Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Muzzammil Dititipi Misi Batalkan Revisi UU KPK

Jadi Wakil Ketua Komisi III DPR (Lagi)

Sabtu, 29 September 2012, 08:24 WIB
Muzzammil Dititipi Misi Batalkan Revisi UU KPK
Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

rmol news logo Jam dinding di ruang rapat Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menunjukkan pukul 9 pagi. Tak seperti biasa, Kamis lalu (27/9) ruang rapat yang biasa sepi itu dipenuhi puluhan politisi PKS.

Wajah mereka tampak tegang, menanti pengumuman yang akan menentukan posisi mereka di DPR. Tak berapa lama, Hidayat Nur Wahid, Ketua Fraksi yang baru, memasuki ruang rapat di gedung Nusantara I DPR itu. Ia didampingi Wakil Ke­tua Fraksi Mustafa Kamal.

Ini merupakan rapat fraksi per­tama yang dipimpin Hidayat se­jak resmi jadi ketua fraksi Rabu lalu (26/9). Setelah membuka ra­pat, Hidayat masuk ke agenda utama: mengumumkan rotasi. Bekas ketua MPR itu menyebut satu per satu anggota fraksi yang dipindah komisi.

Nama yang pertama kali di­se­but Hidayat adalah dirinya se­n­diri. Hidayat pindah dari Komisi I ke Komisi VIII. Lalu Yan H­e­ri­zal dari Komisi II ke VI.

Rotasi keanggotaan Komisi itu juga menimpa Nasir Djamil. Dia digeser dari Komisi III ke Komisi VIII. Digantikan Al Muzzammil Yusuf yang sebelumnya duduk di Komisi I. Muzzammil juga akan menempati kursi wakil ketua Ko­misi III yang sebelumnya di­duduki Nasir.

Hidayat juga mengumumkan ro­tasi keanggotaan di alat keleng­kapan DPR. Rotasi itu menimpa Fahri Hamzah dari Badan Ke­hor­matan ke Badan Akuntabilitas Ke­uangan Negara (BAKN). An­sory Siregar ke BK, Mohamad Sohibul Iman ke BKSAP (Badan Ker­ja Sama Antar Parlemen), Zu­ber Safawi menjadi anggota Ba­dan Legislatif. Sementara Herlini dan Nasir ditempatkan di Badan Urusan Rumah Tangga (BURT).

Usai mengumumkan rotasi, Hi­dayat menutup rapat. Anggota Fraksi PKS yang memenuhi rua­ngan rapat itu lalu membubarkan.

Sekilas tidak ada hal yang aneh dari rotasi ini. Namun melihat Nasir Djamil digeser dari Komisi III—yang membidangi masalah hu­kum, rumor pun berkembang. Pergeseran Nasir ini diduga ada kaitan dengan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR, Nasir cukup kencang men­dorong agar undang-undang yang me­ngatur kewenangan KPK direvisi.

Dalam beberapa kesempatan, Nasir melontarkan pendapat per­lunya ada Dewan Pengawas KPK. Sesuai namanya, Dewan itu bertugas mengawasi kinerja lembaga pembasmi korupsi itu.

Ia mengusulkan agar Dewan ini bertanggung jawab kepada DPR. “Kita juga buat Dewan Pe­ngawas ini kuat, dewan pengawas ini berjumlah lima orang. Dewan pengawas ini dari latar belakang polisi, jaksa, LSM korupsi, dan dari jurnalis,” katanya beberapa waktu lalu.

Nasir juga berbicara mengenai kewenangan penyadapan yang di­miliki KPK. Kewenangan ini hendak dibatasi. Untuk bisa me­lakukan penyadapan, KPK harus mengantongi izin dari ketua Pe­ngadilan Negeri.

Namun penyadapan bisa di­la­ku­kan tanpa izin ketua penga­di­lan bila dianggap mendesak. “Te­tapi, soal itu masih akan didalami lagi. Sejauh ini, DPR belum mem­­buat penjelasan rinci tentang kua­lifikasi keadaan mendesak. Nanti kita atur seperti apa keada­an men­desak itu,” katanya.

Nasir menepis tudingan bahwa revisi ini untuk melemahkan KPK. Menurut dia, UU KPK sudah ber­usia 10 tahun. Sudah waktunya diperbaiki. Apalagi, ada sejumlah pasal di undang-undang itu yang sudah dibatalkan MK. Misalnya, Pasal 53 sampai 62 yang me­nga­tur mengenai Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). “Itu kan harus dihapus, selama ini jadi pajangan saja di UU KPK. Jadi pajangan karena sudah diba­tal­kan,” katanya.

Setelah pasal-pasal itu diba­tal­kan, lanjut dia, perlu ada peru­ba­han ataupun penambahan di UU KPK. Nasir mengatakan, di Ko­misi III masih pro dan kontra me­ngenai penambahan peraturan terutama yang berkaitan dengan penyadapan, penuntutan dan pengawasan.

Keinginan Nasir dan anggota Komisi III untuk melakukan re­visi UU KPK ternyata berten­ta­ngan dengan keinginan publik. Se­jumlah tokoh dan organisasi me­nyatakan ketidaksetujuannya ter­hadap revisi ini. Di­kha­wa­tir­kan, revisi ini hanya membuka pin­tu untuk mengamputasi ke­we­nangan KPK.

Menurut Ketua Mah­kamah Kons­titusi (MK) Mahfud MD, UU KPK ini cukup efektif untuk me­mayungi Komisi da­lam menjalankan tu­gas­nya. “Keku­ra­ngan (KPK) mungkin kekura­ngan po­wer. Power dalam arti te­naga SDM-nya kurang ba­­nyak,” kata dia saat da­tang ke KPK bersama bekas ketua umum PBNU Hasyim Muzadi, Se­lasa lalu (25/9). Kedatangan kedua tokoh untuk memberikan duku­ngan agar KPK tetap kuat.

Al Muzzammil Yusuf me­nga­kui rotasi dirinya ke Komisi III ada kaitannya dengan revisi UU KPK. Ia mendapat mandat dari fraksi untuk menolak revisi ini.

“Saya akan kawal keputusan (fraksi) itu saat jadi wakil ketua komisi III DPR,” tandasnya. Me­nurut dia, UU KPK yang ada su­dah cukup kuat memayungi KPK untuk memberantas korupsi.

Di Komisi Hukum Sering Disorot Media

Di PKS, Al Muzzammil Yusuf termasuk salah satu politisi se­nior. Ia juga bukan orang baru di Komisi III DPR. Pada kea­ng­go­taan DPR periode 2004-2009, dia pernah menduduki kursi wakil ke­tua Komisi III selama tiga tahun.

Selama duduk di Komisi Hu­kum ini, jebolan Fakultas Ilmu So­sial dan Ilmu Politik Uni­ver­si­tas Indonesia ini ikut me­ne­lur­kan sejumlah undang-undang.

Di antaranya UU Peradilan Agama, UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana dengan Cina dan UU Ratifikasi Konvensi Antikorupsi.

Ia juga sempat terlibat dalam Pa­nitia Khusus (Pansus) UU Pe­milihan Presiden dan Wakil Pre­siden (Pilpres). Ia mengusulkan agar presiden dan wakil pre­si­den tidak rangkap jabatan de­ngan parpol.

Ini menjadi salah satu syarat saat mencalonkan. Yakni me­nan­datangani kesediaan me­ngun­dur­kan diri dari jabatannya sebagai pimpinan partai politik jika nanti yang bersangkutan terpilih men­jadi presiden/wapres. Calon ha­nya boleh menjadi anggota biasa.

Menurut Muzzammil, tidak perlu takut tidak akan diusung lagi jadi capres/cawapres lantaran tak memegang posisi di partai. Jika prestasinya baik, kata dia, parpolnya tentu akan men­calonkannya lagi.

Muzzammil juga me­nyum­bang­kan pemikiran mengenai ancaman capres yang menerima bantuan dari asing. Menurut dia, sanksinya harus diperberat. Tidak hanya dihukum minimal setahun dan maksimal 6 tahun serta denda minimal Rp 600 juta dan mak­simal Rp 3 miliar.

Sanksinya pembatalan penca­lo­nan jika bantuan asing itu ber­jumlah minimal Rp 500 juta x 456 kabupaten/kota. Jika jumlah­nya kurang dari itu, calon di­wa­jib­kan bayar denda 10 kali lipat dari bantuan asing yang di­t­eri­ma­nya. Denda itu dibayarkan ke negara.

Muzzammil menerima keputu­san fraksinya untuk memin­dah­kan­nya ke Komisi III. “Apa yang menjadi keputusan pimpinan fraksi harus diikuti. Kita tidak boleh membantah,” kata pria berjenggot ini.

 â€œMungkin pimpinan fraksi menilai saya punya pengalaman waktu jadi wakil ketua Komisi III dulu. Jadi sekarang dipercaya lagi,” katanya. Sebelumnya, Muz­zammil pernah tiga tahun menjadi wakil ketua Komisi III.

Ia merasa biasa saja dipindah ke komisi yang membidangi ma­salah hukum ini. Ia pernah duduk di Komisi I dan Komisi II. “Se­mua saja saja karena bidang tu­gasnya berbeda. Namun untuk so­rotan media yang paling ba­nyak di komisi III DPR,” katanya.

Kepindahannya ke Komisi III ini belum akan dilaksanakan da­lam waktu dekat. Melainkan pada awal masa sidang men­datang. “Pertengahan November ini ke­mungkinan pergantiannya. Saat ini saya masih menyelesaikan tugas di Komisi I DPR,” katanya. Saat itu sudah memasuki masa sidang baru.

Pernah Duduki Kursi Ketua Umum PKS

Siapa Al Muzzammil Yusuf? Pria kelahiran Tanjung Karang, Lampung 47 tahun  silam ini me­nempuh pendidikan di FISIP Universitas Indonesia. Selama di kampus ia aktif di lem­baga ke­islaman kampus dan sempat men­jadi ketua musholla FISIP UI.

Lulus kuliah, suami dari Nu­rul Hidayati ini sempat me­ngikuti beberapa kursus  di Pakistan, Mesir dan  Australia.

Tak lama kemudian, ia masuk ke dunia politik. Memilih ber­gabung dengan Partai Keadilan, cikal-bakal PKS. Karier dimulai dengan menjadi Ketua Lem­ba­ga Pemenangan Pemilu.

Ia juga menjadi ketua pendiri PKS April 2002, merangkap ketua umum PKS dan Ketua De­partemen Politik, Pertahanan & Keamanan. Ia memimpin PKS agar lolos verifikasi di Ke­menterian Hukum dan HAM (dulu Departemen Kehakiman dan HAM) jelang 2004. Ter­akhir dipercaya menjadi Wakil Presiden Bidang Eksternal.

Pada tahun 2004, pria enam orang anak ini mencoba per­un­tungannya dan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dari Daerah Pemilihan Lam­pung 1 yang meliputi Kota Ban­dar Lampung, Kabupaten Lam­pung Barat, Kabupaten Lam­pung Selatan, Kabupaten Tang­gamus, Kabupaten Pesawaran, dan Kota Metro.  

Dia terpilih menjadi anggota DPR dan dipercaya menjadi wa­kil ketua Komisi III DPR se­lama tiga tahun.

Pada tahun 2009, ia kembali men­calonkan di dapil yang sama. Ia terpilih kembali men­jadi anggota DPR. Pada awal­nya ia ditempatkan di komisi II DPR, tak berapa lama kemudian dipindahkan ke komisi I DPR dan akhirnya berlabuh kembali ke komisi III DPR. Ia meng­gan­tikan Nasir Djamil yang digeser ke Komisi VIII.

Marak Penolakan, Golkar Mikir-mikir Rombak UU KPK

Setelah maraknya penolakan terhadap revisi UU KPK, fraksi-fraksi di DPR mulai berbalik arah. Mereka pun menyatakan akan menolak revisi ini.

“Fraksi Partai De­mok­rat tidak mendukung pele­mahan KPK. Bahwa fraksi juga mendukung penguatan KPK. Jadi Partai Demokrat tidak me­ngusulkan revisi Undang-un­dang KPK,” kata Ketua Fraksi Partai De­mok­rat, Nurhayati Ali Assegaf.

Wakil Ketua Umum PPP, Luk­man Hakim Saifuddin me­ngatakan, Fraksi PPP bakal me­nolak revisi UU KPK. Ia ber­ha­rap fraksi-fraksi lain sepakat untuk tidak mengerdilkan KPK. “Saya hal itu (pengerdilan) tidak terjadi,” katanya.

Menurut dia, semua pihak harus menjaga eksisten KPK. “Upaya pelemahan KPK harus dihindari,” katanya.

Sikap sama ditunjukkan Ke­tua Fraksi PKB Marwan Jafar. Ia akan memerintahkan ang­go­tanya di Komisi III DPR dan Badan Legislasi DPR untuk meng­hentikan revisi UU KPK. Menurutnya, sebagai produk dari reformasi, KPK masih per­lu diperkuat.

“Kami akan perintahkan ke­pada anggota supaya Undang-undang KPK yang ada seka­rang ini tidak usah diutak-utik,” katanya.

Mengenai kinerja KPK yang dinilai banyak kalangan belum maksimal, Marwan bisa me­ma­haminya. “Wajar saja kalau di­nilai belum maksimal karena lem­baga ini, kan, baru dibentuk. Kalau dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lain yang sudah berpuluh tahun, ya, tidak relevan. Tapi sejauh ini KPK sudah cukup me­nun­juk­kan komitmennya dalam pe­m­berantasan korupsi yang men­jadi masalah bangsa,” jelasnya.

Setelah ramai-ramai ditolak, Fraksi Partai Golkar mikir-mi­kir untuk meneruskan revisi UU KPK. Ketua Fraksi Setyo No­vanto mengatakan pihaknya mengkaji perlu tidaknya dila­kukan revisi.

Setyo mengatakan pihaknya juga tidak ingin KPK dile­mah­kan. “Jika ada persoalan dalam menegakkan supremasi hukum, kita harus berpikir lebih jauh. Makanya, kita akan lihat apakah revisi itu melemahkan atau ti­dak,” katanya.

Bila untuk perbaikan atau memperkuat KPK, pihaknya akan mendukungnya. “Kita sa­ngat mendorong yang terbaik buat KPK,” katanya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA