Mahkamah Agung (MA) mengabulkan peninjauan kembali (PK) Prita Mulyasari. Ia dinyatakan tak bersalah dalam perkara pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera, Serpong, Tangerang Selatan.
Nama Prita kembali bersih waÂlaupun dia sempat dijebloskan ke dalam penjara oleh jaksa. Ia pun akan membukukan pengalaman hidup di balik jeruji besi.
Taksi berwarna biru berhenti di depan lobi kantor Metro TV di KeÂdoya, Jakarta Barat, kemarin siang. Setelah membayar ongkos taksi, Prita keluar dari pintu beÂlakang sebelah kiri. Ia didampingi kerabatnya yang juga perempuan. Kedatangannya ke sini karena diundang untuk tampil dalam acara talk show.
Senin lalu, majelis hakim MA yang terdiri dari hakim agung Djoko Sarwoko, Surya Jaya dan Suhadi mengabulkan PK yang diajukan Prita. MA membatalkan putusan kasasi yang menghukum Prita dengan pidana enam bulan penjara dengan masa percobaan setahun karena dianggap terbukti melakukan tindak pidana penÂceÂmaran nama baik RS Omni.
Mengenakan baju dan keruÂdung warna biru, Prita tampak begitu mantap melangkahkan kakinya memasuki pintu kantor stasiun televisi milik Surya Paloh ini. Bibirnya selalu tersenyum.
“Alhamdulillah, perasaan saya sudah jauh lebih tenang dari sekarang. Mudah-mudahan ini jawaban terakhir atas keluh kesah saya selama ini. Tidak adalagi puÂtusan hukum lainnya setelah ini,†kata Prita saat berbincang dengan Rakyat Merdeka.
Raut wajahnya berubah ketika disinggung soal proses hukum yang dialaminya hingga dijebÂlosÂkan ke Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, Banten. Prita sempat mendekam di penjara selama tiga minggu.
“Saya yang masih memiliki anak kecil, harus tinggal di dalam penjara. Di dalam sel, saya harus mengisi hari bersama 10 naraÂpiÂdana yang memiliki latar beÂlaÂkang kasus yang berbeda,†kaÂtaÂnya sambil tertunduk.
“Ada yang ditahan karena kaÂsus pembunuhan, ada juga yang kaÂrena narkoba, pencurian dan berÂbagai kasus lainnya,†tuturnya.
Rasa takut, sedih dan kangen keÂluarga campur aduk saat dijebÂloskan ke penjara. “Apalagi saya sempat berpikir kalau penjara itu meÂrupakan tempat yang menyeÂramÂkan. Ada kekerasan, tidak nyaÂman dan sebagainya. Belum lagi, satu minggu pertama saya tidak boleh keluar sel,†ungkapnya.
Namun ketakutan itu sirna seÂtelah beberapa hari menghuni penÂjara. Beberapa napi yang berÂtampang sangar justru menjadi teman baiknya. Mereka memberi semangat kepada Prita agar tabah menjalani proses hukum itu.
Dari situ, Prita mulai berpikir kalau narapidana kelas berat saja masih bisa sabar dan optimistis unÂtuk bebas, kenapa dirinya tiÂdak. Ia pun mencoba untuk tegar.
“Kalau saya terus-terusan kaÂngen, akan ada ikatan batin antara saya dengan anak-anak. Saya khawatir, nanti anak-anak akan seÂdih terus. Maka saya harus meÂnunjukkan kalau saya tegar menÂjalani itu semua,†bebernya.
Pernah dapat perlakuan kurang baik di penjara? “Alhamdulillah, karena niat saya baik, tidak ada perbuatan tidak menyenangkan yang saya alami. Walaupun daÂlam kondisi ketidaknyamanan hiÂdup penjara, saya masih bisa meÂrasa nyaman,†katanya.
Meskipun hanya menghuni penÂjara selama 3 minggu, Prita khaÂwatir bakal dicap negatif oleh maÂsyarakat. “Padahal, tidak seÂmua orang yang dipenjara itu adaÂlah jahat. Sebab, tidak sedikit orang yang dipenjara karena meÂmang salah hukum atau korban kriminalisasi,†kata wanita keÂlahiran 27 Maret 1977 itu.
Karena hal itulah, kemudian Prita hendak membuat buku. IsiÂnya pengalaman dirinya meÂnÂjaÂlani proses hukum. “Pada daÂsarÂnya saya suka memang suka meÂnuÂlis. Dan kasus yang pernah saya alami ini semakin memÂperÂkuat keinginan bagi saya untuk memÂbuat buku,†ujarnya.
Buku apa? Wanita yang masih bekerja di salah satu bank swasta ini masih belum tahu apa jenis buÂku yang akan ditulisnya. “Tapi hal yang paling penting diÂbahas adalah soal pengalaman saya di penjara. Bagaimana penÂjara itu dan pengalaman apa yang saya dapat, akan saya ceriÂtakan,†katanya.
Menurut dia, banyak peÂngaÂlaman berharga yang diÂperÂolehÂnya saat mendekam di penjara. “KeÂdeÂkatan diri dengan Sang PenÂcipta, tidak boleh menyerah dan keakraban dengan sesama pengÂhuni penjara merupakan hal yang menarik untuk dibagi,†jelasnya.
Naskahnya sudah jadi? MesÂkiÂpun masih jauh dari sempurna, Prita mengatakan sudah memiliki konsep bukunya. Konsepnya berÂasal dari tulisan-tulisan tangan yang pernah dibuatnya. Tulisan-tuÂlisan itu lalu disimpan di komputer.
“Saya mulai menulis itu ketika saya sudah keluar dari penjara. Awalnya saya hanya menulis biasa saja pada buku harian. Akhirnya ada keinginan untuk dibuat lebih bagus dan kemudian ada keingiÂnan membuat buku,†ujarnya.
Prita masih bingung memilih penerbitan untuk bukunya. Sebab untuk menerbitkannya butuh dana tidak sedikit. “Kalau dana priÂbadi, pastinya saya belum puÂnya uang. Makanya saya akan mencari sponsor atau donatur unÂtuk buku saya. Tapi bagaimana prosedurnya, saya juga belum tahu,†katanya sambil tersenyum.
“Intinya, sebelum anak-anak saya besar, buku ini harus sudah terbit. Biar dia tahu informasi yang sebenarnya tentang perjaÂlanan yang pernah menimpa ibuÂnya. Kenapa ibunya pernah diÂtahan. Anak -anak tidak perlu meÂngetahuinya dari pihak lain,†ujarnya.
Balik Ke Penjara, Bawa Peyek Sekalian Kembalikan Baju
Selain ingin membuat buku, Prita Mulyasari ingin terus menÂjalin komunikasi dengan narapidana yang pernah tinggal satu sel dengannya di di LP WaÂnita Tangerang.
“Di penjara, saya menemuÂkan keluarga baru yang cukup memberikan semangat dan warna baru bagi saya. Biar meÂreÂka narapidana, bagi saya meÂreka adalah kawan dan sumber motivasi bagi saya,†tuturnya.
Prita menuturkan, dia pernah berkunjung ke LP Wanita TaÂngerang setelah bebas. Selain ingin bertemu dengan rekan satu sel, rupanya dia masih puÂnya utang.
Utang apa? Prita hendak meÂngembalikan baju yang pernah dipinjam dari rekan satu selnya. “Lalu saya janji akan memÂbaÂwaÂkan mereka peyek yang semÂpat kita nikmati saat di dalam sel dulu. Itu memang makanan kesukaan mereka,†tutur Prita.
Sekarang, Prita sangsi bisa bertemu semua teman satu selnya. Sebab, kemungkinan ada yang sudah bebas karena masa hukumannya memang tidak lama.
“Sedangkan kasus saya ini sudah berjalan selama tiga taÂhun. Tentunya banyak yang sudah bebas seperti saya. Tapi saya senang mendengar bila teman-teman saya itu banyak yang bebas,†jelasnya.
Apakah trauma menulis keÂluh kesah di dunia maya? “TenÂtunya ke depan saya harus hati-hati untuk melakukan hal seÂrupa, karena terus terang kasus hukum ini membuat saya trauÂma. Saya tak ada niat apa pun ketika menulis email itu. Itu cuma curahan hati saya. Tapi ternyata jadi begini,†kata Prita.
Belajar dari pengalaman ini, Prita enggan curhat lewat email. Kalaupun ada keluh keÂsan dia hanya menuangÂkanÂnya dalam catatan pribadi.
“Kalau boleh berpesan, bila ada orang yang mengalami naÂsib sama seperti saya saat beÂrÂuruÂsan dengan rumah sakit, haÂrus berani kritis untuk menaÂnyakan informasi pada rumah sakit. SeÂbab itu hak,†ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.