Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

6 Tahun Ikut Operasi Militer, Masuk Keluar Hutan Jalan Kaki

Kiprah Jenderal Tionghoa di Mabes TNI

Jumat, 20 Februari 2015, 09:56 WIB
6 Tahun Ikut Operasi Militer, Masuk Keluar Hutan Jalan Kaki
John Lie Tjeng Tjoan
rmol news logo Selama ini warga Tionghoa identik dengan dunia usaha. Namun beberapa orang memilih menggeluti dunia yang sangat jauh berbeda: kemiliteran. Kariernya pun mulus. Pangkat bintang di pundak bisa diraih.
 
Empat pos pemeriksaan dan penjagaan terlebih dulu harus dilalui sebelum sampai di kan­tor Mayor Jenderal Daniel Tjen di lantai 6 Gedung B-3, Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta. Mendengar namanya, Daniel Tjen, orang yang belum pernah bertemu mungkin bisa menebak bahwa sang jenderal berdarah Tionghoa. Benar saja, kesan itu mendapat penegasan ketika ber­hadapan langsung dengan praju­rit TNI kelahiran Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung, 24 Juni 1957, tersebut.

Ya, jenderal bertinggi badan 168 cm itu memang terlahir dari orangtua berketurunan Tionghoa. Mendiang ayahnya, Tjen D. Tjoeng, adalah salah seorang karyawan di pabrik timah di Pulau Bangka. Di antara enam bersaudara, Daniel adalah satu-satunya yang memilih jalan hidup yang "out of the box". Yakni, menjadi tentara.

Lima saudaranya, sebagaima­na umumnya warga Tionghoa, memilih jadi pedagang atau pekerja di perusahaan swasta.

"Masa kecil saya sama dengan anak-anak lain yang lahir di kam­pung. Kami tidak berpikir untuk menjadi tentara," kenang Daniel.

Hingga SMA, bapak dua anak itu masih tinggal di pulau yang berada di pesisir timur Sumatera Selatan tersebut. Baru ketika ku­liah, dia melanjutkan pendidikan dokter di sebuah universitas di ibu kota. "Waktu kuliah itu pun masih belum terpikir (mau jadi tentara). Yang ada bagaimana saya bisa menjadi dokter," tambahnya.

Namun, seiring perjalanan waktu, dunia militer justru menarik perhatian Daniel. Tepatnya sesaat setelah dia lulus pendidi­kan dokter pada 1984. Ketika itu, Daniel melihat sejumlah seniornya sukses masuk menjadi tentara melalui jalur wamil (wa­jib militer). "Pada tahun-tahun itu, sistem di TNI sudah berjalan baik, tidak ada sekat suku atau agama. Mereka yang terbaik yang akan dipromosikan," tuturnya.

Daniel pun ikut mendaftar ten­tara lewat jalur wamil pada 1984. Setahun kemudian, dia lulus sekolah calon perwira (secapa) dan mendapat tugas pertama di Kodam IX/Udayana. Tepatnya di Batalyon 745 yang bermarkas di Lospalos, Timor Timur (sekarang Timor Leste). Dia langsung ber­tugas dalam operasi militer.

Daniel bertugas selama 2,5 ta­hun di kota berpenduduk sekitar 28 ribu jiwa itu. Selanjutnya, dia pindah tugas ke ibukota Timor Leste, Dili. Selama sekitar 3,5 tahun dia bertugas di wilayah yang kemudian lepas dari RI pada 1999 tersebut. "Enam ta­hun penugasan di daerah operasi militer itu banyak menempa saya," ungkapnya.

Keluar-masuk hutan dengan hanya berjalan kaki sudah biasa bagi dia waktu itu. Sebagai dok­ter militer, Daniel tidak berbeda dengan prajurit pada umum­nya. "Makan hanya dengan nasi putih dan sedikit sambal, nikmatnya sudah luar biasa. Makanan di hotel bintang lima enggak ada apa-apanya," ucap­nya lantas tersenyum.

Daniel merasa pengalaman­nya di daerah operasi militer itu sangat berkesan. Sebab, tidak semua dokter militer pernah bertugas di daerah operasi. Ia tak hanya mengurusi kesehatan prajurit TNI dan keluarganya, dia juga melayani masyarakat umum. Misalnya, saat bertugas di Lospalos, Daniel tiba-tiba dibangunkan pada tengah malam oleh penduduk setempat. Mereka meminta tolong kepada Daniel untuk membantu persalinan seorang warga. Rumah pasien itu berlokasi di seberang hutan yang cukup jauh dari tempat tinggal Daniel.

Tanpa pikir panjang, sebagai satu-satunya dokter di rumah sakit kabupaten, Daniel pun berangkat. Padahal, lokasi desa tempat si ibu yang akan melahirkan dikenal sebagai salah satu sarang Fretilin, kelompok pemberontak.

"Saat itu, saya berpikir mau membantu karena niat baik saja. Tidak melihat apakah warga yang meminta bantuan itu GPK (gerombolan pengacau keamanan) atau bukan," ujarnya.

Daniel bersama dua penduduk yang meminta bantuan itu langsung meluncur ke lokasi. Mereka menembus hutan dengan mengendarai ambulans yang lampu depannya sudah mati. "Satu tangan pegang setir, satu lagi pegang senter. Tapi, ber­syukur, semua berjalan baik saat itu," kenangnya lantas tertawa.

Selepas dari Timor Leste, Daniel menjalani tour of duty ja­batan dan penugasan. Dia sempat bertugas di Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad), di Kodam III/Siliwangi, hingga akhirnya di Direktorat Kesehatan Mabes TNI-AD. Dengan cepat, dia menjabat wakil direktur kesehatan AD, lalu promosi menjadi wakil kepala pusat kesehatan (Wakapuskes) TNI. Di jaba­tan itulah pangkat kemiliteran Daniel naik menjadi bintang satu alias Brigadir Jenderal (Brigjen). Mulai November lalu, dia pun resmi menjabat Kapuskes TNI.

Saat Daniel menjadi Direktur Kesehatan TNI AD, prestasi membanggakan berhasil diraih Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta. RS milik TNI AD itu menjadi RS pertama di dunia yang terakreditasi secara inter­nasional. Akreditasi dilakukan Join Commission International (JCI). Di Indonesia, rumah sakit pemerintah yang berstandar internasional adalah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), RS Sanglah Bali, RS Fatmawati Jakarta, dan RSUP Sardjito Yogyakarta.

Menurut Daniel, akreditasi itu penting karena menjadi jalan bagi RS Gatot Soebroto sebagai RS berkelas internasional. "Saya bersyukur memiliki teman-teman yang merupakan orang-orang hebat hingga Indonesia bisa di­akui secara internasional seperti sekarang," tandas Daniel.

Karier militer Daniel tidak hanya cemerlang di lingkungan TNI. Di dunia internasional, dia juga mendapat pengakuan. Saat ini dia dipercaya duduk sebagai Co-Chairman di International Committee of Military Medicine (ICMM). Organisasi di bawah PBB yang berkantor pusat di Brussel, Belgia, itu menaungi satuan kesehatan militer dari 114 negara. Dia terpilih saat kongres terakhir di Riyadh, Arab Saudi.

"Tahun depan, jika tidak ada halangan, saya akan menjadi Chairman-nya," kata Daniel.

Kepercayaan itu bakal diberi­kan seiring penunjukan Mabes TNI sebagai tuan rumah kongres ICMM. Kepercayaan tersebut tidak didapat begitu saja. Indonesia harus lebih dahulu menjalani open bidding (seleksi ter­buka) dengan sejumlah negara. Saingan terberat saat itu adalah China dan Singapura. "Dua negara yang militernya relatif lebih hebat dari kita itu ternyata kalah oleh kita," katanya bangga.

Menjadi Chairman ICMM, bagi Daniel, bukan sekadar penghargaan atas sebuah jabatan berkelas internasional. Namun, dia memandang jabatan tersebut bisa menjadi peluang Indonesia untuk semakin memajukan peran militer di kancah inter­nasional. Khususnya di lingkup kesehatan militer.

"Ini strategis. Jangan dibayangkan perang era sekarang tembak-tembakan dan senjata. Sesuai perkembangan, kini ada perang asimterik, ada perang proxy, di mana bidang keseha­tan menjadi salah satu bagian penting," ungkapnya.
 
Namanya Diabadikan Sebagai Kapal Perang
John Lie, Sang Penyelundup

Namanya diabadikan sebagai kapal perang terbaru dan tercanggih milik TNI Angkatan Laut (AL). Dialah John Lie Tjeng Tjoan. Pria yang juga dikenal sebagai Jahja Daniel Dharma ini menyandang pangkat terakhir Laksamana Muda. Presiden SBY menetapkan John Lie seba­gai pahlawan nasional.

Lahir pada 9 Maret 1911 (ada yang menyebut 11 Maret) di Manado, John Lie adalah anak pasangan Lie Kae Tae dan Oe Tjeng Nie Nio. Ayahnya pemilik perusahaan pengangkutan Vetol (Veem en transportonderneming Lie Kay Thai). Menginjak usia 17 tahun, John Lie kabur ke Batavia karena ingin menjadi pelaut.

Di kota ini, sembari menjadi buruh pelabuhan, ia mengikuti kursus navigasi. Setelah itu, John Lie menjadi klerk mual­im III pada kapal Koninklijk Paketvaart Maatschappij, pe­rusahaan pelayaran Belanda. Pada 1942, John Lie bertugas di Khorramshahr, Iran, dan menda­patkan pendidikan militer.

Ketika Perang Dunia II bera­khir dan Indonesia merdeka, dia memutuskan bergabung den­gan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) sebelum akhirnya diterima di Angkatan Laut RI. Semula ia bertugas di Cilacap, Jawa Tengah, dengan pangkat Kapten. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan ia berhasil membersihkan ranjau yang di­tanam Jepang untuk menghambat pergerakan pasukan Sekutu.

Atas jasanya, pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor. Kemudian dia memimpin misi me­nembus blokade Belanda guna menyelundupkan senjata, ba­han pangan, dan lainnya. Daerah operasinya meliputi Singapura, Penang, Bangkok, Rangoon, Manila, dan New Delhi.

Ia lalu ditugaskan mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang saat itu masih tipis. Pada 1947, ia pernah mengawal kapal yang membawa karet 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan.

Sejak itu, ia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bu­mi lain dibawa ke Singapura un­tuk dibarter dengan senjata. Senjata yang mereka peroleh lalu diserahkan kepada pejabat Republik yang ada di Sumatera seperti Bupati Riau. Senjata itu untuk melawan Belanda.

Perjuangan John Lie tidak lah ringan. Sebab, selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang samudera yang relatif besar un­tuk ukuran kapal yang mereka gunakan. Dalam operasi ini, John Lie memiliki kapal kecil cepat yang diberi nama The Outlaw.

Seperti dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), paling sedikit sebanyak 15 kali ia melaku­kan operasi "penyelundupan". Pernah saat membawa 18 drum minyak kelapa sawit, ia ditangkap perwira Inggris. Di pengadilan di Singapura, ia dibebaskan karena tidak terbukti me­langgar hukum.

Ia juga mengalami peris­tiwa menegangkan saat mem­bawa senjata semi otomatis dari Johor ke Sumatera, dihadang pesawat terbang patroli Belanda. John Lie berdalih kapalnya sedang kandas. Dua penembak, seorang berkulit putih dan se­orang lagi tampak berasal dari Maluku, mengarahkan senjata ke kapal.

Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan perintah tembak. Pesawat lalu meninggal­kan The Outlaw tanpa insiden. Ada yang menduga persediaan bahan bakar menipis sehingga mereka buru-buru pergi.

Setiap Imlek Kumpul Bareng Keluarga


IMLEK merupakan momen untuk berkumpul bersama keluarga besar. Tahun baru umat Tionghoa 2566 yang diperingati jatuh Kamis (19/2) menjadi tahun keempat Agustinus Riski Wirawan Riadi, menyandang status prajurit TNI. Menyandang pangkat Letnan Satu, Riski bertugas sebagai perwira Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Angkatan Laut (Rumkital) dr Idris Parimpunan Siregar, Surabaya, Jatim.

Dokter umum alumnus Universitas Wijaya Kusuma Surabaya itu menggawangi IGD Rumkital dr Idris Parimpunan Siregar yang berada di Detasemen Markas Komando Armada Timur (Koarmatim). Kendati menangani masalah kesehatan, Riski terikat dalam seremonial militer sebagaima­na peraturan dinas khas TNI AL. Misalnya, apel pagi, apel sore, maupun upacara militer lain. Setiap bulan dia mendapat jatah piket jaga di sejumlah rumkital. Sebuah pengabdian yang tidak biasa di kalangan warga Tionghoa.

"Sejak awal ya kepingin saja menjadi tentara," ucap Riski di ruang tindakan Rumkital dr Idris Parimpunan Siregar seusai olahraga futsal siang Sebuah pernyataan spontan yang terasa enteng didengar.

Siang itu dia mengenakan baju olahraga TNI AL. Dalam kondisi masih berkeringat, anak bungsu di antara empat bersaudara tersebut mengisahkan masa-masa sulit meyakinkan orangtua dan kakaknya kala hendak masuk dunia militer.

Keputusan Riski menuntut ilmu kedokteran termasuk tidak lazim di lingkungan keluarga besarnya. Ayahnya, Slamet Riyadi (Siauw Tjai Sing), dan sang ibu, Rita Wibawati (Liem Gwat Nio), membanting tulang di Nguling, Kabupaten Probolinggo, sebagai pedagang. Semua kakaknya juga berwiraswasta di berbagai usaha. Alumnus SMAKatolik Mater Dei Probolinggo itu kukuh berkuliah di Surabaya untuk membebaskan diri.

"Kalau keluar rumah lama waktu SMAdulu, saya pasti dicari. Kalau sudah di luar kota (kuliah atau kerja), mau eng­gak pulang sekalian ya enggak dicari," seloroh dokter yang genap berusia 30 tahun pada 31 Juli nanti tersebut.

Pelampiasan membuatnya "kebablasan". Keputusannya mendaftar menjadi tentara memicu reaksi dari kakak-kakaknya. Mau-maunya si ragil yang menyandang gelar dokter pada 2011 bersusah-susah menjadi prajurit. Apalagi, TNI diang­gap memiliki sejarah kelam kala kerusuhan Mei 1998.

Riski maju terus. Berkat perjuangan kerasnya, Riski lolos seleksi masuk TNI jalur perwira karier tanpa mengu­lang. Serangkaian pendidikan militer dilakoninya hampir setahun. Pada penempatan pertamanya, dia menjadi perwira kesehatan di Balai Pengobatan Pangkalan TNI-AL Batuporon, Bangkalan.

Mulai Maret 2014 hingga kini, dia mengabdi di Rumkital dr Idris Parimpunan Siregar. "Setiap imlek saya usahakan bareng orangtua, berkumpul di rumah kakak pertama di Lumajang," ujar suami dr Rindang S.H.W. itu.

Momen imlek menjadi ajang untuk melepas rindu. Riski men­jadi pusat perhatian keluarga. Dia selalu berbagi cerita seputar penugasan. Misalnya, saat dia masuk satuan tugas pelayanan kesehatan Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pasifik (APEC) Bali. Begitu pula saat dia bertugas di tim pengamanan RI-1 pada berbagai kunjungan kerja dan Satgas Peledakan Ranjau ber­sama satuan kapal antiranjau.

"Cerita seputar HUTKe-69 TNI akan menjadi perbincangan," ujar ayah Dyonisius Science Diwangkara Riyadi itu.

Pluralisme juga mewarnai hidup Letnan Dua dr Christina Widosari. Keluarga besarnya menganut keyakinan beragam. Orangtuanya yang keturunan Tionghoa memeluk agama Islam sebelum Christina lahir. Namun, mereka tetap berupaya menjaga tradisi setiap Imlek.

Pada akhir Oktober 2014, Christina baru melepas masa lajangnya. Personel Korps Wanita TNI AL itu dinikahi sesama prajurit TNI, yakni Letnan Satu (Laut) Satria Wijaya. Meski belum genap empat bulan men­jadi istri, dokter yang bertugas sebagai perwira urusan dukun­gan kesehatan di Rumkital dr Idris Parimpunan Siregar tersebut kembali "membujang". Sebab, sang suami ditugaskan di Pangkalan Utama TNI-AL (Lantamal) X Jayapura.

Keseharian Christina sering dihabiskan di rumkital. Setiap hari selalu ada pasien yang harus dia periksa. Selain anggota tetap (antap) maupun istri antap (Jalasenanstri), rumkital melayani keluarga inti antap.

Tidak jarang, pasien dari ling­kungan keluarga Koarmatim yang sakitnya parah harus dira­wat inap di rumkital tersebut. Hal itu lumayan bisa menyibuk­kan anak sulung di antara dua bersaudara alumnus kedokteran Univertitas Hang Tuah (UHT) Surabaya tersebut. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA