Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Susah Dapat Solar, Nelayan Berhenti Melaut

Pembelian BBM Dengan Jerigen Dibatasi

Kamis, 29 Maret 2012, 08:58 WIB
Susah Dapat Solar, Nelayan Berhenti Melaut
ilustrasi/ist
RMOL.Maski, 52 tahun menjahit jala di dekat perahu sampan yang biasa digunakannya melaut. Angin yang bertiup kencang menggoyang jaring berwarna putih yang sedang diperbaikinya. Terkadang pandangannya dialihkan ke lautan yang membentang luas.

Warga kota Palu, Sulawesi Tengah ini sudah sepekan tak melaut. Hari-hari bapak tiga anak ini diisi dengan memperbaiki jala yang rusak.

Pemantauan Rakyat Merdeka, di bibir pantai di Palu Barat ini banyak kapal-kapal nelayan yang bersandar. Bila tak memperbaiki jaring nelayan hanya duduk-du­duk di sekitar perahu yang biasa dipakai melaut.

Bukan cuaca yang membuat para nelayan tak bisa melaut. “Su­dah turun-temurun pekerjaan kami itu nelayan. Sejak kecil saya sudah ikut pergi ke laut mencari ikan. Kon­disi cuaca kami pun sudah ter­biasa menghadapinya,” kata Maski.

Ketiadaan bahan bakar minyak (BBM) yang para nelayan tak bisa mencari nafkah. Menjelang kenaikan harga BBM, Pertamina melarang stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) melayani orang yang membeli BBM de­ngan membawa jerigen. Ini untuk mencegah penimbunan.

Pelarangan ini berdampak ke­pada para nelayan yang selama ini membeli BBM dengan meng­gunakan jerigen. Solar digu­nakan untuk menggerakkan motor perahu.

“Kalau sudah begitu, kami-kami inilah yang menjadi kor­bannya. Cari bahan bakar susah. Kalau pun ada harganya jauh le­bih mahal,” kata Maski kesal.

Ia menuturkan SPBU mene­tap­kan kuota pembelian BBM de­ngan jerigen. Untuk bisa membeli dengan jerigen harus ada surat keterangan dari kelurahan dan kecamatan.

Menurut Maski, para nelayan tak mengantongi surat keterangan itu. “Inilah kelemahan kami.” Kata dia, kuota itu akhirnya di­habiskan pedagang bensin eceran yang memegang izin dari ke­lu­rahan dan kecamatan.

“Di sini tidak seperti di Jakarta seperti yang saya lihat di televisi yang jumlah SPBU itu banyak. Disini sangat terbatas sekali jum­lah SPBU dan jaraknya pun jauh antara yang satu dengan yang lainnya,” kata Maski.

Nasib serupa juga dialami Muchlis, nelayan yang kini me­nye­wa­kan perahunya kepada wisatawan. Ma­sa­lah BBM dan juga biaya ope­rasional yang me­ning­kat membuat dirinya harus me­mutar haluan untuk meng­hi­dupi istri dan tiga orang anaknya.

“Sekarang BBM belum naik, apa-apa sudah mengalami ke­nai­kan. Biaya transportasi sudah naik dari biasanya, sementara ikan hasil tangkapan tetap sama harganya,” katanya.

Muchlis menuturkan, sebelum muncul rencana kenaikan harga BBM, dirinya masih bisa pergi ke laut setiap pagi hingga siang hari. Sekali melaut, dia bisa menda­pat­kan dua sampai tiga drum tang­ka­pan mulai jenis ikan tembak, batu, sampai ikan merah.

Untuk ikan tembak, dia biasa menjualnya kepada tengkulak de­ngan harga Rp. 30 ribu per drum. Isi satu drum ­ratusan ekor. Namun kalau mau menjual dengan harga yang lebih tinggi, dirinya harus menyewa mobil untuk pergi ke arah timur sejauh kurang lebih 25 km untuk menjual hasil tangkapannya.

“Tapi sekarang pengeluaran untuk itu semua bertambah, sementara harga jual ikan masih saja sama. Dan di rumah, bagai­mana pun caranya dapur harus tetap ngebul. Makanya saya cari alternatif lain saja,” jelasnya.

Kendati demikian, Muchlis me­ngaku bersyukur dengan na­sib­nya yang masih bisa mencari sampingan lain. Bagi nelayan yang tinggal di Banawa Tengah, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah kenaikan harga BBM benar-benar membawa pengaruh besar bagi mereka.

“Hampir semua warga yang ada disana, mata pencahariannya hanya mengandalkan dari nela­yan saja. Umumnya mereka nelayan yang tangkapannya jauh lebih besar dibanding kami di­sini,” jelas Muchlis.

Kapal yang biasa digunakan mereka melaut ukurannya jauh lebih besar dengan nelayan disini yang hanya sampan saja. Karena ukurannya besar, tentunya bahan bakar yang diperlukan  untuk me­laut juga lebih banyak.

“Mereka itu melaut tidak se­perti kita yang setiap hari pu­lang-pergi. Disana sekali melaut, pa­ling cepat dua minggu baru pu­lang kembali ke kampungnya,” te­rang pria berbadan kurus hitam ini.

Karena melaut dalam waktu lama, para nelayan itu membawa bahan bakar hingga 2-3 drum sekali jalan. Belum lagi dengan persiapan perbekalan makan mereka yang juga tidak kalah besarnya.

“Sekarang untuk 2-3 drum saja, ongkos yang dikeluarkan un­tuk beli bahan bakar sudah le­bih dari Rp 2 juta belum yang lain­nya. Maka kalau BBM nanti benar-benar naik, saya tidak bisa ba­yangkan bagaimana mereka cari modalnya,” kata Muchlis.

Tolak Harga BBM Naik, DPD Tawarkan Energi Alternatif

Kalangan senator kembali menegaskan  menolak rencana kenaikan harga BBM yang akan dilakukan pemerintah pada 1 April mendatang.  Alasannya, masih banyak opsi lain yang bisa ditempuh oleh pemerintah selain menaikan harga BBM.

Ketua Komite II Dewan Per­wakilan Daerah (DPD) Bambang Susilo mengatakan, selama pi­hak­nya melakukan kunjungan ker­ja ke sejumlah daerah banyak hal yang ditemukan. Salah satu­nya, yakni energi alternatif yang bisa digunakan agar tidak ber­gan­tung kepada minyak.

“Ada yang berasal dari hasil per­kebunan seperti kemiri mi­nyak yang bisa dijadikan sema­cam premium dan biosolar. Sa­yangnya hasil penelitian yang luar biasa itu dan sudah lama berlangsung, kurang mendapat respons positif dari pemerintah pusat,” jelasnya.

Tak hanya itu, aspirasi yang selama ini diserap DPD dari hasil kunker ke daerah menyatakan sebagian masyarakat itu menolak untuk kenaikan harga BBM. Belum lagi hasil analisis yang dilakukan internal DPD dengan mengundang banyak pakar.

“Kesimpulannya, alasan pe­merintah untuk menaikan harga BBM itu masih sangat lemah. Ada banyak cara yang bisa di­tem­puh, selain menaikan harga BBM yang jelas akan merugikan rak­yat,” ujar senator asal Kalimantan Timur itu.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPD GKR Hemas menyatakan kalau lembaga yang dipimpinnya itu resmi menolak rencana peme­rintah untuk menaikan harga BBM. Keputusan itu diambil me­lalui forum resmi berupa sidang paripurna DPD pekan lalu.

“Kenaikan harga BBM harus dibatalkan demi rakyat. Peme­rin­tah jangan memaksakan kehen­dak. Masih ada cara lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi defisit anggaran,” ujar Hemas.

Berdasarkan pengamatan DPD, penentangan rakyat terha­dap rencana kenaikan harga BBM murni didasarkan pada tekanan ekonomi yang sudah kelewatan. Pemerintah tak dapat me­nga­bai­kan begitu saja, terutama karena masih terdapat opsi lain yang memungkinkan.

“Akan sangat disayangkan pe­merintah ngotot hanya me­nyo­dor­kan opsi kenaikan harga BBM. Sedangkan opsi lain di­ke­sampingkan. Ini mengundang pertanyaan mengenai tujuan uta­ma dari drama ini,” gugatnya.

Kenaikan harga BBM, lan­jut­nya,  jelas memicu kenaikan har­ga bahan pokok. Muaranya pe­ningkatan beban bagi rakyat. Tidak mungkin pemerintah dapat berdalih bahwa tujuannya demi kesejahteraan rakyat.

“Bila bukan untuk kes­e­jah­te­raan rakyat, maka tujuan ke­nai­kan harga BBM patut diper­tanya­kan. Pihak yang terlihat ber­po­ten­si mendapat keuntungan adalah para peritel bensin asing yang kini menjamur di Jakarta. Ke­naikan harga premium memberi kesempatan mereka bersaing menjajakan bensin dengan harga setara,” imbuhnya.

Minta Dana BLT Dialihkan ke Infrastruktur

Wakil Gubernur Sulawesi Tengah Sudarto menolak opsi pemerintah soal dana bantuan langsung tunai bila BBM jadi dinaikkan.

Alasannya, BLT yang lang­sung dibagikan dalam bentuk dana tunai bukan ke­bi­jakan yang tepat untuk me­ngu­rangi penderitaan masyakarat akibat kenaikan harga BBM.

“Dengan membagikan lang­sung BLT ke masyarakat, ma­sa­lah kemiskinan sama sekali tidak teratasi. Karena BLT ha­nya program jangka pendek saja, sehingga manfaatnya ha­nya sesaat,” ujarnya saat ber­dis­kusi dengan Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Palu, Sulawesi Tengah.

Apalagi, sambungnya, bagi masyarakat yang ada di wilayah timur khususnya yang hidup di dae­rah-daerah pelosok, bantuan dalam bentuk uang terbentur dalam hal penggunaan. Sebab, uang yang masyarakat nantinya diterima tidak langsung bisa dipergunakan untuk biaya hi­dup sehari-hari.

“Harus dibedakan antara di wilayah timur dengan di Jawa. Kalau di Jawa, mungkin uang yang dari BLT masih bisa dija­dikan modal usaha, karena me­mang mudah untuk mema­sar­kan­nya,” kata Darto.

Di wilayah Sulawesi Tengah, kondisi masyarakatnya cen­de­rung tersebar di beberapa titik yang jaraknya berjauhan. Bah­kan untuk satu wilayah ke wi­layah lainnya, selain jauh akses yang harus ditempuh masih dalam kondisi yang mem­prihatinkan.

Karena itu, sambung Su­dar­to, kalau benar pemerintah jadi me­naikkan harga eceran BBM pada 1 April dirinya me­nya­ran­kan agar mekanisme BLT atau pun BLSM (Bantuan Lang­sung Sementara) benar-benar di­per­hatikan. Karena bila tidak tepat sasaran dan salah pe­man­faatan,  kenaikan BBM ini akan benar-benar merugikan ma­syarakat miskin.

“Kalau saya lebih memilih agar mekanisme BLT atau BLSM nanti dialihkan dalam bentuk alokasi anggaran untuk infrastruktur. Dengan begitu, infrastruktur yang nantinya bisa dibangun dengan dana pe­nga­lihan subsidi bisa dinikmati oleh semua kalangan.”

“Masalah utama yang di­hadapi oleh banyak masyarakat di wilayah timur adalah soal infrastruktur yang kurang me­madai. Tentunya pengalihan subsidi BBM ini harus benar-benar bisa menyentuh langsung masyarakat kecil,” kata bekas anggota DPD asal Sulawesi Tengah ini.

Sementara itu, untuk me­ngantisipasi penimbunan BBM menjelang kenaikan harga pada 1 April mendatang, Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djang­gola mengaku siap melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah tempat, termasuk ke SPBU-SPBU yang ada di Kota Palu.

Mi­salnya, pada Kamis (26/3)  Longki yang didampingi bebe­rapa Forum Koordinasi Pim­pi­nan Daerah (FKPD) dan jajaran kepolisian melakukan sidak ke beberapa SPBU di Kota Palu.

“Sidak itu untuk memantau langsung kemungkinan-ke­mung­kinan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab seperti pembuatan surat kete­rangan yang banyak di­sa­lah­gu­nakan,” ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA