Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Empat Kali Bertemu Osama Bin Laden

Lebih Dekat Dengan As’ad Said Ali, Bekas Wakil Kepala BIN

Sabtu, 18 Februari 2012, 09:03 WIB
Empat Kali Bertemu Osama Bin Laden
As’ad Said Ali
RMOL. Lama tak terdengar, nama As’ad Said Ali kembali jadi pembicaraan. Bekas wakil kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ini dianugerahi gelar doktor honoris causa oleh Universitas Diponegoro (Undip). Para aktivitas HAM protes lantaran dia tersangkut kasus kematian Munir.

Setelah pensiun dari BIN dua tahun lalu, As’ad yang kini ber­usia 62 tahun bercokol di Pe­ngurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ia menduduki posisi wakil ketua.

Bagaimana aktivitas As’ad saat ini? Bagaimana dia menanggapi stigma aktivitas HAM bahwa dia terlibat kasus Munir? Berikut liputannya.

As’ad menatap tumpukan un­dangan di atas meja di ruang ker­janya di lantai tiga gedung PBNU Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat. Ia lalu membacanya satu per satu. “Ini undangan dari te­man-teman NU,” kata dia.

Ia mengaku menghabiskan wak­­tunya untuk mengurus orga­nisasi keagamaan terbesar di ne­geri ini. Selain itu, As’ad tengah meram­pungkan sebuah buku. “Dua bulan saya akan me-laun­ching buku yang berkaitan de­ngan terorisme,” kata­nya. Ia masih merahasiakan judul dan isi buku itu.

Sebelumnya As’ad menulis buku yang diberi judul Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Bangsa. Buku itu ia tulis men­jelang pensiun dari BIN. Seorang guru besar Undip rupanya tertarik terhadap gagasan-gagasan As’ad di dalam buku itu.

Enam bulan lalu, As’ad saat di­undang untuk memberikan ce­ramah kepada mahasiswa pasca sar­jana. Sebulan kemudian, As’ad kembali diundang ke kam­pus ini. Kali ini, dia berbicara di de­pan para guru besar.

“Mereka semua tertarik dengan gagasan yang ada di buku saya dan menawarinya untuk men­da­pat­kan gelar doktor kehormatan bidang hukum,” katanya.

Sebagai syarat untuk men­da­pat­kan gelar doktor honoris causa, As’ad diminta membuat makalah untuk dibacakan saat penganugerahan.

Lantaran harus riset terlebih dulu, makalah yang kemudian di­beri judul Tinjauan Yuridis ter­hadap Sarana Hukum sebagai Pe­ngaman Ideologi dan Dasar Negara ini baru rampung setelah tiga bulan. Tebalnya 45 halaman.

Saat pidato penganu­ge­ra­han, As’ad hanya mem­bacakan ­18 ha­laman. “Biar nggak terlalu lama,” kata­nya beralasan.

Penganugerahan gelar kepada As’ad digelar di gedung Prof Soedarto Undip, Sabtu lalu (11/2). Saat acara berlangsung, di luar gedung para aktivitas HAM menggelar aksi unjuk rasa.

Dengan membawa payung hi­tam bertuliskan “Melawan Lupa”, aktivitas memprotes pem­berian gelar doktor honoris causa kepada As’ad.

As’ad tersangkut kasus Munir lantaran kesaksian Indra Setia­wan, bekas dirut PT Garuda In­donesia di persidangan. Indra me­nyebut surat untuk menempatkan Pollycarpus di maskapai itu diteken As’ad.

Pollycarpus dituding sebagai ek­sekutor Munir dalam pener­ba­ngan pesawat Garuda jurusan Ja­karta-Amsterdam pada 2004 lalu. Munir tewas diracun arsenik.

As’ad tak mempersoalkan protes yang disuarakan aktivitas HAM. “Mereka tidak tahu in­for­masi yang lengkap. Tahunya dari koran lalu (saya) disangkut-paut­kan dengan kasus (Munir) itu,” katanya.

As’ad mengaku pernah dua kali diperiksa polisi dalam kasus Mu­nir sebagai saksi. Ke­sak­sian­nya dituangkan dalam berita aca­ra pemeriksaan (BAP).

“Saya tidak pernah meng­hin­dari dari pemeriksaan. Yang pa­ling penting saya tidak pernah men­jadi tersangka maupun terdak­­w­a da­lam kasus tersebut,” katanya.

Mengenai buku yang hendak dirilisnya, As’ad mengatakan te­rorisme tak hanya dilakukan ja­ringan Al Qaeda yang dipimpin Osama Bin Laden. Namun Ame­rika Serikat pun pernah me­la­ku­kan teror di Indonesia. “Bahkan ada beberapa orang yang ter­tang­kap,” kata dia.

Kesaksian As’ad ini tentu tak bisa dianggap remeh. Ia sudah pul­uhan di dunia intelijen. Ka­rier­nya di dunia mata-mata itu di­mu­lai setelah lulus dari Jurusan Hu­bungan Internasional FISIP Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tahun 1974.

“Alhamdulillah setelah mele­wati serangkaian tes selama bebe­rapa bulan akhirnya diterima dan resmi menjadi intelijen akhir ta­hun 1974,” kenangnya.

Keluarganya  As’ad diminta tak cerita mengenai profesi As’ad kepada siapa pun. “Mereka boleh bercerita bila, saya telah duduk di sebagai direktur ataupun pe­jabat penting lainnya,” katanya.

As’ad menuturkan, selama 36 tahun berkarier di intelijen dia pernah bertugas di berbagai me­dan. Juga pernah ditugaskan ke berbagai negara di Timur Tengah.

“Saya delapan tahun di sana. Bergaul dengan masyarakat yang saat itu diidentikkan dengan ne­gara basis teroris,” katanya.

Pada 1984, As’ad tak sengaja bertemu Osama Bin Laden di res­toran Jakarta Oriental di Jeddah, Arab Saudi. Hanya orang kaya Indonesia dan Arab yang bisa makan di sini. “Kalau TKI tidak ada yang ke sini karena mahal sekali makanannya,” katanya.

As’ad empat kali melihat Osa­ma datang ke restoran ini. Kata dia, Osama berpakaian parlente dan mengendarai mobil Roll Royce.

“Saat itu saya tidak tahu itu Osama. Setelah beberapa bu­lan ada berita masalah terorisme dan mengait­kan­nya dengan dia, akhirnya jadi tahu. Tapi setelah itu tidak ber­temu dia lagi,” katanya.

Ngurus Ekonomi Dan Kaderisasi

As’ad Ali diajak masuk NU untuk memperkuatkan orga­ni­sasi keagamaan itu. Ia ditem­pat­kan sebagai wakil ketua PBNU Pria kelahiran Kudus, Jawa Te­ngah, 19 Desember 1949 ini m­engatakan, ia menjadi pen­gu­rus karena diminta Ketua PBNU Said Aqil Siradj dan Rois Am Sahal Mahfud.

Permintaan itu tak bisa ia tolak. “Apalagi sejak kecil saja juga dibesarkan di pesantren NU,” kata alumnus Pondok Pe­santren Krapyak, Yogyakarta asuhan KH Ali Makshum ini.

As’ad pun mengajukan pen­siun dari BIN pada 2010. Sebab, anggota lembaga intelijen tak boleh merangkap jabatan.

“Saat itu umur saya sudah 61 ta­hun, kemudian oleh Pak Tanto memperpanjang jabatan saya se­lama satu tahun karena tenaga saya masih dibutuh­kan,” katanya.

Tanto yang dimaksudnya adalah Sutanto, bekas Kapolri yang ditunjuk SBY menjadi Kepala BIN pada 2009 lalu.

As’ad menjelaskan maksimal usia pejabat di BIN adalah 60 tahun. Namun bisa diper­pan­jang tergantung kebutuhan.

Di NU, As’ad mengurusi kaderisasi dan ekonomi. “Saya sudah membentuk himpunan pengusaha NU dan membuat pameran ekonomi,” katanya

Ia juga memelopori pendirian lembaga keuangan mikro yang membantu perkem­bangan home industri berbasis pertanian.

Lembaga keuangan ini se­perti Syirkah Muawanah atau BPR. “Ini kan jaringan eko­nomi sendiri yang membiayai sendiri. Kalau usahanya su­dah besar ya ke bank, bukan kewajiban NU lagi. Ini tugas pe­merintah,” ujarnya.

Menurutnya, NU organisasi besar. Tapi posisinya lemah bila berhadapan dengan pihak luar. Untuk bisa kuat di bidang eko­nomi mau tak mau harus men­ja­lin kerja sama dengan siapa pun.

“Ekonomi itu tak mengenal agama. Tidak menutup ke­mung­kinan kerjasama dengan siapapun. Ini kalau dikaitkan dengan sistem pluralisme kan keberagaman,” ujarnya.

Tapi NU tak akan mene­rap­kan pola Barat. “Ya Bhinneka Tunggal Ika melalui interaksi sosial, bukan dalam arti akidah. Kan itu sesuai dengan ukhu­wah, satu dan bersaudara, co­cok dengan ukhuwah watho­niah, melihat orang lain bagian dari kita, ringan sama dijinjing, berat sama dipikul,” katanya.

Menurut As’ad, sistem eko­nomi di Indonesia sudah ka­pi­talis murni bahkan neolib. “Saya tidak melawan atau ber­kola­borasi, tetapi bagaimana mem­posisikan ekonomi kita, mau tak mau harus bergaul dengan mereka, tapi tak ikut konsep mereka,” katanya.

As’ad optimistis home in­dus­try bisa bersaing bila diberi ke­sempatan. “Buktinya Taiwan bisa, Jepang bisa,” ujarnya.  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA