Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Musim Hujan, “Panen” Listrik Sekaligus Sampah

Berkunjung Ke PLTA Dago Yang Dibangun Zaman Belanda

Minggu, 02 Maret 2014, 08:31 WIB
Musim Hujan, “Panen” Listrik Sekaligus Sampah
ilustrasi
rmol news logo Bangunan tua itu berdiri kokoh di dataran tinggi di atas kota Bandung. Tepatnya, di Jalan Ir H Djuanda, kawasan Dago. Arsitekturnya bergaya khas era kolonial. Dari tempat ini, listrik mengalir menerangi Paris van Java.

Centrale Bengkok, Dienst Voor Waterkracht en Electriteit, 1923. Tulisan itu dibuat di plang di atas pintu masuknya. Inilah pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang dibuat zaman Belanda. Berusia hampir satu abad, pembangkit ini masih berfungsi baik.

Tiga pipa besar warna kuning dengan diameter satu meter menukik dari perbukitan menuju sisi kanan bangunan. Di dalamnya terdengar air yang mengalir deras. Aliran air ini dipakai untuk menggerakkan turbin.

Tepat di muka gedung dengan tembok hitam putih yang dihiasi batu tempel itu, terdapat pintu besar sebagai akses masuk utama. Sebelumnya masuk, petugas meminta menggunakan penutup telinga dan helm proyek. Petugas juga mewanti-wanti jangan menekan tuas atau tombol apa pun di dalam.

Begitu pintu berukuran besar dibuka, terdengar suara bising tiga turbin penghasil listrik. Sumber air untuk menggerakkan turbin berasal dari sungai Cikapudung.  Interior tempat turbin ini berada bergaya klasik. Temboknya dari beton dengan cat kuning atapnya kayu.

Taufik terlihat mengawasi kerja turbin. Usianya 28 tahun. Ia salah satu operator di pembangkit. Dari 24 operator di sini, dia yang termuda. Terlalu bising untuk berbincang, dia mengajak ke ruang di ruang kontrol panel.

Menapaki tiga anak tangga, tiba di ruang yang menjadi pusat operasi pembangkit ini. Suara bising berkurang. Penutup telinga bisa dibuka. “Getaran mesin (turbin) 750 tacometer. Ini normal. Sekarang lagi musim hujan. Kita panen (listrik),” ujar Taufik dengan logat Sunda yang kental.

Saat itu, Taufik adalah operator yang bekerja pada shift pertama. Turbin bekerja nonstop 24 jam. Hanya berhenti untuk perbaikan atau jika sampah nyangkut karena terbawa aliran air.

Di meja operator di ruang kontrol panel terdapat alat pengukur tacometer. Tombol panelnya model kuno. Terbuat dari besi. Taufik bisa mengetahui jika turbin mengalami gangguan.

Dari mana? Dari tacometer tadi. Biasanya, bila mengalami gangguan tingkat kebisingan turbin akan meningkat drastis. Tuas-tuas untuk memberhentikan pun ditarik.

“Hulu di sungai Citarum airnya mulai kotor. Warnanya cokelat. Kadang plastik bikin macet turbin,” keluhnya.

Bersama rekannya Suhayat, Taufik mengawasi setiap bagian di pembangkit. Mulai dari ruang turbin, kontrol panel, hingga ruang baterai. Listrik yang dihasilkan dialirkan ke gardu induk Cikapundung untuk memenuhi kebutuhan listrik di wilayah Bandung Utara dan Lembang.

“Kita mencatat berapa energi terhasil setiap jamnya,” katanya sembari menjelaskan sistem pencatatannya masih manual menggunakan buku bulanan.

Taufik menjelaskan listrik energi yang dihasilkan dari PLTA itu cukup besar. Lebih dari 43 megawatt per hari. Setiap jamnya, menghasilkan energi 1,8 megawatt. “Itu kalau nggak ada kendala di turbinnya,” ujarnya.

Hari menjelang sore. Awan di atas kawasan Dago tampak mendung. Tak lama air pun tumpah dari langit. Taufik pun senang hujan turun. Sebab listrik yang bisa dihasilkan lebih banyak. Sebab, aliran air yang masuk ke turbin lebih deras.

Pada musim hujan, Taufik perlu lebih sering mengontrol turbin agar putarannya tak terganggu akibat sampah plastik yang terbawa aliran air ke pembangkit ini.

Pembangkit ini dibagi dalam empat ruangan. Yakni, ruang turbin, kontrol panel (sentral), baterai, dan ruang kontrol penyaluran air menuju ke PLTA daerah Bandung dan sekitarnya.

Sirkulasi udara di dalam ruangan-ruangan itu terjaga baik. Bahkan sejuk. Sebab pembangkit ini memang berada di dataran tinggi. Langit-langit ruangan ini dibuat tinggi, ditambah ukuran jendela yang cukup besar.

Selain sampah yang dapat menghambat putaran turbin buatan Belanda itu, PLTA Bengkok ini kerap dihadapkan pada persoalan menyusutnya suplai air. Pada musim kemarau beberapa tahun lalu, debit air sungai menyusut drastis.

Pembangkit yang dikelola PT Indonesia Power PLTA UBP Saguling ini terpaksa mengistirahatkan dua turbinnya. Aliran air hanya mampu menggerakkan satu turbin.

Penyusutan suplai air disebabkan berbagai faktor. Namun yang paling utama karena air sungai Cikapundung kini banyak dipakai untuk sumber air PDAM dan untuk irigasi pertanian.

General Manajer Unit Bisnis Pembangkitan PLTA Saguling PT Indonesia Power Del Eviondra mengatakan, air sungai Citaru dalah penggerak PLTA Bengkok. Namun kualitasnya kian memburuk.

Alhasil, listrik yang dihasilkan dan disuplai dari pembangkit ini kerap tak stabil. Turbin pun cepat mengalami korosi yang berdampak membengkaknya biaya perawatan.

Menurut Del, kualitas air menurun karena banyak limbah industri dan rumah tangga yang dibuang ke sungai Citarum. Selain mencemari air, limbah itu menyebabkan terjadinya sedimentasi atau pendangkalan. Akibatnya, aliran air menjadi lemah.

Bukan hanya PLTA Bengkok yang kena dampaknya. Tapi juga pembangkit Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Ia mengkhawatirkan, jika tata ruang di daerah aliran sungai (DAS) Citarum tak dijaga, listrik yang dihasilkan dari pembangkit-pembangkit itu akan makin menurun.

Suku Cadang Dibuat Sendiri, Biaya Perawatan Bisa Ditekan

Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bengkok, di Dago, Bandung, Jawa Barat hampir berusia seabad. Bangunan dan turbinnya perlu renovasi dan perbaikan agar pembangkit ini tetap bisa menyuplai listrik.

Renovasi tak bisa dilakukan sembarangan. Terutama untuk bangunannya. Sebab, bangunan ini berstatus cagar budaya. Perbaikan tak mengubah bentuk bangunan.
Sementara untuk turbin sudah dilakukan perbaikan di sana-sini. Tujuannya ada turbin tua ini tetap bisa menghasilkan listrik. Selain memasang rem hydrolic untuk menghentikan putaran, pergantian suku cadang turbin rutin dilakukan.

Agar tidak rusak dimakan usia, para operator di PLTA Bengkok rutin melakukan pengecekan. Terutama, kondisi turbin sebagai penentu hidup atau matinya pembangkit ini. Pemeriksaan dilakukan secara periodik. Harian, mingguan, hingga tahunan.

“Sebentar lagi kita akan pemeriksaan keseluruhan (pembangkit), Anggaran sebesar Rp 43 juta sudah disiapkan,” ujar Iwan Sukama, Supervisor Operasi dan Pemeliharaan PLTA Bengkok.

Anggaran untuk merawat PLTA ini, menurutnya, kecil. Pasalnya, semua suku cadang sudah sendiri oleh PT Indonesia Power. Alhasil, biaya perawatan bisa ditekan.

Menurut Iwan, masih berfungsinya PLTA Bengkok adalah buah kegigihan para operator yang rutin memberikan laporan detail mengenai kondisi pembangkit ini. Melalui laporan harian secara rutin, dapat diketahui tanda-tanda kerusakan agar tidak terjadi kerusakan yang besar.

“Untuk pengecekan harian seperti mencatat suhu, mingguan pelumasan, dan setahun sekali atau pengoperasian 8000 jam, PLTA dimatikan untuk pengecekan,” terangnya.

Pemantauan Rakyat Merdeka, lokasi PLTA tua yang berada di Jalan Juanda, Dago itu bukan di daerah terpencil. Masih termasuk kawasan kota Bandung.

Perumahan warga memadati area itu. Kondisi air untuk menggerakkan turbin tidak terlalu baik. WArna cokelat ketika ketika masuk maupun keluar dari saluran penggerak turbin. Air dialirkan ke lingkungan sekitar.

PLTA Bengkok ini memanfaatkan aliran sungai Cikapundung untuk menggerakkan tiga turbin. Listrik yang dihasilkan dialirkan ke gardu induk Cikapundung untuk memenuhi kebutuhan listrik di wilayah Bandung Utara dan Lembang.

PLTA Bengkok berada di wilayah kerja Unit Pembangkitan Saguling PT Indonesia Power. Masih beroperasi sampai sekarang dan dirawat dengan baik.

Bandung Terang Karena Listrik PLTA Bengkok
Dijuluki Paris Van Java

Semakin tua sebuah bangunan berdiri, semakin tinggi nilai sejarahnya. Begitu pun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bengkok, di Bandung, Jawa Barat. Berdiri di tahun 1923, PLTA yang didirikan era kolonial Belanda itu menarik wisatawan dalam hingga luar negeri.

General Manajer Unit Bisnis Pembangkitan PLTA Saguling PT. Indonesia Power Del Eviondra mengatakan, para wisatawan asing kerap datang untuk mempelajari mengapa PLTA berusia lebih 90 tahun ini masih berfungsi. Termasuk, melihat arsitektur gaya klasik yang menjadi bangunan PLTA.

“Ada dari Nigeria, Jerman, hingga penjajah Belanda. Bahkan keluarga-keluarga Belanda yang ada ikatan dengan PLTA ini sering datang. Dan senang melihat PLTA buatan moyangnya itu masih bisa berfungsi,” ujar Del Eviondra.

Eviondra mengungkapkan untuk wisatawan asing lebih fokus melihat bagaimana alat-alat yang konvensional, dapat berfungsi dengan baik tidak kalah dengan PLTA termoderinasasi.

Bahkan, lanjutnya, banyak wisatawan asing menyampaikan kalau mesin konvensional itu lebih handal dibandingkan alat baru yang menggunakan sistem digital.

Wisatawan lokal juga kerap berkunjung ke pembangkit ini. Biasanya, mereka siswa sekolah-sekolah di Jawa Barat. Tujuannya untuk mengenal sistem kerja pembangkit listrik tenaga air.

Iwan Sukama, Supervisor Operasi dan Pemeliharaan PLTA Bengkok menyatakan sejarah pembangkit ini bisa dijelaskan dengan mudah. Ia kagum dengan Belanda yang membangun pembangkit ini.

Sejak 1923, Belanda sudah menikmati listrik di Bandung. Untuk menghasilkan aliran listrik, PLTA yang kini sebagian daerahnya masuk kawasan kota Bandung ini memanfaatkan aliran air dari mata air Sungai Cikapundung yang mengalir dari kawasan Lembang.

PLTA Bengkok ketika itu menjadi penyuplai listrik satu-satunya bagi kawasan Bandung dan sekitarnya. Dari PLTA inilah cerita Bandung dengan julukan Paris Van Java berawal. Sebab, kala itu selain dikenal berhawa sejuk dengan hamparan hijau perkebunan teh, Bandung pun sudah memiliki kota yang terang berderang seperti halnya di Paris.

“Dulu setelah diolah di sini (PLTA Bengkok), listrik langsung dialirkan ke Kota Bandung. Tapi masih terbatas untuk keperluan orang-orang Belanda sendiri dan kaum bangsawan,” katanya sembari mengatakan belum mengetahui pasti mengapa PLTA itu dinamai PLTA Bengkok.

“Mungkin karena kultur tanah di daerah sini Bengkok, dan kemudian daerah ini dinamai Bengkok,” tambahnya.

Putaran Turbin Dihentikan Pakai Balok Kayu


Tiga turbin menjadi nyawa Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bengkok, Bandung, Jawa Barat. Usianya sama tua dengan bangunan pembangkit ini. Dibuat tahun 1923 kini usianya sudah 90 tahun.

Dua turbin setelah mengalami pergantian sejumlah komponen, sehingga masih bisa bekerja dengan baik.

Menurut Taufik, operator di pembangkit ini, tak banyak perubahan terhadap turbin buatan zaman Belanda itu. Penambahan hanya rem hidrolik untuk menghentikan putaran turbin. “Turbin satu dan dua tinggal tarik tuas langsung berhenti. Nah yang ke tiga harus dipaksa,” jelasnya.

Bagaimana menghentikan putaran turbin ketiga? Caranya masih manual. Yakni dengan mengganjal dengan balok kayu.

Turbin dihentikan jika akan dilakukan pembersihkan pipa aliran air. Maupun ketika sampah menghambat putaran turbin. Kata Taufik, semakin banyak yang sampah yang terbawa masuk ke pembangkit. Kualitas air pun makin menurun  Air yang dipasok dari sungai Cikapudung—yang berhulu di sungai Citarumitu—makin keruh.

Meski begitu, tiga turbin masih bisa menghasilkan listrik masing-masing 1,05 megawatt (MW) per jam. Lantaran masih berfungsi baik, belum perlu mengganti turbin lama dengan yang lebih modern.

“Selain (turbin) masih bagus, pertimbangannya sekarang PLTA Bengkok terbilang PLTA kecil, jadi tidak perlu ada penggantian. Hanya perbaikan-perbaikan kecil saja,” katanya.

Bagi mesin turbin dan generator buatan Belanda tersebut, sampah adalah musuh terbesar. Sampah yang terbawa ke pembangkit bisa menyebabkan kerja turbin makin berat. Suaranya pun makin bising. Putaran turbin makin berat, listrik yang dihasilkannya juga makin sedikit.

“Bangunan dan mesin, semuanya masih asli peninggalan Belanda. Belum ada yang diganti, paling hanya rekondisi atau diperbaiki,” pungkasnya.

General Manager Unit Bisnis Pembangkit PLTA Saguling PT Indonesia Power, Del Eviondra mengungkapkan pasokan listrik dari sejumlah PLTA ke Bandung dan Jawa BArat semakin berkurang. Penyebabnya, menurunkan aliran dan kualitas air.

“Kualitas air sungai Citarum dari waktu ke waktu makin buruk atau mendapat golongan D. Per tiga bulan, Penyebab utamanya limbah industri, limbah batu bara dan limbah rumah tangga yang sering dibuang ke sungai Citarum,” jelasnya.

Data pencemaran air ini diperkuat hasil laboratorium dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung. “ Unpad pernah melakukan pemeriksaan di laboratorium mereka, bahwa tingkat air di sungai Citarum sudah sangat tidak layak lagi dikonsumsi,” katanya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA