Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kamar Penuh, Batal Rawat Inap di RSAL Mintohardjo

19 Penyelam Pencari AirAsia Terkena Dekompresi

Kamis, 05 Februari 2015, 10:14 WIB
Kamar Penuh, Batal Rawat Inap di RSAL Mintohardjo
Penyelam Pencari AirAsia
rmol news logo Departemen Keperawatan Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) Dr Mintohadjo tampak sepi. Pintunya dari kaca hitam dikunci. Di belakang departemen ini berdiri gedung Tarempa berlantai empat. Akses masuk ke gedung tempat perawatan ini hanya bisa lewat Departemen Kesehatan.
 
Digedung Tarempa inilah tadinya 19 penyelam TNI AL yang terlibat misi pencarian AirAsia hendak dirawat. Mereka menga­lami dekompresi setelah melaku­kan penyelaman.

"Tidak jadi (dirawat). Nggak ada ruang di Tarempa. Jadinya rawat jalan," kata Hasan, petu­gas resepsionis di gedung utama RSAL Mintohardjo.

Kapasitas ruang perawatan di gedung Tarempa terbatas. Di gedung ini hanya ada 20 kamar perawatan. Kondisi pun penuh pasien.

Kepala Basarnas Marsekal Madya FH Bambang Solistyo mengungkapkan, 19 penyelam dari TNI AL mengalami dekom­presi. "Saat ini sudah dilakukan treatment oleh tim kesehatan dari TNI," katanya.

Sejauh ini, kata Bambang, belum ada tim penyelam dari Basarnas maupun kesatuan lain yang melapor mengalami dekompresi setelah melakukan pencarian ba­dan pesawat AirAsia QZ8501.

Dekompresi terjadi ketika nitrogen terakumulasi dalam diri setelah melakukan melaku­kan penyelaman. Gelembung-gelembung udara dalam aliran darah dan sistem saraf ini ber­bahaya sebab bisa menyebabkan stroke maupun kematian.

RSAL Mintohardjo yang terletak di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat ini, memiliki fasili­tas Hyperbaric Center untuk memulihkan kondisi penyelam yang mengalami dekompresi. Ke 19 penyelam TNI AL itu akan menjalani perawatan selama satu hingga enam bulan di rumah sakit, tergantung tingkat dekom­presi yang dialami.

Komandan regu penyelam TNI AL Mayor (Marinir) Dhagratmen membenarkan para penyelam yang mengalami dekompresi itu tak dirawat inap. Mereka menjalani pemeriksaan dan perawatan 2-3 jam di RS Mintohardjo. Setelah itu diper­bolehkan pulang.

"Alhamdulillah kondisinya tidak terlalu parah. Mereka cuma di minta kembali kalau merasa ada gangguan. Tapi sampai hari ini, saya belum mendapatkan laporan ada dari mereka yang ke rumah sakit lagi," ujarnya kepada Rakyat Merdeka.

Dhagratmen mengungkap­kan, para penyelam dirujuk ke bagian Hyperbaric Center RSAL Mintohardjo. Fasilitas terapi ini berada di depan gedung Unit Gawat Darurat (UGD). Setelah menjalani pemeriksaan, para penyelam menjalani terapi di ruang mirip kapal selam yang bertekanan oksigen tinggi.

"Dalam tabung tersebut, mereka diberikan tekanan udara yang setara dengan kedalaman 20-35 meter untuk menetralisir toksin-toksin yang ada di dalam tubuh," jelas dia.

Perawatan tersebut, lanjut dia, dilakukan selama sekitar 30 menit setiap sesinya. Setiap penyelam diwajibkan melakukan 2 sesi tera­pi. Namun ada 3 orang penyelam yang diwajibkan menjalani terapi selama 62 menit setiap sesinya. Dekompresi yang dialaminya parah. Sehingga terapinya pun lama. "Mereka bertiga kondisinya mencapai level 5. Yang lain cuma menjalani perawatan biasa," ung­kap Dhagratmen.

Menurut Dhagratmen, mereka terkena dekompresi karena terla­lu lama melakukan penyelaman. Faktor cuaca yang berubah-ubah membuat para penyelam sulit menerapkan prosedur normal dalam penyelaman.

Para penyelam juga kurang waktu istirahat untuk memuli­hkan stamina mereka. Sesuai prosedur, jelas dia, penyelam yang melakukan penyelaman sampai kedalaman 40 meter perlu istirahat satu hari.

"Kami bertugas sejak 31 Desember 2014 sampai 28 Januari 2015. Selama hampir sebulan itu, kami hanya sempat beristirahat ketika KRI Banda Aceh mengam­bil bekal ulang di Semarang. Jadi kami agak kurang beristirahat," tutur Dhagratmen.

Untuk mencegah dampak negatif dari penyelaman yang dilakukan terus menerus, tim kes­ehatan melakukan pemeriksaan terhadap para penyelam usai mer­eka bertugas. Dari hasil pemerik­saan itu bisa ditentukanapakah si penyelam bisa langsung melanjut­kan tugas atau tidak.

"Lalu saat didiagnosa terkena dekompresi juga sudah diberikan pertolongan pertama sebelum diberangkatkan, dan diberikan perawatan di pesawat. Makanya tidak ada yang parah," tukas Dhagratmen.

Dia menambahkan, saat ini ke-19 penyelam itu dalam kon­disi siap untuk kembali melaku­kan penyelaman. Mereka masih dibiarkan beristirahat di rumah menunggu perintah selanjutnya.

"Kalau ditugaskan lagi, mereka semua sudah siap kok. Karena kalau ada masalah, mereka pasti melapor ke saya," tegas Dhagratmen.

Cuaca Berubah-ubah Cepat, Penyelam Kurang Istirahat


Komandan regu penyelam TNI AL Mayor (Marinir) Dhagratmen mengungkapkan ang­gotanya baru kali mengalami dekompresi. Faktor cuaca dan lamanya waktu penyelaman ditengarai sebagai penyebab utamanya.

"Cuaca yang buruk dari awal hingga akhir, membuat waktu pencarian jadi sangat terbatas. Akibatnya, tubuh kami tidak memiliki cukup waktu untuk menyesuaikan ataupun beristi­rahat," ujar Dhagratmen.

Menurut dia, untuk mencegah nitrogen di dalam tubuh menjadi buih, ada aturan penyelaman yang harus diterapkan. Jika me­nyelam ke kedalaman hingga 40 meter, maka pada kedalaman 5-7 meter harus berhenti terlebih da­hulu selama 3 menit. Sementara usai penyelaman lebih dari 40 meter, penyelam harus beristira­hat 3-6 jam sampai 1 hari.

Biasanya, kata Dhagratmen, lamanya waktu penyelaman telah diatur sedemikian rupa, sehingga para penyelam memi­liki waktu yang cukup untuk memulihkan diri.

"Istilahnya, stop deco. Masalahnya dalam pencarian Air Asia ini kan tidak bisa diterapkan. Ganasnya cuaca membuat kami hanya bisa melakukan pencarian di waktu-waktu tertentu, dengan batas waktu yang terbatas pula. Sudah begitu kami sudah me­nyelam lama sekali, jauh di atas batas normal. Makanya ada yang terkena dekompresi," jelas dia.

Dia menyatakan, kedua faktor tersebut sebetulnya sangat berbaha­ya bagi para penyelam. Penyelam mudah terserang dekompresi parah yang bisa bisa menyebabkan ke­lumpuhan, bahkan kematian.

TNI, kata dia, telah menetap­kan prosedur keamanan yang ketat untuk para penyelam. Setelah bertugas, penyelam diwajibkan memeriksakan kondisi keseha­tannya. Dari hasil pemeriksaan tersebut, baru ditentukan, apakah si penyelam bisa langsung melan­jutkan tugas atau tidak. "Makanya sampai saat ini tidak ada yang parah," imbuh Dhagratmen.

Memasuki hari ke-31 operasi Search and Rescue (SAR) pesa­wat AirAsia QZ 8501, seluruh kekuatan TNI ditarik dari lokasi pencarian di Selat Karimata. Semua armada TNI seperti KRI Banda Aceh, KRI Soputan, KRI Teluk Sibolga, dan KRI Yos Sudarso, lanjut Widodo, diperintahkan kembali ke Jakarta dan Surabaya. Dua helikopter Bell TNI AU pun sudah ditarik.

Tidak ditemukannya jenazah d alam dua hari ini dan tidak berhasilnya upaya pengangkatan badan utama pesawat menjadi pertimbangan penarikan per­sonel TNI. Evaluasi dan kon­solidasi TNI dan Badan SAR Nasional (Basarnas) dilakukan untuk menentukan kelanjutan operasi evakuasi.

Basarnas Kerahkan Penyelam Tradisional
Anggota TNI Ditarik

Badan SAR Nasional mengerahkan penyelam tradisional dalam operasi pencarian jenazah korban pesawat AirAsia QZ8501 di Selat Karimata. Penyelam tradisional dikerahkan untuk mengganti­kan peran penyelam-penyelam TNI yang sudah ditarik dari lokasi pencarian.

"Kami kerahkan unsur-unsur Basarnas dan potensi penyelam tradisional untuk mencari korban," kata Kepala Basarnas, Marsekal Madya FHB Soelistyo.

Dia mengatakan, 16 pe­nyelam tradisional yang ditu­gaskan untuk menggantikan para prajurit AL tersebut. Para penyelam tradisional terse­but berasal dari Desa Teluk Bogam, Kumai, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.

"Pengerahan para penyelam tradisional tersebut merupakan kerja sama Basarnas dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotawaringin Barat (Kobar)," tuturnya.

Menurut dia, penyelam tradisional memiliki peran penting. Alasannya, fokus pencarian korban AirAsia dilakukan dengan menyisir dasar laut Selat Karimata.

"Kami juga akan menda­tangkan kapal dari Batam untuk mendukung operasi pencarian oleh para penyelam kita," ujarnya.

Bupati Kotawaringin Barat, Ujang Iskandar menambahkan, sejak adanya rehat aktivitas dari Basarnas, pihaknya beri­nisiatif mengerahkan warga di Desa Teluk Bogam, Kecamatan Kumai, untuk membantu melakukan pencarian.

Menurut dia, hal tersebut dilakukan karena Pemkab Kobar dan warga berkomitmen, terus melakasanakan pencarian. "Meskipun sempat ter­siar kabar operasi dihentikan, kami berkomitmen untuk tetap membantu. Para penyelam itu sebenarnya merupakan nelayan yang selama ini juga memiliki kemampuan menyelam secara tradisional," tegas dia.

Dia menuturkan, Senin pagi para penyelam tradisional tersebut telah menemukan tujuh jenazah korban Air Asia QZ8501. Ketujuh jenazah itu sudah dievakuasi ke kapal milik Basarnas, KN224 dan langsung dibawa ke RSUDSultan Imanuddin.

"Penyelam menemukan keenam jenazah itu di lokasi jatuhnya pesawat. Empat diantaranya ditemukan di dalam badan pesawat yang kini masih ada di dasar laut," terangnya.

TNI sempat mencoba men­gangkat badan pesawat nahas itu, pekan lalu. Namun, beberapa kali operasi berakhir dengan kegagalan. Faktor arus laut yang kencang menjadi penghambat utama. TNI pun kemudian menarik pasukannya dari pencarian. Pencarian ini dilanjutkan Basarnas, maksi­mal hingga akhir pekan ini. Basarnas kemudian mengeval­uasi lagi, apakah melanjutkan atau tidak pencarian.

Pesawat AirAsia QZ8501 dengan rute Surabaya-Singapura hilang kontak dari ra­dar pada 28 Desember 2014 lalu. Belakangan pesawat yang mengangkut 162 orang itu diketahui jatuh di Selat Karimata. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA