Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Percaya Karma, Janji Tak Makan Uang Haram

Persiapan Incumbent Hadapi Seleksi KPU

Sabtu, 21 Januari 2012, 08:55 WIB
Percaya Karma, Janji Tak Makan Uang Haram
Komisi Pemilihan Umum (KPU)

RMOL. Seleksi calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah berjalan. Sejumlah orang dianggap lolos seleksi administratif. Di antara mereka yang melaju ke seleksi tahap berikutnya terdapat nama-nama incumbent.

Mereka yakni Sri Nuryanti, Saut Hamonangan Sirait dan I Gus­ti Putu Artha. Ketiganya menjabat komisioner KPU saat ini. Apa saja persiapan mereka meng­hadapi seleksi tahap be­rikutnya. Yuk kita intip.

Sekitar pukul 9 pagi, mobil Nissan X-Trail bernomor polisi B 1387 RFS memasuki halaman kantor KPU di Jalan Imam Bon­jol, Menteng, Jakarta Pusat.

Dari dalam mobil, turun pria ber­kumis. Ia mengenakan pa­kaian Ende (batik tenun asal Bali) warna biru dipadu dengan celana dari bahan.

Dengan senyumnya yang khas, dia menyapa Rakyat Merdeka yang sudah menunggu di depan pintu masuk gedung KPU.

Dialah I Gusti Putu Artha. Ia men­jadi perbincangan karena kembali mencalonkan diri seba­gai anggota KPU. Apalagi, dia sempat “berseteru” dengan DPR. Putu meminta orang-orang di Senayan jangan mengintervensi seleksi.

Putu lalu mengajak ke ruang kerjanya yang terletak di lantai dua. Ruang kerjanya terletak di sayap kanan gedung tua ini.

Ketika memasuki ruangan kerja berukuran sekitar 8 x 5 meter ini tampak berjejer rapi bangku ukiran. Tempat duduk ini disediakan bagi tamu.

Selain itu, terlihat juga sebuah televisi lengkap dengan pemutar DVD dan beberapa keping CD. Tak jauh dari situ tersedia sebuah dispenser.

Tampak juga meja besar yang di atasnya telah tersedia segelas teh hangat. Di atas meja itu juga tersedia perlengkapan kantor dan tumpukan berkas. Sebuah moni­tor komputer juga mempermudah Putu dalam mencari informasi dan data.

Di belakang bangku kerjanya, tersedia lemari kaca untuk me­naruh buku-buku dan per­leng­kapan lainnya. Di lemari ini pula Putu meletakkan foto ke­luarganya.

Dekat pintu masuk, terdapat papan agenda dan whiteboard yang bisanya digunakan Putu untuk rapat dan menuliskan agenda rapat.

Tak berapa lama, Putu menuju ruangan berukuran 3 x 2 meter. Inilah kamar istirahat anggota KPU. Letaknya masih di dalam ruang kerjanya.

Di dalamnya terdapat sebuah ka­sur berukuran 2 x1 meter, dan ka­mar mandi lengkap dengan pe­ralatan untuk membersihkan diri.

Di dalam kamar istirahat terse­but terdapat sebuah lemari pen­dingin satu pintu. Begitu dibuka terlihat beberapa makanan instan dan minuman non alkohol.

Di atas lemari pendingin terse­but, terdapat minyak wangi, tusuk gigi, pembersih telinga dan sou­venir dari Tana Toraja. Buah ta­ngan itu pemberian dari anggota KPU setempat.

Putu mengaku, tak ada yang spesial di ruangan kecil ini. Na­mun manfaatnya baginya sangat besar. Terutama untuk sejenak menghilangkan kepenatan kerja. “Walau kecil, saya tertolong de­ngan keberadaannya.”

Setelah itu, Putu mengambil air suci, kembang dan dupa. Benda-ben­da itu merupakan perleng­ka­pan sembahyang bagi umat Hin­du. Seperti kebanyakan orang Bali, Putu menganut agama Hindu.

Aktivitas sembahyang dilaku­kan bapak tiga anak ini sebelum memulai kegiatan. Biasanya, dia sembahyang selama 15 menit. Ritual ini biasa dia lakukan di ru­mah maupun di pura.

“Maaf saya sembahyang dulu. Biasanya saya berdoa dua kali. Pertama di rumah dan sebelum beraktifitas di kantor,” ucapnya.

Pria yang menempati rumah dinas di  kawasan Pejaten rumah bernomor  23 A ini mengaku se­telah sembahyang barulah dia me­mulai pekerjaan.

Saat ditanya mengenai seleksi anggota KPU, Putu mengaku ti­dak memiliki persiapan khusus menghadapinya.

Dia menuturkan hanya perlu membuka kembali berbagai pe­raturan mengenai pemilu. Dari segi kompetensi dia merasa sudah cukup. Juga merasa memiliki ba­nyak berpengalaman untuk me­nyelenggarakan pesta demokrasi.

Menurut Putu, selain kemam­puan praktis, kemampuan segi teoritis harus diasah kembali. Ter­utama mengenai konsep daerah pemilihan (dapil), konsep sistem pemilu dan peraturan perundang-undangan.

“Saya hanya melakukan pen­da­laman kemampuan teoritis saja, karena ternyata dalam tes kom­petensi itu semua dita­nya­kan. Selebihnya hanya menjaga fisik agar tidak sakit,” ujarnya.

Putu mengaku sangat ikhlas da­lam menerima keputusan se­lek­si nanti, “Posisi saya ikhlas ba­nget, kalau negara menganggap saya masih cukup layak dan bisa memberikan kontribusi kepada bangsa dan negara, saya ber­terima kasih.”

Putu bercerita, jika negara mel­ihat dirinya selama menjadi ang­gota KPU cukup bagus dengan menjaga integritas dan komit­men, dia berjanji akan akan men­jaga kompetensi itu.

“Buat saya bekerja apapun ha­rus bermanfaat  untuk orang ba­nyak dan buat saya di KPU secara ekonomi sudah cukup,” katanya sambil tersenyum.

Dia menilai kehormatan lebih mahal dari apapun yang ada di dunia. Karena kehormatan itulah yang diharapkan komunitas ma­syarakat Bali.

“Saya tidak mewakili diri sen­diri, tetapi mewakili komunitas saya sebagai orang Bali di In­do­nesia dan mereka berharap ba­nyak saya bisa menjaga citra se­ba­gai orang Indonesia yang ke­betulan lahir sebagai orang Bali,” ungkapnya.

Putu melihat dukungan itu sering menjadi beban. Kedua orang tua yang selalu meng­ingat­kannya untuk tidak melakukan hal buruk yang bisa merusak citra masyarakat Bali.

Sambil memandang ke atas, Putu mengatakan dari sisi ke­ya­kinan ada dua hal yang sangat di­yakininya, yakni konsep hukum karma dan reinkarnasi.

Dalam kehidupan, lanjut Putu, apa yang kita lakukan di dunia hasilnya pasti akan kita terima dengan langsung. “Kebetulan saya sudah merasakan man­faat­nya betul. Jadi saya percaya itu.”

Putu mengaku, selama ini dia tidak pernah mau memakai uang kotor. Sebab dia meyakini jika anak dan istrinya diberi makan dari hasil uang kotor, maka pe­rilakunya akan buruk karena da­rahnya telah menjadi kotor.

Jabatan KPU baginya meru­pa­kan jabatan terhormat yang jum­lahnya terbatas, diperebutkan oleh 238 juta orang Indonesia.

“Orang yang ada di antara ke­tujuh anggota KPU adalah orang terhormat. Karena dia orang terhormat, maka itulah yang per­tama-tama harus dijaga adalah integritas dan komitmen sampai akhir masa jabatan,” katanya.

Putu mengungkapkan, saat melakukan tes psikologi dirinya sempat dicurigai Tim Seleksi ka­rena hanya memanfaatkan ja­ba­tan KPU sebagai batu loncatan.

Dengan tegas Putu bersumpah dirinya tak pernah terbersit itu dibenaknya. Ia siap sewaktu-wak­tu pulang kampung jika di­anggap sudah tak berguna.

Di Bali, Putu bisa membuat ya­ya­san untuk membantu me­nye­kolahkan anak-anak miskin dan telantar di Bali.

“Menurut saya membuat ya­yasan sama mulianya menjadi ke­tua KPU. Pantang bagi saya ja­batan KPU hanya dijadikan batu loncatan,” tegasnya.

Wah, Komisioner Baru Perlu Adaptasi 8 Bulan

Tiga anggota KPU mengikuti se­leksi calon anggota KPU pe­riode 2012-2017. Kritikan dan du­kungan terhadap mereka pun bermunculan.

I Gusti Putu Artha, anggota KPU yang mendaftar lagi tak am­bil pusing dengan kritik yang di­tujukan kepada mereka. Ia ber­tekad mengikuti setiap tahapan seleksi.

Pria yang akrab disapa Putu me­nganggap mengurusi pe­nye­lenggaraan pemilu merupakan pe­kerjaan yang enjoy.

Selain itu, jabatan seperti yang saat ini ia duduki memiliki dam­pak yang sangat besar bagi ma­syarakat Indonesia.

“Saya ingin pekerjaan ini ka­rena efek yang luar biasa bagi ke­hidupan masyarakat, makanya saya mau mencalonkan lagi ke sini,” ungkapnya.

Menurut Putu, banyak peker­jaan KPU yang belum tuntas. Untuk menuntaskannya harus ada orang lama yang duduk di KPU. Juga untuk kepentingan regenerasi.

“Tidak seperti halnya ketika kita semuanya masih baru. Saat itu seluruh anggota KPU bu­tuh penyesuaian delapan bulan.”

Putu menceritakan peng­a­la­man dirinya dan komisioner lain­nya. Di masa awal menjadi ang­gota KPU, mereka belum bisa be­kerja karena perlu melakukan penyesuaian dengan kesekjenan dan program-program yang ada.

“Kalau ada orang lama, ten­tu­nya ada yang memandu proses ini dengan cepat, agar adaptasinya ti­dak lama,” ungkapnya.

Putu menuturkan, dirinya ber­mimpi seluruh persoalan yang sem­pat muncul dari sisi regulasi dan kompetensi dapat selesai tahun ini.

Sebab itu, dia merasa perlu un­tuk mencalonkan kembali men­jadi anggota KPU. Dalam pan­dangannya, di lembaga ini harus ada orang yang benar-benar me­ngerti permasalahn, punya kom­petensi, berpengalaman dan yang terpenting adalah memiliki integ­ritas, “Saya merasa adalah bagian dari itu, maka saya me­n­calonkan diri,”

Saat ditanya apakah dirinya ti­dak takut dijegal saat fit and pro­per test di DPR, Putu yakin lolos karena memiliki kemampuan un­tuk menjadi anggota KPU. “Ka­lau ada penilaian politik yang ber­beda, saya serahkan penilaiannya pada DPR,” ka­tanya.

Belum Dites, Sudah Dianggap Gagal

Nama tiga komisioner, I Gusti Putu Artha, Saut Hamongan Sirait dan Sri Nuryanti  berada di antara 106 nama calon yang dinyatakan lulus seleksi ad­ministrasi calon anggota KPU periode 2012-2017. Mereka ber­­hak melaju ke tahapan se­leksi selanjutnya, yaitu tang­ga­pan masyarakat terhadap para calon ini.

Para komisioner itu disorot karena penyelenggaraan Pemi­lu 2009 dianggap amburadul dan banyak terjadi kesalahan. Bun­tutnya, mereka dianggap tak sukses menyelenggarakan pes­ta demokrasi lima tahunan itu.

Beberapa anggota Komisi II DPR mengancam akan men­coret nama-nama incumbent yang kembali ikut seleksi calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Menurut anggota Komisi II Arif Wibowo, DPR memiliki hak untuk mengembalikan nama-nama yang diserahkan Tim Seleksi Calon Anggota KPU pada saat pelaksanaan uji kelayakan dan kepatutan.

“Mengembalikannya hanya sebagian, bukan semua nama dan pada saat fit and proper test, bukan pada saat Timsel (tim seleksi) menyampaikan lapo­ran. Sebab, DPR tidak bisa me­ngintervensi, hanya mengetahui sejauh mana apa yang dila­ku­kan Timsel, termasuk instru­men apa yang digunakan seba­gai metode rekrutmen,” ujarnya di gedung DPR.

Politikus dari FPDIP itu me­nyatakan, kemungkinan besar nama-nama seperti I Gusti Putu Artha dan Sri Nuryanti akan di­kembalikan kepada pemerintah. Sebab, mereka merupakan ang­go­ta KPU yang terlibat dalam Pe­milu 2009 yang dinilai seba­gai pemilu paling karut marut dalam sejarah pemilihan umum di Indonesia.

Adapun nama Saut Sirait masih bisa dipertimbangkan me­ngingat yang bersangkutan belum tercatat sebagai anggota KPU saat penyelenggaraan pemilu.

“Tapi bukan berarti kami mendukung Saut karena kami juga harus obyektif. Untuk Putu Artha dan Sri Nuryanti terlibat pada Pemilu 2009. Sebenarnya hal ini kembali pada diri mereka sendiri. Sebab, mereka bagian dari yang gagal. Bahkan, Pan­sus DPR saat itu mereko­men­dasikan untuk pemberhentian kok mereka nekat nyalon lagi,” papar Arif.

Anggota Komisi II dari Frak­si PKB, Malik Haramain me­nam­bahkan, pihaknya sebenar­nya berharap anggota KPU in­cumbent tidak mencalonkan diri kembali karena sudah dianggap gagal. “Seharusnya tugas ini di­berikan pada orang yang tepat dan mampu,” katanya.

Pihak di luar parlemen sedikit membela komisioner yang ikut seleksi KPU. Ketua Umum Par­tai Gerindra, Suhardi tidak mem­­permasalahkan anggota Ko­misi Pemilihan Umum (KPU) yang kembali menca­lon­kan diri se­bagai komisioner untuk periode yang akan datang.

Namun, ada catatan yang harus ditekankan kepada para calon incumbent tersebut. “Ca­lon incumbent diharapkan tidak mengulangi kesalahan-ke­salahan KPU pada Pemilu 2009,” katanya.

Seperti diketahui, pada Pe­milu 2009 yang dianggap masih jauh dari sempurna itu, tahapan demi tahapan seolah diper­ma­sa­lahkan banyak pihak, mulai masalah daftar pemilih tetap, berbagai kecurangan saat pelak­sanaan pemilihan, hingga re­ka­pitulasi suara.

Menurut Suhardi, hal tersebut hendaknya menjadi pem­be­la­jaran bagi calon-calon in­cum­bent tersebut agar bisa langsung memahami sistem penye­le­ng­garaan pemilu. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA