Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jelang Eksekusi, Napi Puasa Tiap Hari & Minta Didoakan

Kisah Rohaniwan Pendamping Terpidana Mati

Rabu, 25 Februari 2015, 10:40 WIB
Jelang Eksekusi, Napi Puasa Tiap Hari & Minta Didoakan
ilustrasi
rmol news logo Eksekusi terpidana mati bukan hanya urusan jaksa eksekutor maupun regu tembak. Banyak pihak yang terlibat dalam prosesnya. Mulai dari tahap persiapan hingga setelah eksekusi dilaksanakan. Mereka yang terlibat dari rohaniwan hingga pengurus jenazah.

KH Hasan Makarim sudah 24 ta­hun dipercaya mendampingi ter­pidana mati dari kalangan Islam. Dia diminta menenangkan hati dan pikiran para terpidana sebe­lum ajal menjemput. Tujuannya agar terpidana itu tegar mengh­adapi hukumannya.

Kiai Hasan, sapaannya, bisa leluasa masuk keluar Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Tiga kali dalam seming­gu, dia menyambangi tujuh lem­baga pemasyarakatan (lapas) di Nusakambangan. Yakni, Lapas Besi, Kembang Kuning, Narkoba, Batu, Permisan, Terbuka, dan Pasir Putih.

Di penjara-penjara itu, ustad yang kini menjabat ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cilacap tersebut dengan telaten memberikan pengajian dan berdakwah. Mengajak para penghuni lapas untuk kembali ke jalan kebenaran, jalan Tuhan.

Tak sekadar menjadi rohani­wan, Hasan juga mendapat tugas dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) untuk menjadi salah seorang pendamping terpidana mati di Nusakambangan. Sebuah amanah yang berat. Namun, dia menjalani tugas itu dengan keikhlasan.

Hasan bukan orang baru di Nusakambangan. Bahkan, se­bagian hidupnya dia dedikasikan untuk menyebarkan nilai-nilai Islam di pulau terpencil tersebut. Koordinator pondok pesantren di Nusakambangan itu sudah menjalani pekerjaan sebagai pendamping terpidana mati se­jak 24 tahun silam.

Saat ditemui di kediamannya di Jalan Perintis Kemerdekaan, Cilacap, Hasan sedang menyelesaikan tulisan tentang pengala­man pribadinya mengabdikan diri di Nusakambangan.

"Mumpung ada waktu seng­gang, saya tulis. Biar tidak lupa ceritanya," ujar dia ramah.

Meski ulama terpandang di Cilacap, tempat tinggal Hasan sederhana. Bagian depan rumah dijadikan toko yang menjual busana Muslim serta beraneka majalah. Baru di ruang tengah sosok Hasan sebagai pemuka agama yang dihormati, bisa ter­lihat. Foto-foto ketika dia menerima penghargaan dari presiden dipajang. Selain itu, koleksi puluhan buku tentang agama tertata rapi di dalam rak. Hal tersebut mencerminkan bahwa sang pemilik rumah merupakan intelektual Muslim.

Hasan bisa berdakwah di kom­pleks Lapas Nusakambangan bukan lantaran faktor kebetulan. Awalnya, pada 1985, dia diajak seorang ulama senior Cilacap un­tuk mengajarkan ilmu agama di Lapas Nusakambangan. Ajakan itu tidak lantas dia terima. Hasan berpikir lama. Dia sempat ragu menyanggupi ajakan itu. Ia merasa belum siap membenahi akhlak penghuni lapas itu.

Setelah berpikir lama, baru enam tahun kemudian Hasan memutuskan ikut berdakwah di Nusakambangan. Bahkan, sampai kini dia masih aktif keluar masuk lapas-lapas di sana. "Kuncinya ketulusan da­lam memberikan ilmu," tutur anggota Dewan Kehormatan Palang Merah Indonesia (PMI) Cilacap itu.

Seiring akan dilaksanakannya eksekusi terhadap terpidana mati, tugas Hasan pun bertambah. Dia tidak hanya berdakwah di depan para narapidana, namun juga ditugaskan sebagai pendamping terpidana mati. Khususnya bagi yang beragama Islam. Dia pun dengan ikhlas menjalankan tugas berat itu.

Kariernya sebagai pendamping terpidana mati dimulai ketika eksekusi hukuman mati terhadap trio pelaku bom Bali I. Yakni Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Ghufron. Sayangnya, dia tidak bersedia menceritakan bagaimana pengalamannya mendampingi tiga sekawan itu.

"Mohon maaf, saya tidak ber­sedia cerita soal itu. Yang lain­nya saja ya," ujarnya tanpa mau mengungkap alasan penolakan bercerita soal terpidana mati trio bom Bali I tersebut.

Terakhir, Hasan menjadi pendamping bagi terpidana mati kasus narkoba, yakni Rani Andriani alias Melisa Aprilia dan Namaona Denis, warga negara Malawi. Mereka dieksekusi mati bersama empat terpidana mati lainnya, Marco Archer Cardozo Mereira, Daniel Enemua, Ang Kim Soe, dan Tran Thi Han. Eksekusi dilangsungkan serentak di Nusakambangan dan Lapas Boyolali, Jawa Tengah, 18 Januari 2015 pukul 00.00.

Hasan mengatakan, seminggu sebelum hari H eksekusi, di­rinya sudah mendampingi dua terpidana, Rani dan Namaona. Mereka ditempatkan di sel iso­lasi. Setiap sel dihuni seorang terpidana. Setiap hari Hasan dengan tekun memberikan mo­tivasi dan siraman rohani kepada keduanya.

Mendekati hari-hari terakhir hidup, biasanya para terpidana mati lebih khusyuk beriba­dah. Tak terkecuali Rani dan Namaona. "Mereka menjalankan semua tuntunan agama dengan baik," ucapnya.

Rani misalnya. Perempuan asal Cianjur, Jawa Barat, meru­pakan Muslimah yang taat. Hari-harinya dia habiskan dengan beribadah. Shalat lima waktu tidak pernah dia tinggalkan. Dia juga rajin mengaji.

"Saya kagum pada dia. Shalatnya tidak pernah bolong. Dia menjalaninya dengan khusyuk," paparnya.

Selain shalat dan mengaji, Rani rajin berpuasa. Dua bu­lan menjelang eksekusi, dia menjalankan puasa setiap hari. Targetnya sampai 40 hari. Sayang, baru 35 hari dia sudah harus menjalani eksekusi.

Rani juga dikenal sebagai perempuan yang pandai bergaul. Vonis mati yang dia terima tak menghilangkan keceriaannya. Setiap hari perempuan yang ditangkap saat membawa heroin seberat 3,5 kilogram itu selalu menjalankan kegiatan di lapas.

"Pokoknya, yang bersangku­tan tampak pasrah menghadapi hukuman itu," kenang Hasan.

Untuk Namaona Denis, Hasan menceritakan, awalnya laki-laki tersebut sangat pendiam. Dia sempat terpukul karena permo­honan grasinya ditolak presiden. Namun, kepada Hasan, dia akhirnya bersedia membuka diri.

Suami Anisah Muhammad Bawazier itu punya kenangan bersama Namaona. Beberapa jam sebelum eksekusi dilakukan, Hasan sempat Namaona. Dalam kesempatan itu dia mencoba menenangkan Namaona. Dia mengajak terpidana mati itu untuk ikhlas.

Bahkan, beberapa menit sebe­lum hukuman dilaksanakan, Hasan masih terus mendampingi kliennya tersebut. Hasan berdoa sambil memegang dada Namaona untuk menghilangkan ketegangan.

"Namun, ternyata Namaona tidak tegang sama sekali. Dia begitu tegar dan tenang. Setelah doa selesai, dia pun melangkah dengan mantap menuju tempat ek­sekusi dilangsungkan. Lagi, saya dibuat kagum," papar Hasan.

Setelah terpidana dieksekusi dan tim dokter menyatakan yang bersangkutan sudah meninggal, Hasan mendampingi tim medis untuk membersihkan jenazah. Sesudah mengkafani, Hasan memimpin shalat Jenazah.

Menurut Hasan, terpidana yang dirinya dampingi rata-rata mempunyai pengetahuan agama yang luas. Itu mempermudah Hasan untuk menanamkan nilai-nilai religiusitas kepada kliennya. Apalagi, pada tiga hari menjelang eksekusi, pendamp­ingan makin intensif. Malah ada terpidana yang minta didampingi setiap jam sekali untuk berdoa.

"Terpidana harus selalu dimo­tivasi agar tidak frustrasi menje­lang saatnya tiba," ungkapnya.

Selama mendampingi, Hasan tidak pernah mengungkit-ungkit masa lalu terpidana yang kelam. Dia juga tidak pernah menggurui. Sebab, itu akan membuat terpidana down dan bahkan menolak didampingi.

"Yang dibutuhkan adalah motivasi dan perbaikan diri serta keikhlasan. Bagaimana membuat waktu hidupnya bermanfaat," tuturnya.

Menjelang eksekusi, Hasan mengajak terpidana untuk men­jalani ritual. Yakni, melakukan shalat Taubat agar semua dosa yang pernah dia lakukan diam­puni Tuhan. Terpidana mati juga disarankan membersihkan diri dan memakai minyak wangi. Tujuannya, mereka mati dalam keadaan suci.

"Mudah-mudahan jalan mereka diberi kelancaran," tandas Hasan.

Orang Nigeria Tinggi, Peti Jenazahnya Ukuran Jumbo

Sepuluh tahun terakhir Suhendro Putro menjadi langgan­an Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Nusakambangan untuk menyiapkan peti jenaz­ah. Peti harus sudah jadi sebe­lum eksekusi terpidana mati dilaksanakan.

Setelah peluru sudah meng­hunjam ke jantung dan terpi­dana dinyatakan mati oleh tim dokter, jenazah dimasukkan ke peti yang sesuai dengan ukuran badan si terpidana. Suhendro sudah hafal betul keinginan pihak Lapas terhadap peti yang harus disiapkan. Pria ini menjadi satu-satunya penyedia peti jenazah di Cilacap yang bisa memenuhi standar yang ditentukan pemesannya.

Menjelang pelaksanaan eksekusi mati gelombang kedua, kesibukan Suhendro memang bertambah. Dia mesti menyiapkan peti jenazah un­tuk mereka yang akan diek­sekusi. Ukuran berbeda-beda disesuaikan dengan ukuran tubuh terpidana mati.

Dia lalu menunjukkan empat peti yang sudah jadi di gudang tempat kerjanya di kompleks Gereja Kristen Jawa (GKJ) di Jalan Dr Wahidin, Cilacap. Adatiga peti berukuran standar, sekitar 2 x 1 meter. Sedangkan satu peti lainnya berukuran jumbo, agak lebih besar. "Ya, sesuai dengan ukuran masing-masing terpidana," kata pria 62 tahun kelahiran Cilacap ini.

Peti peti itusudah siap untuk digunakan. Bahkan, sudah dihiasi dengan kain putih be­renda yang menutupi seluruh permukaan peti. Juga, ada dua guling kecil di dalamnya. Guling itu dipakai untuk me­nyangga agar jenazah tidak miring saat diangkat. Selain itu, Suhendro menyiapkan salib bagi jenazah yang beragama Nasrani.

"Kalau lapas minta segera dikirim, ya bisa langsung dikirim," ucapnya.

"Karier" Suhendro sebagai penyedia peti mati bagi lapas di Nusakambangan dimulai pada 2005. Awalnya dia dikenal karena menjadi penyedia peti mati bagi 28 gereja di Cilacap. Usahanya berkembang pesat. Tidak sedikit jemaat gereja yang memesan peti mati kepada Suhendro lantaran hasilnya ba­gus dan harganya terjangkau.

Dari situlah nama Suhendro terdengar sampai ke lapas-lapas di Nusakambangan. Dia mulai kebanjiran pesanan peti dari lapas. Awalnya untuk peti para napi yang meninggal saat men­jalani masa tahanan di lapas. Namun, pada tahap berikutnya, dia juga mendapat order untuk menyiapkan peti bagi para ter­pidana mati yang dieksekusi di Nusakambangan.

Pelayanan Suhendro yang cepat dan bagus membuat pihak lapas puas. Pesanan peti terus mengalir setiap bulan. Sampai akhirnya dia ditunjuk secara resmi sebagai penyedia peti mati bagi para narapidana yang menjalani masa hukuman di pulau terpencil itu.

Suhendro harus memastikan peti-peti tersebut layak untuk "rumah terakhir" jenazah setelah dikebumikan. Baik dari kualitas bahan yang digunakan maupun ukurannya. Guna mendapatkan barang yang bagus, dia menyempatkan seminggu sekali bolak-balik Cilacapâ€"Yogyakarta untuk mencari peti mati. "Selain itu, untuk stok di gereja," tuturnya.

Dalam sebulan, Suhendro minimal menerima dua pe­sanan dua peti jenazah dari lapas-lapas yang ada di Nusakambangan. Peti-peti itu dipakai napi yang meninggal karena sakit. Namun, awal tahun ini order yang harus disiapkan Suhendro berlipat. Pasalnya, ada eksekusi mati untuk para terpidana narkoba.

Pada gelombang pertama 18 Januari lalu, misalnya, Suhendro harus menyiapkan lima peti untuk terpidana mati narkoba yang dieksekusi di Nusakambangan. Pada gelom­bang kedua, yang jadwal ek­sekusinya belum pasti, dia mendapat pesanan lebih dari sepuluh peti. "Kalau sewaktu-waktu dibutuhkan, saya sudah siap petinya," ujar dia.

Suhendro lalu menceritakan pengalaman menyediakan peti mati untuk lima terpidana pada 18 Januari lalu. Koordinator Badan Kerja Sama Gereja Cilacap itu menjelaskan, tiga hari menjelang eksekusi, Polres Cilacap menghubungi dirinya. Suhendro diminta menyediakan lima peti mati dalam waktu sehari. Sebab, besoknya peti tersebut akan diambil untuk diserahkan ke lapas. Saat itu Suhendro langsung mengiyakan permintaan tersebut. Karena stok peti tinggal tiga, dia pun menghubungi perusahaan langganannya di Yogyakarta.

Namun, ketegangan sempat muncul. Sebab, perusahaan itu tidak bisa menyediakan dua peti mati dalam waktu 24 jam. Suhendro pun dibuat bingung dengan kondisi ini. Dari pagi hingga petang dia mendatangi satu per satu perajin peti mati yang ada di Cilacap.

Lagi-lagi mereka menyata­kan tidak sanggup bila diminta menyediakan peti mati dalam satu hari. Untung, ada kerabat yang memberikan informa­si bahwa Gereja Kemal Injil Indonesia Cilacap mempunyai stok peti mati.

"Langsung saya beli dua peti mati itu," paparnya. Esoknya, lima peti mati itu pun langsung dikirim ke Nusakambangan dan disiapkan di dekat lokasi eksekusi.

Suhendro menyatakan, peti yang digunakan untuk terpidana mati tidak ada yang spesial. Sama dengan peti yang digunakan untuk tahanan yang meninggal karena sakit. Yang berbeda ada­lah peti untuk jenazah Muslim dan Nasrani. Untuk Nasrani, peti dilengkapi tanda salib. Untuk ukurannya, ada dua tipe, yakni normal dan jumbo.

Peti berukuran normal di­gunakan untuk terpidana mati warga Indonesia maupun Asia. Sebab, tinggi badannya biasan­ya sama. Peti yang jumbo rata-rata digunakan untuk terpidana mati dari negara-negara yang mempunyai struktur tubuh tinggi dan besar. "Misalnya, orang Nigeria yang tubuhnya tinggi-tinggi," ucapnya.

Agar tidak salah tipe peti, terpidana yang akan dieksekusi harus menjalani pengukuran tinggi badan lebih dulu. Suhendro sendiri yang mengukurnya. Dia pernah mendapat pengalaman unik ketika lapas memesan peti untuk tahanan dari Belanda. Saat itu, dia yakin peti yang digunakan berukuran jumbo. Setelah meluncur ke lapas dan jenazah dibaringkan ke dalam peti, ternyata tidak cukup. "Akhirnya, terpaksa peti kami panjangkan," ungkapnya.

Menjelang eksekusi terpi­dana mati gelombang kedua, Suhendro menyatakan be­lum mendapat pesanan peti jenazah. Meski begitu, dia sudah siap bila sewaktu-waktu dibutuhkan.

Menurut rencana, Kejagung mengeksekusi 12-15 terpidana mati. Jumlah resminya belum diumumkan. "Pokoknya, begitu jadwal dan jumlah terpidananya sudah pasti, saya langsung siap­kan," tambahnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA