RMOL. Cuaca siang itu sangat panas. Hartono, 38 tahun, merebahkan badan di lantai kiosnya yang dilapisi keramik putih. Kipas angin dinyalakan untuk mengusir udara gerah di ruangan berukuran 2x3 meter yang dikontraknya Rp 5 juta per tahun.
“Sudah beberapa hari ini lagi sepi. Dari pagi belum ada satu pasien pun yang datang,†keluh pria asal Jember, Jawa Timur yang menjadi tukang gigi ini.
Kios Hartono berada di pinggir Jalan Nusantara, Depok, Jawa Barat. Tak sulit menemukan tempatnya. Di atas kios dipasang plang bergambar bibir terbuka yang memperlihatkan susunan gigi yang rapi.
Dinding kaca kiosnya pun juga dipenuhi gambar besar gigi terÂbuka. Di bawah gambar itu diÂcantumkan laÂyanan yang disediaÂÂkan Hartono. Di antaranya paÂÂsang gigi palsu, pasang kawat behel, krom, dan frame.
Masuk ke dalam terdapat ruaÂngan yang disekat dengan kain gorden. Ruang pertama terdapat meja kayu lengkap dengan tiga kursi untuk menerima pasien.
Di dalam ruangan ini terdapat etaÂlase kaca yang memajang berÂbagai jenis dan ukuran gigi. Ada juga beberapa botol obat yang diseÂbutkan bisa memÂbersihkan gigi.
Ruangan di balik gorden adaÂlah tempat memberikan layanan. Di sini terdapat terdapat temÂpat tidur berwarna hitam dengan berbagai peralatan.
“Saya sudah membuka jasa lini selama hampir 17 tahun. Saya sudah paham dan mengenal struktur gigi dan permasalahan yang biasa diÂkeluhkan pasien,†klaim Hartono.
Pernah ada pasien yang meÂngalami masalah? Kata dia, selaÂma membuka kios sendiri belum pernah ada pasien yang complain atas kesalahan layanan yang diÂberikannya.
“Saya buka prakÂtek sesuai dengan keahlian dan bidang saya. Kalau di luar itu, saya tidak akan berani ambil orÂdernya meskipun ada yang meÂmaksa,†tegasnya.
Untuk membuka kios tukang gigi, kata Hartono, harus ada izin. Minimal dari asosiasi yang merupakan wadah dari para ahli gigi di Indonesia. “Kalau saya tergabung dalam Asosiasi Persatuan Ahli Gigi Wilayah Depok. Dari organisasi itu, nanti dikeluarkan sertifikat bahwa kita layak untuk buka kios,†jelasnya.
Randy, pemilik kios Ahli Gigi di daerah Lenteng Agung, Jakarta Selatan juga yakin usahanya ini tidak melanggar aturan. Sebab ia tak pernah melayani cabut dan tambal gigi. Ia paham layanan itu hanya bisa dilakukan dokter gigi.
Karena itu, dirinya heran deÂngan kebijakan pemerintah yang melarang praktik tukang gigi. Padahal, kata Randy, ini satu-satunya keahliannya. Dari usaha ini dia menghidupi keluarganya. “Kalau ini dilarang, lantas saya usaha apalagi untuk hidupi keÂluarga?†katanya kesal.
“Kalau orang kaya punya uang pasti ke dokter gigi, lantas bagaimana dengan yang miskin? Tentunya mereka akan ke kami ini,†ujar Randy.
Hal senada disampaikan Pur, pria yang sehari-hari menÂjaga kios Teknisi Gigi di Jalan PalÂmerah, Jakarta Barat. Pur tidak bisa membayangkan kalau tak boleh lagi jadi tukang gigi.
“Siapa pun orangnya tidak mau jadi pengangguran, termasuk para tukang gigi ini. Kalau usaha kami dilarang, silakan saja peÂmerintah sediakan lapangan kerja bagi kami kedepan nanti,†jelasnya.
Kementerian Kesehatan bakal melarang tukang gigi membuka praktek. Sebelumnya pekerjaan tukang gigi diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 339 Tahun 1989. Nah, sekarang peraturan itu telah dibatalkan lewat Permenkes 1871 Tahun 2011.
Dalam Permenkes yang baru, pelayanan kesehatan gigi dan mulut hanya dapat dilakukan tenaga kesehatan yang berweÂnang dan bukan kewenangan tukang gigi.
Bagi yang telah melaksanakan pekerjaannya sebagai tukang gigi masih dapat menjalankan pekerÂjaannya sampai berlakunya peraÂturan tersebut atau habis masa berlaku izinnya, dan tidak dapat diÂperpanjang lagi. n SIS
Otodidak, Warisi Keahlian Orang Tua
Para tukang gigi memperÂoleh keahlian bukan dari menempuh pendidikan mauÂpun mengikuti pelatihan resmi. Kebanyakan belajar secara otoÂdidak atau mewarisi keÂahlian orangtuanya.
Randy, pemilik kios Ahli Gigi di daerah Lenteng Agung, Jakarta Selatan mengaku menÂdapatkan keahlian karena beÂlajar dari orangtua. Ayahnya lebih dulu membuka kios tuÂkang gigi di Jalan Ampera, JaÂkarta Selatan.
Karena tidak pernah meÂngiÂkuti pendidikan mengenai gigi, Randy pun tak pernah memÂberiÂkan layanan yang mengÂgunakan obat-obatan. Ia khaÂwatir bisa berÂakibat fatal pada pasien.
“Saya tidak mau kalau ada paÂsien minta giginya dicabut atau ditambal, karena itu bukan keahlian saya. Tapi kalau paÂsang gigi atau kawat behel, baru saya berani menerimanya. Saya juga tidak ambil risiko,†katanya.
Pur, pria yang membuka usaha Teknisi Gigi di Jalan PalÂmerah, JaÂkarta Barat meÂÂngaku keÂahlian ini diperoÂleh saÂat beÂÂkerja di tempat yang memÂbuÂka layanan gigi.
“Awalnya saya diajak teman untuk ikut bekerja di kios tuÂkang gigi miliknya. Dari situ saya belajar banyak hingga sekarang berani memisahkan diri dan membuka kios yang lain,†tuturnya.
Butuh berapa lama untuk belajar? Kata Pur, untuk bisa ahli betul membutuhkan waktu yang lama. Dia mÂeÂngaku belum bisa menguasai sepenuhnya jasa yang disediakan kiosnya.
“Kadang kalau ada pasien yang datang dan saya tidak mengerti, saya anjurkan ke tempat lain yang saya tahu lebih paham. Itu untuk jaga-jaga adanya kesalahan yang fatal dalam berikan layanan,†ungkapnya.
Masalah kemampuan dan kompetensi inilah yang menjadi alasan Kementerian Kesehatan melarang para ahli gigi di InÂdonesia membuka praktik.
Tanpa adanya kemampuan dan kompetensi, selain meÂlanggar UU Kesehatan dan UU Praktek Kedokteran, juga berÂbahaya bagi kesehatan. [Harian Rakyat Merdeka]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.