banyak program tidak jalan dengan baik, dan keempat, para menteri memiliki berbagai ilmu dan keahlian.

Di samping itu Pak Jokowi juga didukung koalisi dan harus bekerjasama dengan DPR. Tidak bisa lagi asal memberi perintah atau secara murni directional leadership seperti biasanya.

Bagaimana prakteknya da­lam kabinet?
Memberikan kekuasaan yang besar kepada para menteri untuk mengembangkan kepemimpinannya dalam kemen­terian sendiridan ikut dalam kepemimpinan bersama Presiden dalam kabinet. Para menteri diberi kesempatan untuk mem­beri pendapat kepada Presiden, Wapres, Menko dan para menteri lain walaupun secara tidak lang­sung tidak berhubungan dengan bidangnya. Ide-ide cermerlang diperlukan. Para menteri diberi keleluasaan untuk berbicara terbuka tetapi jujur, terus terang bahkan kalau perlu mengkritik Presiden atau Wapres, namun dengan cara yang elegan atau santun.

Kalau kebablasan bagaima­na, apalagi sampai terbuka kepada umum seperti yang terjadi belakangan ini antara Menko Rizal Ramli yang nan­tang debat ke Wapres?
Nah, untuk itulah diperlukan adanya aturan. Walaupun bebas perlu ada aturan supaya efektif. Aturan itu dalam perusahaan harus menjelma menjadi "cor­porate culture" artinya harus diciptakan suatu budaya yang berakar dari budaya bangsa itu, antara lain, saling mempercayai (trust), saling menghargai (re­spect), komit terhadap tugas kabinet (commitment), tulus (sincere) dan selalu peduli ter­hadap tugas (concern). Untuk lebih tegas harus disusun kode etik dan harus ada sanksinya.

Tugas siapa membuat itu?
Itu tugas Menpan. Sebelum menyusun, Menpan harus minta pengarahan dari Presiden dan Wapres termasuk sanksi kalau ada pelanggaran.

Apakah itu tidak mengurangikreasi dari para menteri?
Sama sekali tidak. Itu hany­alah membiasakan berbicara dan bersikap dengan santun dan tidak perlu berbicara terbuka keluar. Kekompakan itu perlu di­jaga dan dipelihara. Kalau tulus kan ndak perlu bicara keluar.

Apakah menurut pak TB, Presiden Jokowi itu terlalu sabar?
Justru itulah para menteri seharusnya lebih menghargai, jangan menganggap kesabaran itu kelemahan.

Apa akibatnya kalau keadaan itu berjalan terus?
Tidak baik untuk bangsa kita. Jangan sampai orang luar menganggap kita sudah menin­ggalkan nilai-nilai luhur bangsa ini. Presiden dan Wapres itu juga simbol dari bangsa dan negara kita.

Karena itulah sebabnya ada usul menyusun undang-un­dang yang berhubungan dengan penghinaan terhadap Presiden. Rakyat bisa bertanya, menteri saja tidak menghargai Presiden dan Wapres, kenapa rakyat di­suruh menghormati. Harusnya para menteri itu yang harus duluan menghormati. Itu suara yang sumbang.

Dalam kasus Rizal Ramli mengkritik pembelian Airbus A350 dan masalah listrik pro­gram pembangkit dengan sasaran 35.000 megawatt se­harusnya bagaimana?
Kritik itu bagus. Namun harus­nya tidak terbuka untuk umum. Sebaiknya menghadap Presiden tentang pesawat Airbus A350 dan Wapres tentang pembangkit listrik, bukan menantang debat di depan umum. Sangat jelas cara seperti ini bukan budaya bangsa kita.

Pengalaman Pak TB sewaktu MenPan apakah ada seperti itu?
Ada. Pada masa itu Menhan tidak setuju Menristek yang negosiasi pembelian kapal-kapal perang ex Jerman Timur untuk dipakai TNI AL.

Lalu apa tindakan Menhan waktu itu?
Menhan menghadap Presiden Soeharto. Dalam kesempa­tan itu Pak Harto mengatakan Menristek Habibie sangat tahu masalah Jerman dan sangat dekat denganPerdana Menteri Jerman serta para menteri-menterinya. Menristek juga sangat memaha­mi teknologi kapal-kapal perang Jerman Timur, kelemahan dan kelebihannya, dan dengan de­mikian mengetahui bagaimana merehab kapal-kapal perang itu dengan teknologi yang lebih maju.

Lalu bagaimana sikap Menhan pada waktu itu?
Walaupun tidak puas sepenuh­nya Menhan menerima penjela­san tersebut. Menhan menyadari sepenuhnya bahwa putusan terakhir ada di tangan Presiden. Lagi pula Pak Harto itu juga purnawirawan TNI berpangkat bintang lima. Dan masalah ini tidak pernah secara terbuka diketahui oleh masyarakat.

Pak TB apa pernah meng­kritik Pak Harto?

Suatu ketika saya menghadap Pak Harto untuk menyampaikan tanggapan saya terhadap kebi­jaksanaan beliau yang menurut saya kurang pas dan akan mem­bawa dampak yang kurang baik di masa depan. Dengan cara santun dan terlebih dahulu minta maaf, saya minta izin menyam­paikan.

Sesudah diizinkan dan saya sampaikan tanggapan saya, be­liau menjawab: "Terima kasih atas tanggapanmu itu. Sekiranya kamu tidak memberi tanggapan itu berarti kamu turut menjeru­muskan saya ke jurang." Saya jawab dengan singkat : "Amien, terima kasih Pak."  ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA