Risno mencuci beras di ember plastik merah. Berulang kali warÂga Desa Mekar Jaya, Kabupaten Solangun Jambi itu menuang air dari galon ke ember. Tiga kali diÂbiÂlas, beras pun bersih. Siap dinanak.
Pria yang mengenakan kemeja biru laut itu lalu mengambil baÂtang dan ranting pohon. Kayu baÂkar itu ditaruh di tengah dudukan tempat memasak. Dudukan itu dari batu bata yang ditumpuk.
Dengan sobekan kertas yang disulut korek, Risno mencoba membuat api untuk memasak. SeÂtelah beberapa kali diusut, batang dan ranting pohon mulai memÂbara. Asapnya mengebul meÂnerÂpa wajahnya. Beras di panci besar siap dimasak.
Aktivitas dapur umum ini diÂlakukan Risno dan warga Mekar Jaya lainnya di bawah tenda terÂpal. Mereka bukan sedang camÂping. Tapi lagi berdemonstrasi di Jakarta. Tenda untuk tempat meÂreka berteduh dibangun di jaÂlur hiÂjau di depan gerbang KeÂmenÂteÂrian Kehutanan, Senayan.
“Saya sedang masak nasi untuk makan malam kami. Saya kebaÂgian untuk masak nasi. Kalau ibu-ibu yang lain mendapat tugas meÂmasak sayur dan lauk-pauknya,†tutur pria berkulit gelap itu ketika ditemui kemarin.
Untuk makan malam, Risno menyiapkan menu nasi, sayur baÂyam dan tempe goreng. “Bayam baru saja kami petik dari pingÂgiran rel sana. Lumayan banyak cukup untuk makan yang tinggal di tenda sini,†kata Risno sambil menunjuk rel kereta dekat Stasiun Palmerah.
Ratusan petani yang memÂbaÂngun tenda di depan KemenÂterian Kehutanan ini berasal dari tiga desa. Selain dari Desa Mekarjaya, mereka juga berasal dari Desa KuÂnangan II dan Suku Anak DaÂlam, Kabupaten Batanghari, Jambi.
Kedatangan mereka ke Jakarta untuk menuntut Menteri KehuÂtanan Zulkifli Hasan meÂreaÂliÂsaÂsiÂkan hak tanah adat 8.000 hektar di Kunangan Jaya II dan 3.482 hekÂtar di Mekar Jaya dan Suku Anak Dalam. Para petani itu suÂdah enam hari tinggal di ibu kota.
“Tahun lalu, pihak Kemenhut menjanjikan untuk memenuhi tuntutan kami dan sudah ada keÂseÂpakatan. Tapi lebih dari seÂtaÂhun, ternyata belum juga ada titik teÂrang. Makanya kami ke sini unÂtuk tagih janjinya,†kata MaÂwarÂdi, koordinator pengunjuk rasa.
Walaupun memperjuangkan tuntutan yang sama, ketiga warga desa membangun dapur umumÂnya sendiri-sendiri. Dapur umum warga Mekar Jaya di belakang. Suku Anak Dalam di tengah. SeÂdangkan Kunangan II di depan tenda.
Dari mana bahan makannya?
“Saat berangkat dari kampung, kami membawa hasil panen. Ada beras, singkong, ubi, nangka, piÂsang dan jagung. Tapi sekarang, stok kami sudah menipis,†kata Risno. Padahal, dia dan kawan-kaÂÂwan bertekad bertahan di JaÂkarÂta sampai tuntutan dikabulkan.
Di depan tenda ada tumpukan ubi, singkong, nangka dan piÂsang. Hasil kebun itu bercampur dengan batang dan ranting pohon untuk kayu bakar.
Stok beras habis dalam dua hari. Bukan habis dimakan, tapi dibuang. “Lagi di Tanah Merah sana, tiba-tiba hujan deras dan banjir. Dua karung beras yang kami bawa terendam air. Tidak bisa dimakan,†tuturnya.
Para petani Jambi itu meÂnginjakkan kaki di Jakarta Sabtu pekan lalu. Mereka lalu membaÂngun tenda di Lapangan Tanah MeÂrah di Bendungan Hilir, JaÂkarta Pusat. Tak lama hujan deras mengguyur kawasan itu.
“Alas tidur kami dari tiker, kardus dan tenda terpal terendam air. Kasihan anak-anak kalau tÂeÂrus bertahan di sana,†jelas Fitria, warga Desa Kunangan II. Di antara petani yang datang ke JaÂkarta terdapat 26 perempuan dan sembilan anak-anak.
Setelah kebanjiran warga tiga desa itu bergeser di depan gedung DPR/MPR, Jalan Gatot Subroto, Senayan. Mereka kembali memÂbangun tenda. Tapi baru semalam menginap di sini, mereka diusir petugas Satpol PP DKI Jakarta dan Pengamanan Dalam (PamÂdal) DPR. Tenda mereka diÂbongkar paksa.
Kalah kuat, mereka angkat kaki dari depan DPR. “Kami diusir tanpa belas kasihan. Tenda kami di bongkar. Sarapan pagi yang sudah kami masak dibuang,†tutur Fitria sedih. Beberapa bahan makan yang dibawa dari kamÂpung juga dirampas.
Akhir para petani memilih berÂmukim di lahan kosong di deÂpan gerbang Kementerian KeÂhuÂtaÂnan. Lahan kosong itu sebeÂnarÂnya jalur hijau. Posisinya diÂapit dua jalan raya dari arah PeÂjomÂboÂngan dan Gatot Subroto menuÂju Permata Hijau.
Dengan tiang-tiang dari bambu bekas, para petani membantu tempat tinggal. Atapnya dari tenÂda terpal biru. Dindingnya dari kain spanduk. Di dalam tenda inilah mereka memasak, makan dan tidur. Hampir sepekan di JaÂkarta, bekal uang yang mereka bawa mulai menipis.
“Beruntung ada orang yang dengan suka rela memberikan kami sumbangan. Ada yang kasih mie instan, sembako, telor dan uang dari orang yang berbeda-beda. Semuanya kami bagi rata untuk tiga desa,†ujar Risno.
Walaupun bertekad tinggal di ibu kota sampai tuntutan dikaÂbulkan, Risno kerap teringat istri dan anaknya di kampung. “KaÂsihan juga dengan istri dan anak-anak di kampung sana. Kalau kelamaan di sini, makan apa nanti mereka. Sebab saya sebagai keÂpala keluarga masih berjuang di sini,†ujar Risno dengan tatapan meÂnerawang.
Mandi Dan Cuci Pakaian Di Toilet Stasiun Palmerah
Hujan mulai sering mengguyur Jakarta. Tinggal di bawah tenda seÂadanya, para petani dari tiga desa di Jambi kerap menahan dingin dan basah-basahan terkena percikan air hujan. Beberapa di antara mereka terserang penyakit.
“Sudah ada empat orang yang terkena demam dan buang-buang air. Tapi bukan dari anak-anak, seÂmuanya dari kalangan orang tua,†jelas Mawardi, koorÂdiÂnaÂtor aksi.
Mereka yang sakit hanya diÂobati ala kadarnya. Mereka diÂminÂta minum obat yang dibeli di warung. “Tidak ada stok obat-obaÂtan. Kami juga tidak memÂbawa ke dokter. Hanya obat waÂrung saja. Mudah-mudahan semÂbuh,†harapnya.
Dalam rombongan petani yang berdemonstrasi di Jakarta terÂdaÂpat sembilan anak-anak. “Yang kami khawatirkan ini adalah konÂdisi anak-anak,†kata Mawardi.
Eva, warga Desan Kunangan II datang ke Jakarta bersama anak perempuan Peni. Usia anaknya dua tahun. “Saya hanya berdua saja dari kampung. Suami dan dua anak saya yang lain, memilih menjaga rumah,†tuturnya.
Ia mulai mengkhawatirkan anaknÂya bakal terserang sakit lantaran tinggal di tenda. “Kalau malam udaranya dingin sekali. Belum lagi nyamuknya banyak. SeÂtiap malam, anak saya tidak nyaman tidurnya. Saya khawatir nanti dia jatuh sakit,†ucap Eva.
“Belum lagi soal kebersihan (tenÂda). Maklum kami masak, main, dan tidur disini. Mandi dan cuci baju sekadar saja,†tambahnya.
Selama nginap di depan KeÂmenÂterian Kehutanan, untuk manÂdi dan cuci pakaian, Eva meÂnumpang di WC Umum di StaÂsiun Palmerah. Ia pun harus berÂgiÂliran menggunakan toilet itu.
“Paling mandi hanya sekali saja dalam sehari. Selain agak jauh dari tenda. Setiap kali mandi, kami juga harus bayar,†tuturnya.
Tanah Suku Anak Dalam Dicaplok Perusahaan
Kenapa ratusan warga tiga desa di Jambi nginap berhari-hari di depan Kementerian KeÂhutanan? Menurut Ketua KoÂmite Pimpinan Wilayah (KPW) Jambi, Mawardi, kedatangan mereka ke Jakarta merupakan puncak perjuangan menuntut tanah mereka yang dicaplok perusahaan.
“Luas tanah ulayat milik Suku Anak Dalam sekitar 3.550 hektar atau 527 KK (kepala keluarga). Kunangan Jaya II 8.000 hektar 1020 KK dan Mekar Jaya 3.482 hektar 620 KK,†ungkap Mawardi yang juga Koordinator aksi ini.
Pada 2009 lalu, tiga perusaÂhaan mengusir petani warga Desa Kunangan Jaya II dan MeÂkar Jaya dari tanah yang sudah mereka tempati bertahun-tahun. Ketiga perusahaan mengklaim tanah yang ditempati warga milik mereka.
Tanah yang ditempati Suku Anak Dalam juga ikut dikalim. Warga tiga desa itu pun memÂperÂtahankan hak mereka ke BaÂdan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Jambi maupun Pusat.
Sengketa lahan ini bermulai ketika PT BDU datang pada 1986-1987. Sebelum perusaÂhaÂan yang kini berganti jadi PT ATP itu datang, Menteri KeÂhuÂtaÂnan saat itu menyatakan di laÂhan yang dikuasai perusahaan ada pemukiman warga dan kawasan hutan. Kawasan hutan itu rencananya mau dilepaskan.
“Tapi waktu perusahaan maÂsuk, tidak pedulikan ucapan MenÂhut, langsung usir. Saat itu perusaÂhaan pakai aparat untuk mengÂgusur warga,†tutur Mawardi.
Berbagai upaya sudah dilakuÂkan warga di tiga desa ini untuk memperjuangkan hak-haknya. Selama memperjuangkan hakÂnya, mereka kerap diintimidasi dan mengalami tindak keÂkeÂraÂsan dari orang tak dikenal.
Tahun lalu, warga pun menÂdaÂtangi Kementerian KehutÂaÂnan untuk mengadukan nasib meÂreka. Dalam pertemuan yang dihadiri Sekjen Kementerian KeÂhutanan Hadi Daryanto, diÂsepakati beberapa hal.
Kementerian Kehutanan seÂtuju melakukan enclave terÂhaÂdap lahan petani Mekar Jaya (Sorolangun) seluas 3.482 hektar dan lahan petani KunaÂngan Jaya II (Batanghari) seluas 8.000 hektar.
Kementerian lalu meÂnuÂgasÂkan kepala Badan Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah II untuk segera berÂkoorÂdinasi dengan Bupati SoroÂlangun dan Bupati Batanghari mengenai tata batas konsesi tiga perusahaan.
Kementerian juga menuÂgasÂkan kepala Balai Pemantauan Pemanfaatkan Hutan Produksi (BP2HP) Wilayah IV Jambi melakukan pengecekan ke laÂpaÂngan terhadap ketiga perusaÂhaÂan yang mendapat konsesi.
Saat kembali ke Jambi, dilaÂkuÂkan pemetaan yang meÂngiÂkutsertakan pemerintah daerah, perusahaan dan warga tiga desa. Pada Agustus 2012, warga menyerahkan data peta dan inventarisasi penduduk ke Kemenhut.
Anehnya, kata Mawardi, saat pertemuan Senin lalu pihak KeÂmenhut menganggap perteÂmuÂan di kementerian ini tahun lalu ilegal. “Kalau itu ilegal berarti yang hadir juga ilegal?†kata dia heran.
“Makanya kami akan berÂtahan disini sampai SK Enclave Kemenhut dikeluarkan. PercuÂma kami kembali ke Jambi. KaÂrena teror masih saja menganÂcam,†tegasnya. [Harian Rakyat Merdeka]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.