Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Bangun Tenda, Masak Pakai Ranting Kering

Petani Jambi Demo Di Depan Kemenhut

Jumat, 23 November 2012, 08:56 WIB
Bangun Tenda, Masak Pakai Ranting Kering
ilustrasi/ist
rmol news logo .Dua ratus petani jauh-jauh datang dari Jambi ke Jakarta menuntut janji Menteri Kehutanan. Di ibu kota mereka diusir-usir. Tinggal di tenda, mulai terserang penyakit.

Risno mencuci beras di ember plastik merah. Berulang kali war­ga Desa Mekar Jaya, Kabupaten Solangun Jambi itu menuang air dari galon ke ember. Tiga kali di­bi­las, beras pun bersih. Siap dinanak.

Pria yang mengenakan kemeja biru laut itu lalu mengambil ba­tang dan ranting pohon. Kayu ba­kar itu ditaruh di tengah dudukan tempat memasak. Dudukan itu dari batu bata yang ditumpuk.

Dengan sobekan kertas yang disulut korek, Risno mencoba membuat api untuk memasak. Se­telah beberapa kali diusut, batang dan ranting pohon mulai mem­bara. Asapnya mengebul me­ner­pa wajahnya. Beras di panci besar siap dimasak.

 Aktivitas dapur umum ini di­lakukan Risno dan warga Mekar Jaya lainnya di bawah tenda ter­pal. Mereka bukan sedang cam­ping. Tapi lagi berdemonstrasi di Jakarta. Tenda untuk tempat me­reka berteduh dibangun di ja­lur hi­jau di depan gerbang Ke­men­te­rian Kehutanan, Senayan.

“Saya sedang masak nasi untuk makan malam kami. Saya keba­gian untuk masak nasi. Kalau ibu-ibu yang lain mendapat tugas me­masak sayur dan lauk-pauknya,” tutur pria berkulit gelap itu ketika ditemui kemarin.

Untuk makan malam, Risno menyiapkan menu nasi, sayur ba­yam dan tempe goreng. “Bayam baru saja kami petik dari ping­giran rel sana. Lumayan banyak cukup untuk makan yang tinggal di tenda sini,” kata Risno sambil menunjuk rel kereta dekat Stasiun Palmerah.

Ratusan petani yang mem­ba­ngun tenda di depan Kemen­terian Kehutanan ini berasal dari tiga desa. Selain dari Desa Mekarjaya, mereka juga berasal dari Desa Ku­nangan II dan Suku Anak Da­lam, Kabupaten Batanghari, Jambi.

Kedatangan mereka ke Jakarta untuk menuntut Menteri Kehu­tanan Zulkifli Hasan me­rea­li­sa­si­kan hak tanah adat 8.000 hektar di Kunangan Jaya II dan 3.482 hek­tar di Mekar Jaya dan Suku Anak Dalam. Para petani itu su­dah enam hari tinggal di ibu kota.

“Tahun lalu, pihak Kemenhut menjanjikan untuk memenuhi tuntutan kami dan sudah ada ke­se­pakatan. Tapi lebih dari se­ta­hun, ternyata belum juga ada titik te­rang. Makanya kami ke sini un­tuk tagih janjinya,” kata Ma­war­di, koordinator pengunjuk rasa.

Walaupun memperjuangkan tuntutan yang sama, ketiga warga desa membangun dapur umum­nya sendiri-sendiri. Dapur umum warga Mekar Jaya di belakang. Suku Anak Dalam di tengah. Se­dangkan Kunangan II di depan tenda.

Dari mana bahan makannya?

“Saat berangkat dari kampung, kami membawa hasil panen. Ada beras, singkong, ubi, nangka, pi­sang dan jagung. Tapi sekarang, stok kami sudah menipis,” kata Risno. Padahal, dia dan kawan-ka­­wan bertekad bertahan di Ja­kar­ta sampai tuntutan dikabulkan.

Di depan tenda ada tumpukan ubi, singkong, nangka dan pi­sang. Hasil kebun itu bercampur dengan batang dan ranting pohon untuk kayu bakar.

Stok beras habis dalam dua hari. Bukan habis dimakan, tapi dibuang. “Lagi di Tanah Merah sana, tiba-tiba hujan deras dan banjir. Dua karung beras yang kami bawa terendam air. Tidak bisa dimakan,” tuturnya.

Para petani Jambi itu me­nginjakkan kaki di Jakarta Sabtu pekan lalu. Mereka lalu memba­ngun tenda di Lapangan Tanah Me­rah di Bendungan Hilir, Ja­karta Pusat. Tak lama hujan deras mengguyur kawasan itu.

“Alas tidur kami dari tiker, kardus dan tenda terpal terendam air. Kasihan anak-anak kalau t­e­rus bertahan di sana,” jelas Fitria, warga Desa Kunangan II. Di antara petani yang datang ke Ja­karta terdapat 26 perempuan dan sembilan anak-anak.

Setelah kebanjiran warga tiga desa itu bergeser di depan gedung DPR/MPR, Jalan Gatot Subroto, Senayan. Mereka kembali mem­bangun tenda. Tapi baru semalam menginap di sini, mereka diusir petugas Satpol PP DKI Jakarta dan Pengamanan Dalam (Pam­dal) DPR. Tenda mereka di­bongkar paksa.

Kalah kuat, mereka angkat kaki dari depan DPR. “Kami diusir tanpa belas kasihan. Tenda kami di bongkar. Sarapan pagi yang sudah kami masak dibuang,” tutur Fitria sedih. Beberapa bahan makan yang dibawa dari kam­pung juga dirampas.

Akhir para petani memilih ber­mukim di lahan kosong di de­pan gerbang Kementerian Ke­hu­ta­nan. Lahan kosong itu sebe­nar­nya jalur hijau. Posisinya di­apit dua jalan raya dari arah Pe­jom­bo­ngan dan Gatot Subroto menu­ju Permata Hijau.

Dengan tiang-tiang dari bambu bekas, para petani membantu tempat tinggal. Atapnya dari ten­da terpal biru. Dindingnya dari kain spanduk. Di dalam tenda inilah mereka memasak, makan dan tidur. Hampir sepekan di Ja­karta, bekal uang yang mereka bawa mulai menipis.

“Beruntung ada orang yang dengan suka rela memberikan kami sumbangan. Ada yang kasih mie instan, sembako, telor dan uang dari orang yang berbeda-beda. Semuanya kami bagi rata untuk tiga desa,” ujar Risno.

Walaupun bertekad tinggal di ibu kota sampai tuntutan dika­bulkan, Risno kerap teringat istri dan anaknya di kampung. “Ka­sihan juga dengan istri dan anak-anak di kampung sana. Kalau kelamaan di sini, makan apa nanti mereka. Sebab saya sebagai ke­pala keluarga masih berjuang di sini,” ujar Risno dengan tatapan me­nerawang.

Mandi Dan Cuci Pakaian Di Toilet Stasiun Palmerah

Hujan mulai sering mengguyur Jakarta. Tinggal di bawah tenda se­adanya, para petani dari tiga desa di Jambi kerap menahan dingin dan basah-basahan terkena percikan air hujan. Beberapa di antara mereka terserang penyakit.

“Sudah ada empat orang yang terkena demam dan buang-buang air. Tapi bukan dari anak-anak, se­muanya dari kalangan orang tua,” jelas Mawardi, koor­di­na­tor aksi.

Mereka yang sakit hanya di­obati ala kadarnya. Mereka di­min­ta minum obat yang dibeli di warung. “Tidak ada stok obat-oba­tan. Kami juga tidak mem­bawa ke dokter. Hanya obat wa­rung saja. Mudah-mudahan sem­buh,” harapnya.

Dalam rombongan petani yang berdemonstrasi di Jakarta ter­da­pat sembilan anak-anak. “Yang kami khawatirkan ini adalah kon­disi anak-anak,” kata Mawardi.  

Eva, warga Desan Kunangan II datang ke Jakarta bersama anak perempuan Peni. Usia anaknya dua tahun. “Saya hanya berdua saja dari kampung. Suami dan dua anak saya yang lain, memilih menjaga rumah,” tuturnya.

Ia mulai mengkhawatirkan anakn­ya bakal terserang sakit lantaran tinggal di tenda. “Kalau malam udaranya dingin sekali. Belum lagi nyamuknya banyak. Se­tiap malam, anak saya tidak nyaman tidurnya. Saya khawatir nanti dia jatuh sakit,” ucap Eva.

“Belum lagi soal kebersihan (ten­da). Maklum kami masak, main, dan tidur disini. Mandi dan cuci baju sekadar saja,” tambahnya.

Selama nginap di depan Ke­men­terian Kehutanan, untuk man­di dan cuci pakaian, Eva me­numpang di WC Umum di Sta­siun Palmerah. Ia pun harus ber­gi­liran menggunakan toilet itu.

“Paling mandi hanya sekali saja dalam sehari. Selain agak jauh dari tenda. Setiap kali mandi, kami juga harus bayar,” tuturnya.

Tanah Suku Anak Dalam Dicaplok Perusahaan

Kenapa ratusan warga tiga desa di Jambi nginap berhari-hari di depan Kementerian Ke­hutanan? Menurut Ketua Ko­mite Pimpinan Wilayah (KPW) Jambi, Mawardi, kedatangan mereka ke Jakarta merupakan puncak perjuangan menuntut tanah mereka yang dicaplok perusahaan.

“Luas tanah ulayat milik Suku Anak Dalam sekitar 3.550 hektar atau 527 KK (kepala keluarga). Kunangan Jaya II 8.000 hektar 1020 KK dan Mekar Jaya 3.482 hektar 620 KK,” ungkap Mawardi yang juga Koordinator aksi ini.

Pada 2009 lalu, tiga perusa­haan mengusir petani warga Desa Kunangan Jaya II dan Me­kar Jaya dari tanah yang sudah mereka tempati bertahun-tahun. Ketiga perusahaan mengklaim tanah yang ditempati warga milik mereka.

Tanah yang ditempati Suku Anak Dalam juga ikut dikalim. Warga tiga desa itu pun mem­per­tahankan hak mereka ke Ba­dan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Jambi maupun Pusat.

Sengketa lahan ini bermulai ketika PT BDU datang pada 1986-1987.  Sebelum perusa­ha­an yang kini berganti jadi PT ATP itu datang, Menteri Ke­hu­ta­nan saat itu menyatakan di la­han yang dikuasai perusahaan ada pemukiman warga dan kawasan hutan. Kawasan hutan itu rencananya mau dilepaskan.

“Tapi waktu perusahaan ma­suk, tidak pedulikan ucapan Men­hut, langsung usir. Saat itu perusa­haan pakai aparat untuk meng­gusur warga,” tutur Mawardi.

Berbagai upaya sudah dilaku­kan warga di tiga desa ini untuk memperjuangkan hak-haknya. Selama memperjuangkan hak­nya, mereka kerap diintimidasi dan mengalami tindak ke­ke­ra­san dari orang tak dikenal.

Tahun lalu, warga pun men­da­tangi Kementerian Kehut­a­nan untuk mengadukan nasib me­reka. Dalam pertemuan yang dihadiri Sekjen Kementerian Ke­hutanan Hadi Daryanto, di­sepakati beberapa hal.

Kementerian Kehutanan se­tuju melakukan enclave ter­ha­dap lahan petani Mekar Jaya (Sorolangun) seluas 3.482 hektar dan lahan petani Kuna­ngan Jaya II (Batanghari) seluas 8.000 hektar.

Kementerian lalu me­nu­gas­kan kepala Badan Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah II untuk segera ber­koor­dinasi dengan Bupati Soro­langun dan Bupati Batanghari mengenai tata batas konsesi tiga perusahaan.

Kementerian juga menu­gas­kan kepala Balai Pemantauan Pemanfaatkan Hutan Produksi (BP2HP) Wilayah IV Jambi melakukan pengecekan ke la­pa­ngan terhadap ketiga perusa­ha­an yang mendapat konsesi.

Saat kembali ke Jambi, dila­ku­kan pemetaan yang me­ngi­kutsertakan pemerintah daerah, perusahaan dan warga tiga desa. Pada Agustus 2012, warga menyerahkan data peta dan inventarisasi penduduk ke Kemenhut.

Anehnya, kata Mawardi, saat pertemuan Senin lalu pihak Ke­menhut menganggap perte­mu­an di kementerian ini tahun lalu ilegal. “Kalau itu ilegal berarti yang hadir juga ilegal?”  kata dia heran.

“Makanya kami akan ber­tahan disini sampai SK Enclave Kemenhut dikeluarkan. Percu­ma kami kembali ke Jambi. Ka­rena teror masih saja mengan­cam,”  tegasnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA