Digedung Tarempa inilah tadinya 19 penyelam TNI AL yang terlibat misi pencarian AirAsia hendak dirawat. Mereka mengaÂlami dekompresi setelah melakuÂkan penyelaman.
"Tidak jadi (dirawat). Nggak ada ruang di Tarempa. Jadinya rawat jalan," kata Hasan, petuÂgas resepsionis di gedung utama RSAL Mintohardjo.
Kapasitas ruang perawatan di gedung Tarempa terbatas. Di gedung ini hanya ada 20 kamar perawatan. Kondisi pun penuh pasien.
Kepala Basarnas Marsekal Madya FH Bambang Solistyo mengungkapkan, 19 penyelam dari TNI AL mengalami dekomÂpresi. "Saat ini sudah dilakukan treatment oleh tim kesehatan dari TNI," katanya.
Sejauh ini, kata Bambang, belum ada tim penyelam dari Basarnas maupun kesatuan lain yang melapor mengalami dekompresi setelah melakukan pencarian baÂdan pesawat AirAsia QZ8501.
Dekompresi terjadi ketika nitrogen terakumulasi dalam diri setelah melakukan melakuÂkan penyelaman. Gelembung-gelembung udara dalam aliran darah dan sistem saraf ini berÂbahaya sebab bisa menyebabkan stroke maupun kematian.
RSAL Mintohardjo yang terletak di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat ini, memiliki fasiliÂtas Hyperbaric Center untuk memulihkan kondisi penyelam yang mengalami dekompresi. Ke 19 penyelam TNI AL itu akan menjalani perawatan selama satu hingga enam bulan di rumah sakit, tergantung tingkat dekomÂpresi yang dialami.
Komandan regu penyelam TNI AL Mayor (Marinir) Dhagratmen membenarkan para penyelam yang mengalami dekompresi itu tak dirawat inap. Mereka menjalani pemeriksaan dan perawatan 2-3 jam di RS Mintohardjo. Setelah itu diperÂbolehkan pulang.
"Alhamdulillah kondisinya tidak terlalu parah. Mereka cuma di minta kembali kalau merasa ada gangguan. Tapi sampai hari ini, saya belum mendapatkan laporan ada dari mereka yang ke rumah sakit lagi," ujarnya kepada
Rakyat Merdeka.Dhagratmen mengungkapÂkan, para penyelam dirujuk ke bagian Hyperbaric Center RSAL Mintohardjo. Fasilitas terapi ini berada di depan gedung Unit Gawat Darurat (UGD). Setelah menjalani pemeriksaan, para penyelam menjalani terapi di ruang mirip kapal selam yang bertekanan oksigen tinggi.
"Dalam tabung tersebut, mereka diberikan tekanan udara yang setara dengan kedalaman 20-35 meter untuk menetralisir toksin-toksin yang ada di dalam tubuh," jelas dia.
Perawatan tersebut, lanjut dia, dilakukan selama sekitar 30 menit setiap sesinya. Setiap penyelam diwajibkan melakukan 2 sesi teraÂpi. Namun ada 3 orang penyelam yang diwajibkan menjalani terapi selama 62 menit setiap sesinya. Dekompresi yang dialaminya parah. Sehingga terapinya pun lama. "Mereka bertiga kondisinya mencapai level 5. Yang lain cuma menjalani perawatan biasa," ungÂkap Dhagratmen.
Menurut Dhagratmen, mereka terkena dekompresi karena terlaÂlu lama melakukan penyelaman. Faktor cuaca yang berubah-ubah membuat para penyelam sulit menerapkan prosedur normal dalam penyelaman.
Para penyelam juga kurang waktu istirahat untuk memuliÂhkan stamina mereka. Sesuai prosedur, jelas dia, penyelam yang melakukan penyelaman sampai kedalaman 40 meter perlu istirahat satu hari.
"Kami bertugas sejak 31 Desember 2014 sampai 28 Januari 2015. Selama hampir sebulan itu, kami hanya sempat beristirahat ketika KRI Banda Aceh mengamÂbil bekal ulang di Semarang. Jadi kami agak kurang beristirahat," tutur Dhagratmen.
Untuk mencegah dampak negatif dari penyelaman yang dilakukan terus menerus, tim kesÂehatan melakukan pemeriksaan terhadap para penyelam usai merÂeka bertugas. Dari hasil pemerikÂsaan itu bisa ditentukanapakah si penyelam bisa langsung melanjutÂkan tugas atau tidak.
"Lalu saat didiagnosa terkena dekompresi juga sudah diberikan pertolongan pertama sebelum diberangkatkan, dan diberikan perawatan di pesawat. Makanya tidak ada yang parah," tukas Dhagratmen.
Dia menambahkan, saat ini ke-19 penyelam itu dalam konÂdisi siap untuk kembali melakuÂkan penyelaman. Mereka masih dibiarkan beristirahat di rumah menunggu perintah selanjutnya.
"Kalau ditugaskan lagi, mereka semua sudah siap kok. Karena kalau ada masalah, mereka pasti melapor ke saya," tegas Dhagratmen.
Cuaca Berubah-ubah Cepat, Penyelam Kurang IstirahatKomandan regu penyelam TNI AL Mayor (Marinir) Dhagratmen mengungkapkan angÂgotanya baru kali mengalami dekompresi. Faktor cuaca dan lamanya waktu penyelaman ditengarai sebagai penyebab utamanya.
"Cuaca yang buruk dari awal hingga akhir, membuat waktu pencarian jadi sangat terbatas. Akibatnya, tubuh kami tidak memiliki cukup waktu untuk menyesuaikan ataupun beristiÂrahat," ujar Dhagratmen.
Menurut dia, untuk mencegah nitrogen di dalam tubuh menjadi buih, ada aturan penyelaman yang harus diterapkan. Jika meÂnyelam ke kedalaman hingga 40 meter, maka pada kedalaman 5-7 meter harus berhenti terlebih daÂhulu selama 3 menit. Sementara usai penyelaman lebih dari 40 meter, penyelam harus beristiraÂhat 3-6 jam sampai 1 hari.
Biasanya, kata Dhagratmen, lamanya waktu penyelaman telah diatur sedemikian rupa, sehingga para penyelam memiÂliki waktu yang cukup untuk memulihkan diri.
"Istilahnya, stop deco. Masalahnya dalam pencarian Air Asia ini kan tidak bisa diterapkan. Ganasnya cuaca membuat kami hanya bisa melakukan pencarian di waktu-waktu tertentu, dengan batas waktu yang terbatas pula. Sudah begitu kami sudah meÂnyelam lama sekali, jauh di atas batas normal. Makanya ada yang terkena dekompresi," jelas dia.
Dia menyatakan, kedua faktor tersebut sebetulnya sangat berbahaÂya bagi para penyelam. Penyelam mudah terserang dekompresi parah yang bisa bisa menyebabkan keÂlumpuhan, bahkan kematian.
TNI, kata dia, telah menetapÂkan prosedur keamanan yang ketat untuk para penyelam. Setelah bertugas, penyelam diwajibkan memeriksakan kondisi kesehaÂtannya. Dari hasil pemeriksaan tersebut, baru ditentukan, apakah si penyelam bisa langsung melanÂjutkan tugas atau tidak. "Makanya sampai saat ini tidak ada yang parah," imbuh Dhagratmen.
Memasuki hari ke-31 operasi Search and Rescue (SAR) pesaÂwat AirAsia QZ 8501, seluruh kekuatan TNI ditarik dari lokasi pencarian di Selat Karimata. Semua armada TNI seperti KRI Banda Aceh, KRI Soputan, KRI Teluk Sibolga, dan KRI Yos Sudarso, lanjut Widodo, diperintahkan kembali ke Jakarta dan Surabaya. Dua helikopter Bell TNI AU pun sudah ditarik.
Tidak ditemukannya jenazah d alam dua hari ini dan tidak berhasilnya upaya pengangkatan badan utama pesawat menjadi pertimbangan penarikan perÂsonel TNI. Evaluasi dan konÂsolidasi TNI dan Badan SAR Nasional (Basarnas) dilakukan untuk menentukan kelanjutan operasi evakuasi.
Basarnas Kerahkan Penyelam TradisionalAnggota TNI DitarikBadan SAR Nasional mengerahkan penyelam tradisional dalam operasi pencarian jenazah korban pesawat AirAsia QZ8501 di Selat Karimata. Penyelam tradisional dikerahkan untuk menggantiÂkan peran penyelam-penyelam TNI yang sudah ditarik dari lokasi pencarian.
"Kami kerahkan unsur-unsur Basarnas dan potensi penyelam tradisional untuk mencari korban," kata Kepala Basarnas, Marsekal Madya FHB Soelistyo.
Dia mengatakan, 16 peÂnyelam tradisional yang dituÂgaskan untuk menggantikan para prajurit AL tersebut. Para penyelam tradisional terseÂbut berasal dari Desa Teluk Bogam, Kumai, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
"Pengerahan para penyelam tradisional tersebut merupakan kerja sama Basarnas dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotawaringin Barat (Kobar)," tuturnya.
Menurut dia, penyelam tradisional memiliki peran penting. Alasannya, fokus pencarian korban AirAsia dilakukan dengan menyisir dasar laut Selat Karimata.
"Kami juga akan mendaÂtangkan kapal dari Batam untuk mendukung operasi pencarian oleh para penyelam kita," ujarnya.
Bupati Kotawaringin Barat, Ujang Iskandar menambahkan, sejak adanya rehat aktivitas dari Basarnas, pihaknya beriÂnisiatif mengerahkan warga di Desa Teluk Bogam, Kecamatan Kumai, untuk membantu melakukan pencarian.
Menurut dia, hal tersebut dilakukan karena Pemkab Kobar dan warga berkomitmen, terus melakasanakan pencarian. "Meskipun sempat terÂsiar kabar operasi dihentikan, kami berkomitmen untuk tetap membantu. Para penyelam itu sebenarnya merupakan nelayan yang selama ini juga memiliki kemampuan menyelam secara tradisional," tegas dia.
Dia menuturkan, Senin pagi para penyelam tradisional tersebut telah menemukan tujuh jenazah korban Air Asia QZ8501. Ketujuh jenazah itu sudah dievakuasi ke kapal milik Basarnas, KN224 dan langsung dibawa ke RSUDSultan Imanuddin.
"Penyelam menemukan keenam jenazah itu di lokasi jatuhnya pesawat. Empat diantaranya ditemukan di dalam badan pesawat yang kini masih ada di dasar laut," terangnya.
TNI sempat mencoba menÂgangkat badan pesawat nahas itu, pekan lalu. Namun, beberapa kali operasi berakhir dengan kegagalan. Faktor arus laut yang kencang menjadi penghambat utama. TNI pun kemudian menarik pasukannya dari pencarian. Pencarian ini dilanjutkan Basarnas, maksiÂmal hingga akhir pekan ini. Basarnas kemudian mengevalÂuasi lagi, apakah melanjutkan atau tidak pencarian.
Pesawat AirAsia QZ8501 dengan rute Surabaya-Singapura hilang kontak dari raÂdar pada 28 Desember 2014 lalu. Belakangan pesawat yang mengangkut 162 orang itu diketahui jatuh di Selat Karimata. ***