Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tinggal Di Apartemen Setneg, Dapat Gaji Rp 13 Juta Sebulan

Fasilitas Untuk Hakim Ad Hoc Tipikor

Senin, 03 September 2012, 08:35 WIB
Tinggal Di Apartemen Setneg, Dapat Gaji Rp 13 Juta Sebulan
ilustrasi

rmol news logo Dua hakim ad hoc Pengadilan Tipikor ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Semarang, beberapa waktu lalu. Mereka ketahuan menerima suap dari pihak yang berperkara.

Selama ini, hakim ad hoc di­gaji lumayan besar. Mereka men­dapat sejumlah fasilitas. Me­ngapa masih main-main perkara? Apa yang mereka terima tak cukup? Yuk kita intip kehidupan hakim ad hoc.

Jam dinding di Pengadilan Tin­dak Pidana Korupsi (Tipikor) Ja­karta menunjukkan pukul 3 sore, Kamis lalu. Persidangan kasus korupsi di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang me­ngagendakan pembacaan vonis sudah memasuki tahap akhir

Tak sampai sejam, persidangan ditutup. Hakim anggota Made Hen­drakusuma bergegas mening­galkan ruang sidang menuju ruang kerjanya. Ruang kerjanya terletak di belakang ruang sidang.

Ia hendak beristirahat sejenak.  “Ini baru sidang pertama. Masih ada tiga sidang lagi yang harus saya jalani,” kata Hendra yang berasal dari Bali ini.

Bekas notaris ini tak me­nge­luh­kan padatnya jadwal sidang yang harus dijalaninya setiap hari. Dalam sehari dia bisa me­ngikuti  empat persidangan.

 â€œSaya kosongnya (tidak ber­si­dang) hanya hari Rabu dan Jumat. Selebihnya harus mengikuti si­dang dari pagi hingga malam hari,” katanya.

Aktivitasnya sebagai hakim ad hoc dimulai sejak pagi. Pu­kul 8 pagi dia sudah mening­gal­kan ru­mah dinas di Apartemen Pejabat Negara milik Sek­re­ta­riat Negara (Setneg) di Kem­yoran, Jakarta Pusat.

Tak sampai sejam dia sudah sampai di Pengadilan Tipikor yang menempati gedung Uppin­do, di Jalan HR Rasuna Said, Ku­ningan, Jakarta Selatan. “Kalau nggak macet setengah jam  juga sampai ke kantor,” katanya.

Setelah beristirahat sebenar, dia mengenakan toga mengikuti persidangan yang dijadwalkan dimulai pukul 9 pagi. “Kadang kala persidangan molor karena belum hadirnya saksi,” katanya.

Sehari-hari dia pulang ke ru­mah dinas paling cepat setelah Maghrib. “Kadang kala bisa sam­pai jam setengah 2 dini hari. Jadi sangat tergantung dari jalannya persidangan,” ungkap Hendra.

Ia tak punya kiat khusus untuk menjaga staminanya agar tetap fit sepanjang hari.  “Yang penting per­banyak minum air putih untuk menjaga kesehatan,” katanya.

Hendra adalah hakim ad hoc ang­katan pertama di Pengadilan Tipikor. Ia mulai bertugas pada 2004. Saat itu, pengadilan khu­sus ka­sus korupsi itu hanya ada di Ja­karta. Pengadilan ini berada di­ ba­wah Pengadilan Negeri Ja­karta Pusat.

Kini, Pengadilan Tipikor sudah ber­diri di sejumlah kota besar. Mi­salnya, Bandung, Semarang dan Su­rabaya. Mahkamah Agung (MA) pun merekrut hakim ad hoc untuk ditempatkan di pengadilan-penga­dilan tipikor yang baru didirikan.

Setelah menjadi hakim ad hoc, Hendra mendapat sejumlah fa­silitas. Salah satunya rumah dinas di apartemen Pejabat Negara Ke­mayoran. “Listrik, air dan ke­ama­nan gratis. Yang bayar hanya telepon sesuai dengan pema­kaian,” katanya.

Lantaran tak disediakan fasi­litas kendaraan dinas, Hendra pun membeli Toyota Avanza dengan cara kredit. Lama kreditnya lima tahun. “Saya membeli mobil itu ka­rena harganya paling murah dan hingga kini mobilnya belum lunas. Masih kurang beberapa ta­hun lagi,” katanya.

Sebagai hakim ad hoc Penga­dilan Tipikor tingkat pertama, dia mendapat gaji Rp 13 juta sebulan. Ia juga mendapat ruang ope­ra­sional sidang sebesar Rp 300 ribu per hari.

Uang operasional itu hanya bisa diklaim paling banyak 20 hari kerja dalam sebulan. “Kalau menangani perkara lebih dari 20 hari, tidak mendapat uang ope­rasional,” katanya. Bila dihitung-hitung penghasilan Hendra se­bu­lan hampir Rp 20 juta.

Hendra merasa penghasilannya cu­kup untuk memenuhi ke­bu­tu­han hidupnya. “Kebutulan saya tinggal sendiri di Jakarta,” katanya.

Keluarganya tetap tinggal di Bali. Pasalnya, istrinya masih kerja di salah satu bank pe­me­rin­tah di Pulau Dewata. Begitu juga anak-anaknya masih bersekolah di situ.

Setiap dua minggu Hendra pulang ke Bali untuk menengok keluarganya. Ia pun bila jadwal persidangan tak padat.  “Kalau ada banyak agenda terpaksa tidak pulang,” katanya.

Berdasarkan Peraturan Pre­siden Nomor 86 Tahun 2010, ha­kim ad hoc Pengadilan Tipikor berhak atas uang kehormatan se­tiap bulannya. Hakim pengadilan tingkat pertama sebesar Rp 13 juta. Hakim tingkat banding Rp 16 juta. Hakim tingkat kasasi me­nerima lebih besar. Yakni Rp 22 juta per bulan.

Dalam Perpres 49 Tahun 2005, selain menerima uang kehor­ma­tan, hakim ad hoc diberikan fa­si­litas perumahan, transportasi dan keamanannya. Hakim ad hoc yang melakukan perjalanan dinas sudah berhak atas uang trans­por­tasi dan akomodasi.

18 Hakim Tipikor Diduga Bermasalah

Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Emer­son Juntho mencatat 84 hakim tipikor di 14 Pengadilan Tipikor (tingkat provinsi) diduga ber­masalah. Para hakim tersebut ber­masalah dari segi integritas, kua­litas, dan administratif.

“Dalam beberapa bulan kami telah melakukan tracking ter­hadap hakim tipikor, kerja sama dengan mitra daerah. Dari catatan yang telah dirangkum, kami (ICW) mendapatkan ada se­jum­lah per­soalan yang terjadi di 14 Pe­nga­dilan Tipikor daerah me­nyangkut integritas, kualitas, dan adm­i­ni­s­tratif hakim tipikor,” katanya.

Emerson menjelaskan, dari aspek persoalan administratif, ma­yoritas para hakim tipikor be­lum menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). Demikian pula de­ngan hakim ad hoc. Selain itu, ma­sih adanya hakim ad hoc yang berhubungan kental den­gan par­tai politik karena kedudukannya sebagai bekas anggota DPRD.

Juga, ditemukan ketidak­ju­ju­ran, khususnya yang dilakukan sa­lah satu hakim ad hoc ketika me­nyampaikan data kepada Mahkamah Agung (MA).

Dari aspek kualitas, lanjutnya, ditemukan adanya ketidak­cer­ma­tan hakim tipikor dalam mem­pe­lajari perkara. “Kalau hakim tidak berkualitas mudah kita lihat, ka­lau hakim yang tidak ber­integ­ri­tas putusannya juga tidak wajar. Indikasinya, hakim pasif di per­sidangan, tetapi aktif di luar pe­r­si­dangan, memang beda tipis an­tara faktor kualitas dan integ­ritas,” katanya.

Mengenai aspek integritas, kata Emerson, ada beberapa ha­kim tipikor yang patut diduga me­langgar kode etik hakim dan pernah dilaporkan ke KY dan Mahkamah Agung (MA).

Misalnya, ada seorang hakim yang sudah didemosi ke daerah terpencil, ada temuan hakim tipi­kor yang masih membuka praktik kepengacaraan, ada hakim karier yang bertemu pihak berperkara atau pengacara, dan ada hakim karier masih menangani perkara nonkorupsi.

“Ini membuka peluang adanya in­dikasi mafia peradilan yang menggurita masuk ke Pengadilan Tipikor daerah di mana hakim ma­sih menemui pengacara, kong­kalikong untuk membebaskan koruptor atau menjatuhkan vonis ringan,” katanya.

Staf divisi hukum dan moni­to­ring peradilan ICW, Donald Fa­ridz menambahkan, 84 orang hakim tipikor baik karier maupun ad hoc tersebut berasal dari 14 kota, di antaranya Pengadilan Ti­pikor Jambi, Bengkulu, Sema­rang, Manado, Padang, Mataram, Kendari, Surabaya, Serang, Me­dan, Makassar, dan Yogyakarta.

ICW, lanjut, sedang me­nye­lesaikan riset mengenai hakim ti­pikor. Dari hasil riset itu, seti­dak­­nya ada sekitar 71 terdakwa kasus korupsi yang terdakwanya di­vonis bebas oleh Pengadilan Ti­pi­kor. Hal ini juga terkait de­ngan kompetensi, independensi, dan kemampuan hakim tipikor itu sendiri.

ICW juga melakukan eksa­mi­nasi putusan kasus korupsi 10 Pengadilan Tipikor. “Hasil proses re­kam jejak itu sudah kita serah­kan ke KY, ada indikasi suap dan pelanggaran kode etik. KY sudah merespons dan akan mempelajari serius laporan penyalahgunaan we­wenang itu,” katanya.

Kerap Diteror, Pernah Ditawari Suap Rp 5 Miliar

Selama menangani perkara korupsi di Pengadilan Tipikor Ja­karta, Made Hendrakusuma kerap mendapat ancaman pem­bunuhan dari orang tak dike­nal. Ancaman itu disampaikan lewat pesan singkat (SMS) mau­pun telepon.

Namun Hendra tak merasa gen­tar. Ancaman itu tak mem­pengaruhi dalam memutus per­kara korupsi. “Diabaikan saja,” katanya.

Ia juga mengaku pernah di­tawari suap Rp 5 miliar. Orang yang mencoba menyuapnya itu bersedia memberikan uang lebih besar asal Hendra mau mengi­kuti orang itu. Hendra menolak tawaran itu mentah-mentah.

Untuk mencegah disuap, Hen­dra pun membatasi pergau­lan. Ia pantang berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan pihak yang berperkara.

“Biasanya bila tidak bisa ber­temu, mereka (pihak ber­per­kara) menghubungi melalui te­lepon ataupun melalui orang lain. Tapi itu saya tidak peduli­kan,” tegas Hendra.

Buktinya tak ada terdakwa yang divonis bebas oleh Hen­dra. Sikap tegas terhadap ter­dak­­wa kasus korupsi ini, me­nurut dia, bukan lantaran dia ta­kut diawasi Komisi Pem­ber­an­ta­san Korupsi (KPK).

Hendra mengaku selama ini menjatuhkan vonis bersalah ka­rena sesuai fakta-fakta hukum. “Kalau kita benar dalam me­mu­tuskan, kenapa takut diawasi pi­hak lain?” katanya.

Selama menangani perkara korupsi, paling rendah ia mem­vonis terdakwa hukuman dua tahun penjara. Paling 15 tahun penjara.  

Sebagai “senior” Hen­dra me­ngingatkan agar hakim ad hoc tipikor di daerah agar me­ngabdi secara total. Jangan menjadikan profesi hakim tipikor sebagai ajang mencari pe­kerjaan. Se­bab, memang bu­kan tempatnya.

Apalagi persyaratan untuk jadi hakim tipikor harus me­miliki pengalaman selama 15 ta­hun. Dengan pengalaman pan­jang itu pendaftar diha­rap­kan sudah mapan secara eko­nomi. “Jadi yang dilakukan se­la­ma jadi hakim adalah pe­ngab­dian,” kata Hendra.

Ada Yang Ketahuan Nyambi Jadi Advokat

Masih menurut ICW, ada ha­kim ad hoc tipikor yang diduga masih nyambi sebagai advokat. Mahkamah Agung (MA) pun akan menjatuhkan sanksi ke­pada hakim bersangkutan.

“Hal itu termasuk pelang­garan kategori berat dan akan segera ditindak MA,” kat Rid­wan Mansyur, Kepala Biro Hu­kum dan Humas MA.

Menurutnya, seorang hakim dilarang untuk memiliki profesi ganda. Dalam Undang-Undang Nomor 46/2009 diatur huku­man yang akan dijatuhkan bagi setiap pelanggaran yang dila­kukan oleh hakim.

“Hakim itu tidak boleh me­rangkap sebagai advokat, pi­m­pi­nan perusahaan, makelar, me­mimpin organisasi politik. Itu ada di undang-undang. Kalau dia melanggar undang-undang ber­arti melakukan pelanggaran berat,” katanya.

Ridwan menambahkan, hu­kuman terhadap pelanggaran be­rat seperti itu adalah pem­e­ca­tan dengan tidak hormat. “Bisa dipecat itu,” katanya.

Menurutnya MA tidak bisa mengawasi seluruh hakim yang ada di daerah. Seharusnya ketua pengadilan yang menegur ha­kim-hakim yang masih nakal. “Kadang-kadang mereka ha­rus­nya ditegur oleh ketua pe­nga­di­lannya dan disampaikan ke MA dan langsung mengirimkan ba­dan pengawas ke sana,” katanya.

Sejak tertangkap dua hakim ad hoc Pengadilan Tipikor karena diduga menerima suap, MA memutuskan menunda seleksi hakim ad hoc Tipikor. “Sudah kita undur jadi tanggal 17-18 September 2012, awal­nya kan 4-7 September,” kata Juru Bicara MA.  

Menurutnya, tempat seleksi untuk calon hakim ad hoc tipi­kor akan dilakukan di dua lo­kasi, Jakarta dan Surabaya. MA bekerja sama dengan ICW me­lakukan pengawasan terha­dap nama-nama yang dinya­takan ma­suk seleksi tahap selanjutnya.

Djoko menambahkan, terkait dengan tertangkapnya dua ha­kim ad hoc Tipikor di Sema­rang, ICW juga meminta MA untuk mengundur waktu seleksi wawancara. Dengan kejadian tersebut, MA dan ICW harus le­bih ketat lagi menyaring calon hakim agar kasus suap seperti ini bisa diminimalisir. “ICW min­ta diundur satu bulan ya su­dah kita undur,” katanya.

Saat ini MA membutuhkan 76 hakim ad hoc Tipikor. Mereka akan ditempatkan di Pengadilan Tipikor di sejumlah kota besar di tanah air. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA