Mulai Senin kemarin, Komisi Yudisial (KY) melakukan seleksi wawancara terhadap 19 calon hakim agung hakim. Hari pertama diikuti lima calon. Semuanya hakim karier.
Mereka yakni Cicut Sutiarso (DirÂjen Badilum MA), Hamdi (Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi YogÂyakarta), Yakup Ginting (HaÂkim Tinggi PT Sulawesi Selatan), Anton Saragih (Kadilmilti II JaÂkarta), dan Chairil Anwar (Hakim Tinggi PT Jakarta.
Waktu menunjukkan pukul 13.25 WIB. Anthon R Saragih meÂnunggu ruang tamu di lantai empat gedung KY. Berulang kali dia melirik jam yang melingkar di lengan kirinya. Wajahnya tamÂpak pucat.
Teh manis hangat yang diseÂdiakan untuknya diseruput. TerÂsisa setengah. Menunggu dipangÂgil ke auditorium untuk diwaÂwanÂÂcarai, mulut Kepala PerÂadilÂan Militer Tinggi Jakarta itu terÂlihat melafalkan sesuatu. “Ingin menenangkan diri seÂbelum masuk ke dalam (auÂditoÂrium),†kata pria berkumis ini.
Anthon yang berpangkat koÂlonel ini mengaku sudah memÂperÂsiapkan diri sejak Minggu keÂmarin. Ia melahap buku-buku huÂkum sampai terlelap lewat teÂngah malam. Ternyata itu tak juga mampu meredam rasa tegang diriÂnya. “Dari pagi hingga sekaÂrang saya masih tegang,†katanya.
Ia merasa lebih mudah menyiÂdangÂkan perkara di pengadilan militer ketimbang di pengadilan umum. “Kalau di militer terdakÂwanya biasanya jujur dan meÂngÂakui perbuatannya. Tapi kalau di (pengadilan) umum terdakwanya selalu berkelit,†katanya.
Tepat pukul pukul 13.30 WIB, seorang petugas memanggil AnÂton untuk masuk ke auditorium. Ia duduk di tengah, menghadap meja panelis yang terdiri dari semÂbilan orang. Tujuh komiÂsioÂner KY. Dua lainnya akademisi Saldi Isra dan eks hakim agung DjoÂhansyah.
Ketua KY Eman Suparman membuka pembicaraan. “Bapak siap mengikuti tes wawancara?†tanya.
“Siap pak,†jawab Anton sigap.
Eman lantas mempersilakan Djohansyah memberi pertanyaan kepada Anton pertama kali. “Putusan hakim agung kadang dicaci maki. Bagaimana sikap saudara bila menjadi hakim agung?†tanya Djohansyah.
Anton menjawab siap menjadi hakim agung dengan segala konÂsekuensinya. Tak takut keÂputusan yang diambilnya dicaci maki masyarakat.
Sepuluh menit mencecar AnÂton, kini giliran panelis selanÂjutnya Saldi Isra. Ia bertanya lebih ke soal teori. Misalnya perÂbedaan vonis hakim dengan yuÂrisprudensi. Juga soal kandungan dalam sebuah putusan.
Puas dengan jawaban Anton, paÂnelis berikutnya Abbas Said berÂtanya soal lama hukuman yang bisa menyebabkan seseÂorang dipecat dari dinas militer dengan tidak hormat. “Biasanya tiÂga bulan ke atas baru bisa dilakukan pemecatan dengan tidak hormat,†jawab Anton.
Pertanyaan selanjutnya dilonÂtarÂkan Imam Ansori Saleh. Ia berÂtanya soal pribadi Anton. “Apa motivasi anda menjadi hakim agung,†tanya komisioner KY itu.
“Saya menjadi calon hakim agung karena didaftarkan. Untuk saya harus siap mengikuti seleksi ini sampai akhir,†jawab Anton.
“Karena Bapak background-nya militer coba sebutkan dua benÂtuk pertanggungjawaban kejaÂhatan perang dan kemaÂnusiaÂan?†tanya Komisoner KY, IbraÂhim.
Mendengar pertanyaan terseÂbut, Anthon berdiam sejenak. Ia keÂmudian mencoba menjawab. Ucapannya pendek. “Itu tangÂgungjawab komando,†kata dia,
Giliran Komisioner KY SuÂparman Marzuki. “Apakah sauÂdara selama menjadi hakim perÂnah menerima hadiah?†tanyanya.
Di hadapan panelis, Anton mengaku dirinya bersih. Tidak pernah menerima sogokan dari pihak berperkara. Tak lama dia meralat jawabannya. Ia mengaku pernah menerima rokok dan nasi kotak. Para panelis pun mengÂgelengkan kepala.
“Waktu itu orang satu RW atau RT datang ke rumah saya bawa uang. Saya tolak. Akhirnya saya minÂta rokok dan mereka memÂbelikan nasi bungkus untuk anak buah saya 27 orang. Khusus saya nasi kotak. Mereka rakyat biasa bukan militer. Kasusnya saya lupa,†tutur Anton.
Mendengar pengakuan itu, Suparman Marzuki terkejut. “JaÂdi Bapak terimanya rokok dan nasi kotak? Kalau uangnya tidak ya Pak?†tanya Suparman.
Anthon beralasan menerima nasi kotak dan rokok karena tak ingin membuat pihak yang berÂperkara tersinggung. â€Itu masih dalam batas kewajaran, dan seÂmua menikmati. Mereka bilang teÂrima jangan sampai mereka terÂsinggung,†tuturnya.
Ketua KY Ceramahi Hakim Tinggi
Anthon mengikuti seleksi sesi dua yang berlangsung siang sampai sore. Sesi pertama mulai dari pagi sampai siang. Hamdi, Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Yogyakarta ikut sesi perÂtama.
Puluhan tahun jadi hakim tak membuatnya bisa menjawab perÂtanyaan yang berhubungan deÂngan hukum. Pria yang meÂniti karier sebagai hakim mulai 1986 itu tak bisa menjelaskan meÂngenai concurring opinion. Ia malah menjelaskan soal disÂsenÂting opinion (beda pendapat).
“Kapan concurring opinion bisa digunakan?†tanya panelis Saldi Isra.
Lantas Hamdi pun menjawab concurring opinion bisa dilaÂkuÂkan apabila majelis hakim tidak bisa memberikan keputusan yang sama.
Mendengar jawaban itu, Saldi nampak geleng-geleng. “Itu namanya dissenting opinion Pak,†ucap Saldi. Ia lalu menÂjeÂlaskan apa yang dimaksud conÂcurÂring opinion. Yakni bila anggota majelis hakim memiliki keputusan yang sama tapi alaÂsan pertimbangannya berbeda.
Selain soal istilah hukum, HamÂdi ditanya soal harta kekaÂyaan pribadi dan motivasi menÂjadi hakim agung. Hamdi ingin menjadi hakim agung agar punya kebanggaan diri. Juga unÂtuk melakukan perubahan di lembaga peradilan. “Saya orang yang sederhana,†akunya.
Komisioner KY Imam Ansori Saleh menyambar. “Berapa kenÂÂdaraan yang Saudara miliÂki?â€
Hamdi mengaku mobilnya maÂsih kredit. “Kendaraan terÂakhir masih kredit. Pertama Honda City (cicilannya) 4 juta per bulan. Satu lagi 2,5 juta per bulan cicilannya,†jelasnya.
Pertanyaan terakhir dilonÂtarÂkan Ketua KY Erman SuparÂman. “Apakah saudara setuju ultra petita?†Ultra petita adalah isÂtilah hukum yang aritnya guÂgatan yang melebihi hal yang dituntut.
“Saya tidak setuju mengaÂbulÂkan ultra petita, karena memang undang-undang melarang haÂkim menjatuhkan putusan ultra peÂtita, ini diatur dalam HIR,†jawab Hamdi. HIR yang dimakÂsudnya adalah Hierziene InÂlands Reglement atau Kitab UnÂdang-undang Hukum Acara Perdata.
Mendengar jawaban itu, Eman mengingatkan Hamdi, dalam menjalankan tugas seÂbagai hakim agung tidak haÂnya sebagai corong undang-undang tetapi lebih memenÂtingkan keÂadilan masyarakat. Ia meÂnambahkan, HIR itu merupakan produk Belanda. Tidak wajib untuk menjadi dasar memuÂtuskan perkara pada saat ini.
Eman mencontohkan putusan yang dibuat mantan hakim agung Prof Asikin Kusumah AtÂmadja (alm) pernah mengaÂbulkan gugatan ultra petita dalam perkara sengketa tanah di KeÂdung Ombo terkait peruÂbahan harga tanah.
“Kalau ultra petita dilarang akan menimbulkan ketidakÂadilÂan masyarakat Kedung Ombo, karena harga tanah Rp 1.000 per meter tetap dihargai segitu. PaÂdahal 10 tahun kemudian harga tanah sudah naik 20 kali lipat, Rp20 ribu. Semestinya, dalam kasus ini ultra petita dibolehkan demi keadilan dan kemanfaatan masyarakat Kedung Ombo,†jelasnya.
Karena itu, lanjut Eman, para hakim dituntut memberikan keaÂdilan substansial kepada maÂsyarakat pencari keadilan. Tidak hanya terkesan sebagai corong undang-undang. “Ini beÂkal buat Bapak kalau nanti terpilih sebagai hakim agung. Tolong perhatikan kebutuhan (nilai kemanfaatan) masyarakat agar bisa menjadi hakim progÂresif,†katanya.
Dia juga mengatakan, jika ada hakim yang menjatuhkan putusan ultra petita seperti kaÂsus Kedung Ombo tidak diÂanggap melanggar kode etik dan perilaku. “Bapak tidak akan diÂperiksa dan KY dan MA,†kaÂtanya. [Harian Rakyat Merdeka]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.