RMOL. Hakim dari pelosok daerah datang ke Jakarta. Di ibu kota mereka mendatangi sejumlah instansi. Tujuannya satu: menuntut peningkatan kesejahteraan. Mereka mengancam mogok sidang bila tuntutan tak dipenuhi.
Andi Nurvita harus tega meÂningÂgalkan dua anaknya. BerÂsama 29 rekan seprofesinya, haÂkim wanita di Pengadilan Negeri Salatiga, Jawa Tengah ini tiba di Jakarta sejak hari Minggu (8/4).
“Ini bentuk keprihatinan dan pernyataan sikap dari para hakim bahwa kami memang meÂnginginÂkan adanya pemenuhan hak konsÂtitusional hakim. Jangan lihat hakim yang sudah puluhan tahun dan tinggal di Jakarta saja, tapi lihatlah mereka yang di daerah-daerah terpencil,†katanya.
Andi menuturkan kehidupan hakim di daerah sangat memÂpriÂhatinkan. Fasilitas untuk hakim pun minim. Ia menuturkan sebeÂlumnya bertugas di Sumatera Barat. Tiga tahun lalu dipindah ke Salatiga.
“Pertama kali mendapatkan rumah dinas. Tapi kondisinya beÂnar-benar parah dan tidak layak pakai,†ujarnya. Rumah dinas itu dibangun tahun 1986. KonÂdisiÂnya tidak terawat. Tidak ada lisÂtrik, air maupun telepon.
Supaya bisa ditempati, Andi mengeluarkan uang untuk memaÂsang listrik dan air. “Bahkan baru bulan kemarin saya melakukan perbaikan pada beberapa bagian rumah yang memang sudang rusak,†ujarnya.
Untuk perbaikan itu, lagi-lagi Andi harus mengeluarkan uang pribadi sebesar Rp 25 juta. “Itu murni dari tabungan pribadi saya. Bukan dari negara,†katanya.
Setelah rumah bisa ditempati, Andi merasa keamanannya tidak terjamin. Pasalnya rumah dinas tak memiliki pagar. “Tidak ada satu pun petugas keamanan. PaÂdahal, tempat saya itu berada di perumahan khusus para hakim,†tuturnya.
Lantaran tak ada petugas keÂamanannya, Andi yang tinggal berÂsama kedua anaknya yang masih belia ini mengaku kerap wasÂwas bila malam hari. SemenÂtara sang suami tinggal terpisah. “Beliau dinas di Surabaya.â€
Untuk jaga-jaga, Andi meÂnyimpan golok di dekat tempat tidurnya. “Saya selalu bawa senÂjata tajam kalau mau tidur agar meÂrasa aman. Sebab sudah bebeÂrapa kali saya mengalami intiÂmidasi dan teror tidak jelas,†ungkapnya.
Kisah lainnya juga diungÂkapÂkan Abdurahman Rahim, hakim Pengadilan Agama di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. LanÂtaran gaji yang minim, dia harus mencari tambahan penghasilan di luar profesinya.
Lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ini memilih berÂjualan pakaian di sekitar ruÂmah kontrakannya. Setiap bulan, hakim golongan IIIB ini menÂdapat gaji Rp 2,2 juta. Gaji itu dirasa tak dicukup. Sementara dia harus menghidupi istri dan seÂorang anaknya.
“Makanya ketika saya sedang cuti dan main ke Jakarta, saya sempatkan ke Tanah Abang untuk beli pakaian dan jilbab untuk diÂjual kembali di Sambas. Biaya hidup di Sambas sangat tinggi,†kata pria yang menjadi hakim sejak 2007 ini.
Ada kejadian unik ketika RahÂman menjajakan dagangannya. Saat berdagang mengenakan ceÂlana pendek, ada orang yang meÂngenalinya sebagai hakim itu.
Orang itu pun merasa heran dan bertanya, “Lho, bukannya bapak yang kemarin menyiÂdangÂkan kasus saya? Kenapa sekarang menjadi pedagang. Apa sudah dipecat dari hakim?†kata RahÂman menuturkan kejadian itu.
Menurut Rahman, bukan haÂnya dia yang mencari tambahan penghasilan di luar pekerjaan tetap. Beberap rekannya sesama hakim juga ada yang membuka usaha. Kata dia, ada yang berÂjualan kue maupun makanan matang. Modalnya kecil-kecilan saja disesuaikan dengan kantong.
Yuri Ardiansyah, hakim di PeÂngadilan Negeri, Sulawesi TeÂngah mengatakan hakim-hakim di daerah sulit terlihat berwibawa di masyarakat.
“Sedih kalau melihat hakim ke pengadilan naik sepeda motor atau angkutan umum. Padahal haÂkim itu kan berwibawa disamÂping keselamatannya juga harus terjaga,†kata dia.
Untuk itu, Yuri dan kawan-kaÂwan datang ke Jakarta untuk meÂnuntut agar negara memberikan hak-hak mereka sebagai hakim.
“Ini adalah rangkaian proses perjuangan yang telah setahun leÂbih kami perjuangkan tapi belum ada realisasinya. Sebab, selama bertahun-tahun hakim telah diÂanaktirikan sebagai pejabat peÂmerintahan,†ujar Yuri.
Menurut dia, ada sembilan poin yang dituntut para hakim. TunÂtutan itu mengacu kepada hak-hak hakim yang tertera di daÂlam UU Kekuasaan Kehakiman.
“Apakah pemerintah lupa, atau sengaja lupa, atau dilupakan tenÂtang berbagai peraturan perunÂdang-undangan yang harus diÂlakÂsanakan pemerintah untuk meÂmenuhi hak-hak hakim,†katanya.
Hakim berhak mendapat hak protokoler, gaji, tunjangan, keÂamaÂnan, perumahan, transportasi maupun kesehatan.
Wahyu Sudrajat, hakim dari Pengadila Negeri Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan meÂnambahkan kedatangan mereka ke Jakarta untuk menagih janji peÂmerintah karena dianggap meÂlupakan nasib hakim.
Urunan Rp 60 Juta Nginap Di Hotel Royal
Sejak hari Minggu (8/4) romÂbongan hakim ini tiba di Jakarta. Berbekal uang Rp 60 juta, mereka menginap di Hotel Royal di Jalan Juanda, Jakarta Pusat.
“Anggaran tersebut kami dapat dari sumbangan para hakim yang ada di seluruh Indonesia yang meÂmang peduli dan mendukung perjuangan kami. Alhamdulillah dari kepedulian dan dukungan itu, terkumpul anggaran untuk kami berjuang di Jakarta,†jelas Yuri Andriansyah.
Menurut Yuri, sebelum berangÂkat ke Jakarta, para hakim terÂleÂbih dahulu membuat grup di FaÂceÂbook. Anggotanya para hakim di seluruh Indonesia. Grup ini menÂjadi ajang diskusi untuk memÂperjuangkan nasib mereka.
“Sampai pada akhirnya kami memutuskan untuk datang ke Jakarta karena perjuangan yang sudah kami lakukan sejak setahun terakhir kurang direspons. Tapi untuk ke Jakarta kan butuh biaya. Itu juga yang dibicarakan teman-teman di grup sampai akhirnya terÂkumpul dana,†kata hakim PeÂngadilan Negeri Parigi, Sulawesi Tengah ini.
Para hakim pun diimbau meÂnyumÂbang. Uangnya dikirim ke rekening milik Sunoto seorang hakim di Pengadilan Negeri Aceh Tamiang.
Hakim yang ingin ikut ke JaÂkarta, lanjut Yuri, juga bisa menginformasikan lewat grup, teÂlepon maupun SMS. Semua biaya akomodasi dan penginapan selama di Jakarta ditanggung uang hasil urunan.
“Pertanggungjawabannya anggarannya kami sampaikan. BeÂrapa yang sudah terpakai seÂtiap harinya. Ini bukti transÂpaÂranÂsi kami terhadap teman-teman yang sudah menyumÂbang,†katanya.
Kesejahteraan Ditingkatkan, Hakim Janji Tak Main Kasus
Hakim Agung Gayus LumÂbuun setuju kesejahteraan dÂiÂtingkatkan. Menurut dia, gaji Rp 4 juta tidak cukup untuk haÂkim bertugas di daerah.
“Saya pikir kalau golongan IIIA idealnya Rp 7 atau 8 juta baru pantas,†ujar Gayus di GeÂdung DPR, Senayan, kemarin.
Bekas anggota Komisi III DPR ini mengatakan pemeÂrinÂtah dan DPR sudah meÂnguÂpaÂyaÂkan remunerasi bagi para haÂkim. Tapi kenyataannya peÂngÂhaÂsilan hakim masih minim.
Gayus menuding ada keÂsÂaÂlahan pengalokasian anggaran di Sekretariat MA. “Pimpinan MA dan Hakim Agung bukan tiÂdak memperhatikan, ini uruÂsan KeÂsekjenan. Mestinya reÂmunerasi diarahkan kesekjenan untuk kesejahteraan hakim buÂkan yang lainnya. Dan para haÂkim berhak mempertanyakan,†kata dia.
Anggota Komisi Yudisial, Jaja Ahmad Jayus berpendapat langÂkah para hakim menuntut peningkatan kesejahteraan adaÂlah hal wajar dan manusiawi.
“Saat melihat sendiri hakim tingÂgi di daerah kesejahÂteÂraanÂnya sangat kurang. Rumah tingÂgalÂnya sangat standar,†kata Jaja.
Menteri Pendayagunaan ApaÂratur Negara dan ReforÂmasi Birokrasi Azwar AbuÂbaÂkar juga menjanjikan perlakuan khusus bagi hakim karena seÂbaÂgai pejabat negara. Ini diakui dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2002 tentang Pejabat Negara.
“Karena masuk kelompok pejabat negara, hakim harus menÂdapatkan berbagai fasilitas. Selama ini yang diberikan baru tunjangan kinerja sejak 2008, sedangkan tunjangan pejabat negara belum pernah diberiÂkan,†kata Azwar saat meneÂrima para hakim di di kantornya kemarin.
Politisi PAN ini menjanjiÂkan, piÂÂhaknya akan membahas deÂngan Menkeu, DPR, MA, dan KoÂÂmisi Yudisial, apakah maÂsih meÂmungkinkan untuk memÂberiÂkan Âtunjangan kepada para hakim.
“Kalau tahun ini, kemungÂkinannya fifty-fifty. Kalau 2013, saya yakin 90 persen berÂhasil,†tandasnya.
Yuri Andriansyah, perwaÂkiÂlan para hakim yang datang ke Jakarta mengapreasiasi semua piÂhak yang mendukung perÂjuangannya. Dia juga menÂjanÂjikan jika tuntutan terpenuhi, haÂkim akan memberikan kinerÂja yang maksimal pada masyarakat.
“Perjuangan kami ini sebeÂnarÂnya juga untuk masyarakat, bukan hanya hakim saja. kalau hakim sejahtera, tentunya daÂlam memutus perkara tidak akan terpengaruh akan hal-hal lain yang mengganggu inÂdeÂpenÂdensi,†ujarnya.
Bagaimanan dengan bermain kasus? Kata Yuri, seluruh haÂkim di Indonesia yang selama ini menunggu hasil dari perÂjuangan di Jakarta ini sudah seÂpakat untuk mendukung proÂfeÂsionalitas hakim. Karena itu, dirinya bisa menjamin tidak akan ada lagi hakim nakal yang bermain kasus setelah tunÂtuÂtanÂnya dipenuhi.
“Bahkan kami siap untuk meÂngontrol sepak terjang dan kiÂnerja dari teman-teman kami senÂdiri sesama hakim. Kalau ada yang nakal, tidak segan-seÂgan kami akan laporkan. Itu janji kami,†tegasnya. [Harian Rakyat Merdeka]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.