Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dilarang Buka Layanan, Tukang Gigi Ngedumel

Senin, 30 April 2012, 09:00 WIB
Dilarang Buka Layanan, Tukang Gigi Ngedumel
ilustrasi

RMOL. Cuaca siang itu sangat panas. Hartono, 38 tahun, merebahkan badan di lantai kiosnya yang dilapisi keramik putih. Kipas angin dinyalakan untuk mengusir udara gerah di ruangan berukuran 2x3 meter yang dikontraknya Rp 5 juta per tahun.

“Sudah beberapa hari ini lagi sepi. Dari pagi belum ada satu pasien pun yang datang,” keluh pria asal Jember, Jawa Timur yang menjadi tukang gigi ini.

Kios Hartono berada di pinggir Jalan Nusantara, Depok, Jawa Barat. Tak sulit menemukan tempatnya. Di atas kios dipasang plang bergambar bibir terbuka yang memperlihatkan susunan gigi yang rapi.

Dinding kaca kiosnya pun juga dipenuhi gambar besar gigi ter­buka. Di bawah gambar itu di­cantumkan la­yanan yang disedia­­kan Hartono. Di antaranya pa­­sang gigi palsu, pasang kawat behel, krom, dan frame.

Masuk ke dalam terdapat rua­ngan yang disekat dengan kain gorden. Ruang pertama terdapat meja kayu lengkap dengan tiga kursi untuk menerima pasien.

Di dalam ruangan ini terdapat eta­lase kaca yang memajang ber­bagai jenis dan ukuran gigi. Ada juga beberapa botol obat yang dise­butkan bisa mem­bersihkan gigi.

Ruangan di balik gorden ada­lah tempat memberikan layanan. Di sini terdapat terdapat tem­pat tidur berwarna hitam dengan berbagai peralatan.

“Saya sudah membuka jasa lini selama hampir 17 tahun. Saya sudah paham dan mengenal struktur gigi dan permasalahan yang biasa di­keluhkan pasien,” klaim Hartono.

Pernah ada pasien yang me­ngalami masalah? Kata dia, sela­ma membuka kios sendiri belum pernah ada pasien yang complain atas kesalahan layanan yang di­berikannya.

“Saya buka prak­tek sesuai dengan keahlian dan bidang saya. Kalau di luar itu, saya tidak akan berani ambil or­dernya meskipun ada yang me­maksa,” tegasnya.

Untuk membuka kios tukang gigi, kata Hartono, harus ada izin. Minimal dari asosiasi yang merupakan wadah dari para ahli gigi di Indonesia. “Kalau saya tergabung dalam Asosiasi Persatuan Ahli Gigi Wilayah Depok. Dari organisasi itu, nanti dikeluarkan sertifikat bahwa kita layak untuk buka kios,” jelasnya.

Randy, pemilik kios Ahli Gigi di daerah Lenteng Agung, Jakarta Selatan juga yakin usahanya ini tidak melanggar aturan. Sebab ia tak pernah melayani cabut dan tambal gigi. Ia paham layanan itu hanya bisa dilakukan dokter gigi.

Karena itu, dirinya heran de­ngan kebijakan pemerintah yang melarang praktik tukang gigi. Padahal, kata Randy, ini satu-satunya keahliannya. Dari usaha ini dia menghidupi keluarganya. “Kalau ini dilarang, lantas saya usaha apalagi untuk hidupi ke­luarga?” katanya kesal.

“Kalau orang kaya punya uang pasti ke dokter gigi, lantas bagaimana dengan yang miskin? Tentunya mereka akan ke kami ini,” ujar Randy.

Hal senada disampaikan Pur, pria yang sehari-hari men­jaga kios Teknisi Gigi di Jalan Pal­merah, Jakarta Barat. Pur tidak bisa membayangkan kalau tak  boleh lagi jadi tukang gigi.

“Siapa pun orangnya tidak mau jadi pengangguran, termasuk para tukang gigi ini. Kalau usaha kami dilarang, silakan saja pe­merintah sediakan lapangan kerja bagi kami kedepan nanti,” jelasnya.

Kementerian Kesehatan bakal melarang tukang gigi membuka praktek. Sebelumnya pekerjaan tukang gigi diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 339 Tahun 1989. Nah, sekarang peraturan itu telah dibatalkan lewat Permenkes 1871 Tahun 2011.

Dalam Permenkes yang baru, pelayanan kesehatan gigi dan mulut hanya dapat dilakukan tenaga kesehatan yang berwe­nang dan bukan kewenangan tukang gigi.

Bagi yang telah melaksanakan pekerjaannya sebagai tukang gigi masih dapat menjalankan peker­jaannya sampai berlakunya pera­turan tersebut atau habis masa berlaku izinnya, dan tidak dapat di­perpanjang lagi. n SIS

Otodidak, Warisi Keahlian Orang Tua

Para tukang gigi memper­oleh keahlian bukan dari menempuh pendidikan mau­pun mengikuti pelatihan resmi. Kebanyakan belajar secara oto­didak atau mewarisi ke­ahlian orangtuanya.

Randy, pemilik kios Ahli Gigi di daerah Lenteng Agung, Jakarta Selatan mengaku men­dapatkan keahlian karena be­lajar dari orangtua. Ayahnya lebih dulu membuka kios tu­kang gigi di Jalan Ampera, Ja­karta Selatan.

Karena tidak pernah me­ngi­kuti pendidikan mengenai gigi, Randy pun tak pernah mem­beri­kan layanan yang meng­gunakan obat-obatan. Ia kha­watir bisa ber­akibat fatal pada pasien.

“Saya tidak mau kalau ada pa­sien minta giginya dicabut atau ditambal, karena itu bukan keahlian saya. Tapi kalau pa­sang gigi atau kawat behel, baru saya berani menerimanya. Saya juga tidak ambil risiko,” katanya.

Pur, pria yang membuka usaha Teknisi Gigi di Jalan Pal­merah, Ja­karta Barat me­­ngaku ke­ahlian ini dipero­leh sa­at be­­kerja di tempat yang mem­bu­ka layanan gigi.

“Awalnya saya diajak teman untuk ikut bekerja di kios tu­kang gigi miliknya. Dari situ saya belajar banyak hingga sekarang berani memisahkan diri dan membuka kios yang lain,” tuturnya.

Butuh berapa lama untuk belajar? Kata Pur, untuk bisa ahli betul membutuhkan waktu yang lama. Dia m­e­ngaku belum bisa menguasai sepenuhnya jasa yang disediakan kiosnya.

“Kadang kalau ada pasien yang datang dan saya tidak mengerti, saya anjurkan ke tempat lain yang saya tahu lebih paham. Itu untuk jaga-jaga adanya kesalahan yang fatal dalam berikan layanan,” ungkapnya.

Masalah kemampuan dan kompetensi inilah yang menjadi alasan Kementerian Kesehatan melarang para ahli gigi di In­donesia membuka praktik.

Tanpa adanya kemampuan dan kompetensi, selain me­langgar UU Kesehatan dan UU Praktek Kedokteran, juga ber­bahaya bagi kesehatan. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA