Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Bikin KTP, Numpang Domisili di RT Lain

Warga Tanah Merah Tak Diakui Keberadaannya

Minggu, 15 Januari 2012, 08:51 WIB
Bikin KTP, Numpang Domisili di RT Lain
ilustrasi/ist
RMOL.Dinding beton setinggi dua meter berdiri memanjang di Tanah Merah, Plumpang, Jakarta Utara. Di beberapa bagian menempel dengan dinding rumah warga.

Dinding beton dibangun  Pertamina. Dinding itu sebagai buffer zona (zona penyangga) se­kaligus pembatas Depo Per­ta­mina Plumpang dengan pemu­kiman warga.

Di balik dinding beton itu, ter­da­pat kawasan Tanah Merah Ba­wah. Kawasah ini terdiri dari enam rukun tetangga (RT) yang bernaung di bawah satu rukun warga (RW). Namun semua RT dan RW ini merupakan wilayah bayangan.

Apa sebab? “Enam RT dan 1 RW yang ada di Tanah Merah Bawah ini dibentuk berdasarkan kesepakatan warga. Bukan diben­tuk karena perintah kelurahan. Jadi RT dan RW disini tidak ter­daftar di kantor kelurahan s­etem­pat,” ujar Ucok, warga Tanah Me­rah Bawah.

Ucok menuturkan, untuk men­jalin persaudaraan dan persatuan antar warga, dibentuklah Forum Tanah Merah Bersatu.

Lewat forum inilah, warga menentukan batas RT dan RW bayangan ini.

“Tujuannya agar kalau ada tamu yang ingin mencari kerabat­nya di Tanah Merah bisa dengan mudah menemukannya ber­da­sar­kan alamat RT/RW yang sudah ada,” jelas pria asal Medan, Su­ma­tera Utara ini.

Seperti diketahui, Senin lalu, warga Tanah Merah Bawah ber­unjuk rasa di depan Kementerian Dalam Negeri, Jakarta. Mereka menuntut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengakui mereka sebagai warga Jakarta.

Dalam aksi itu, Ketua Forum Ko­munikasi Tanah Merah Ber­satu, Muhammad Yudha me­minta pemerintah merea­lisa­si­kan pem­bentukan RT dan RW di tempat tinggal mereka. Juga me­ner­bit­kan KTP buat mereka dan akta kelahiran berdasarkan domisili.

Selain berorasi, Forum juga memasang spanduk dan poster-poster berisi tuntutan dan ke­ca­man. Salah satu spanduk yang dipasang di pagar gedung berisi tuntutan agar Gubernur DKI Jakarta diberhentikan karena tak menerbitkan KTP buat mereka dan mengesahkan RT dan RW bentukan warga.

Tuntutan lainnya agar diter­bitkan e-KTP dan kartu keluarga sesuai domisili sebenarnya. Un­tuk memperjuangkan tuntu­tan­nya, warga Tanah Merah ini me­milih menginap di kantor Ke­men­trian Dalam Negeri.

Bahkan, hingga Jumat (13/1) beberapa perwakilan warga ma­sih bertahan di dalam tenda yang dipasang persis di depan Gedung Kemendagri, Jakarta.

Kawasan Tanah Merah Bawah bisa ditempuh dari di Jalan Ko­man­do, Rawa Badak Selatan, Plumpang, Jakarta Utara. Jalan ini hanya bisa dilewati satu ken­daraan roda empat. Aspal yang melapisi jalan ini banyak yang mengelupas.

Warga Tanah Merah Bawah yang menuntut diakui ke­be­ra­da­an­nya tinggal di sisi kanan jalan. Sementara mereka yang tinggal di sisi kiri diakui keberadaannya se­bagai warga Rawa Badak Selatan.

Rumah-rumah di Tanah Merah Bawah dibangun permanent. Letaknya berdempetan satu de­ngan yang lainnya.

Kawasan ini termasuk padat penduduk. Satu rukun tetangga bisa terdiri dari 150 hingga 200 kepala keluarga. Bila ditambah dengan anak-anak mereka warga di sini bisa mencapai ribuan.

Pantauan Rakyat Merdeka, ma­yoritas warga yang tinggal di Tanah Merah Bawah berprofesi sebagai pedagang, pemulung dan lapak barang bekas. Hal itu ter­lihat dari beberapa lapak besar mi­lik warga yang dijumpai ham­pir di setiap RT.

Apakah mereka memiliki kartu identitas? Ucok yang sudah tinggal di daerah ini sejak tahun 1988 mengaku memiliki KTP dan Kartu Keluarga untuk tiga orang anaknya. Namun, alamat KTP dan KK yang di­pe­gangnya tak se­suai domisili tem­pat tinggalnya.

“Saya tinggal di RT 17 RW 01, tetapi KTP dan KK saya me­num­pang di RT 06 RW 01. Jadi kami menumpang identitas dengan RT lain yang terdaftar di kelurahan,” jelasnya.

Hal senada juga disampaikan Ira, 53 tahun warga RT 12 RW 01, Tanah Merah Bawah. Ira yang sudah 18 tahun tinggal di daerah tersebut juga memiliki kartu iden­titas. Tapi alamatnya menumpang di RT lain.

“Tentunya karena numpang kalau mau urus apa-apa jadi ribet. Aneh aja, kami tinggal di mana, bikin KTP dan KK serta ke­per­luan lainnya, tidak sesuai dengan alamat di sini,” jelasnya.

Ira menuturkan, untuk me­ngurus sesuatu di Kelurahan Ra­wa Badak Selatan, dirinya terle­bih dahulu mendatangi RT tem­pat­nya tinggal. Setelah selesai dari RT tempatnya tinggal, Ira tidak bisa langsung ke RW apa­lagi ke kelurahan.

Karena dari RT tempatnya tinggal, dia harus kembali datang ke RT yang selama ini dijadikan tempat menumpang.

“Saya yang tinggal RT 12, lan­tas mendatangi RT 01 yang se­lama ini dijadikan tempat tum­pa­ngan. Dari situ baru saya dapat pengantar untuk urus ke RW dan selanjutnya ke Kelurahan hingga Kecamatan,” jelasnya.

Meskipun masih bisa me­ngu­rus ke Kelurahan, Ira mengaku masih tidak nyaman dengan pro­sedur yang sudah berjalan selama belasan tahun ini. Baginya, pro­ses yang dijalaninya itu membuat warga yang tinggal di Tanah Me­rah seperti mahluk asing.

“Untung saja warga di sini berinisiatif untuk membentuk RT dan RW sendiri meskipun tidak diakui. Jadi kami bisa memiliki RT dan RW termasuk nomor rumah, sehingga bisa memudah­kan keluarga kalau mau cari ala­mat di sini,” jelasnya.

Namun menurut Ketua Forum Komunikasi Tanah Merah Ber­satu, Muhammad Yudha, untuk mendapatkan KTP, warga me­nempuh cara ilegal. Yakni dengan cara ‘nembak’ petugas kelurahan. Untuk itu, warga harus menge­luarkan uang Rp 400 ribu.

“Itu mereka lakukan karena dipaksa oleh sistem agar mereka mendapat fasilitas pendidikan, kesehatan, dan peluang kerja yang seharusnya memang hak me­reka,” ujar Yudha.

Ia heran, mengapa pemerintah tidak peduli terhadap hak warga mendapatkan KTP. Sementara warga asing, seperti para pemain sepak bola dengan mudah men­dapat fasilitas yang sama.

“Apa mereka harus ber­bo­n­dong-bondong minta suaka po­litik ke Malaysia? Itu naif. Me­reka punya rasa nasionalisme!” tegas Yudha.

Tetap Dapat Raskin dan Layanan Kesehatan

Setelah ditongkrongi dua hari, pihak Kementerian Dalam Negeri akhirnya bersedia mene­mui warga Tanah Merah. Adalah Sekretaris Jenderal Kementrian Dalam Negeri, Diah Anggraeni yang langsung datang dan berhadapan dengan ribuan warga yang be­r­tahan di depan kantor Mendagri.

Diah berjanji akan mem­per­hatikan tuntutan warga Tanah Me­rah untuk mendapatkan hak­nya memperoleh KTP. Diah ber­janji dalam pekan ini sudah ada ka­bar realisasi atas tuntutan warga.

Namun, hingga Jumat (13/1), warga Tanah Merah mengaku be­lum mendapatkan realisasi janji yang disampaikan pihak Ke­men­dagri dua hari sebelumnya.

Karena itu sebanyak 20 orang de­legasi dari warga tanah merah kembali mendatangi Kemen­te­rian Dalam Negeri.

Kedatangan mereka untuk me­nagih janji Mendagri, Gamawan Fauzi terkait pegadaan KTP bagi warga Tanah Merah. Soalnya, war­ga sudah bosan dengan janji-janji yang diberikan pemerintah, baik pihak Pemda DKI sampai dengan pemerintah pusat.

“Tanggal 10 Januari kemarin, kami aksi di sini, diterima Sekjen Diah Anggraeni. Dia sudah me­nyatakan bahwa KTP harus di­be­rikan kepada warga Tanah Merah. Tapi sampai saat ini tidak ada tin­dakan tegas dari Mendagri,” ujar Ketua Forum Komunikasi Tanah Merah Bersatu Yudha.

Menurut Yudha, tuntutannya tersebut merupakan suatu yang wajar dikabulkan oleh peme­rin­tah. Apalagi, warga Tanah Merah, mayoritas sudah tinggal di situ sejak puluhan tahun lalu.

“Masa Christian Gonzales (pe­main bola) dengan mudah men­dapatkan status kewar­gane­ga­ra­an, sementara kami yang pen­duduk asli dan sudah berpuluh-puluh tahun lalu tinggal di sini ma­sih tidak diakui,” ujarnya.

Sebelumnya, Walikota Jakarta Utara Bambang Sungkono mene­gaskan, warga yang bermukim di Tanah Merah tidak akan men­dapat kartu tanda penduduk DKI Jakarta. Selain itu, kecil ke­mung­kinan pembentukan rukun tetang­ga dan rukun warga di atas lahan ilegal diizinkan.

“Tanah Merah itu bukan lahan legal untuk permukiman se­hing­ga pendataan KTP di Suku Dinas Kependudukan tidak ada,” kata Bambang menegaskan.

Meski demikian, lanjut Bam­bang, demi kemanusiaan, pihak­nya tetap akan memberi pela­ya­nan pengobatan, akta kelahiran, surat kematian, dan bantuan beras untuk rakyat miskin.

Ia juga yakin setiap warga yang tinggal di Tanah Merah memiliki KTP meski belum tentu KTP DKI. “Kalau soal pembentukan RT-RW, itu wewenang Peme­rin­tah Provinsi (DKI Jakarta), dalam hal ini Muspida DKI, dan Ke­men­terian Dalam Negeri. Tapi, kemungkinan mengenai hal ini kecil,” tuturnya.

Aneh, Saat Pemilu Selalu Diajak Nyoblos

Selama puluhan tahun, war­ga Tanah Merah, Bawah, Rawa Badak Selatan, Plumpang Ja­karta Utara tidak diakui hak-haknya sebagai warga negara. Tak heran, hingga sampai saat ini domisili mereka tak terdaftar di kelurahan setempat.

Tapi untuk urusan politik ter­nyata keberadaan warga Tanah Merah Bawah diakui. Ini ter­bukti dalam setiap pe­nye­leng­gara pemilihan umum (pemilu), pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) maupun pe­milihan gubernur (pilgub).

“Saya juga heran kenapa kami memiliki hak suara. Pa­dahal untuk domisili, kami sama sekali tidak diakui. Tapi se­­tiap pemilu, kami dilibatkan,” ujar Ucok, warga RT 17 RW 1, Ta­nah Merah saat ditemui Rak­yat Merdeka di rumahnya.

Saat pemilu dan pilgub DKI digelar, masing-masing RT yang ada di Tanah Merah dise­dia­kan 1 TPS bagi warganya mem­be­rikan hak suara. Padahal warga di sini tak pernah didata untuk keperluan data pemilih. Sebab, domisili mereka tak diakui.

“Sekarang kalau suara kami secara politik itu diakui, kenapa secara kependudukan tidak. Tolonglah pemerintah bersikap bijak pada kami dengan me­ngakui warga di sini sama de­ngan yang lain,” ujarnya.

Ketua Forum Komunikasi Tanah Merah Bersatu, Muham­mad Yudha juga membenarkan kalau warganya memiliki hak suara dalam pemilu. Menurut­nya, saat musim pilkada, pemilu dan pilpres warga menjadi re­butan partai politik (parpol).

“Setiap menjelang pemilihan, seluruh warga didata. TPS (tem­pat pemungutan suara) didi­ri­kan. Jumlahnya sampai 36 TPS. Usai pemilihan, warga diang­gap warga uka-uka, orang liar,” ucapnya.

Rawa-rawa Itu Kini Jadi Pemukiman Padat

Ucok 37 tahun tidak mem­bantah kalau tanah yang di­tem­patinya itu bukanlah miliknya maupun peninggalan orang tua­nya. Namun dia menolak tanah ini disebut sebagai tanah seng­keta dan ilegal. Menurut dia, tanah ini tak bertuan yang tidak jelas siapa pemiliknya.

Dia menuturkan, pemukiman tempat tinggalnya sekarang ini dulu rawa-rawa yang tidak ada penghuninya. Saat dia dan orang tuangnya datang kesini, hanya ada sekitar sepuluh ru­mah yang berdiri di atas rawa.

“Saya pun ikut tinggal disini dan ikut membangun rumah. Bedanya kalau dulu bentuknya rumah panggung, karena di bawahnya masih tergenang air,” jelasnya.

Lama-kelamaan, banyak pendatang yang ikut tinggal di situ dan membangun rumah. Ka­rena jumlahnya semakin ba­nyak, warga pun berinisiatif menguruk rawa dengan tanah merah hingga akhirnya men­jadi daratan. Makanya kawa­san ini kemudian diberi nama Tanah Merah.

Setelah menjadi daratan itu­lah, pemukiman ini semakin ra­mai. Banyak warga yang mem­bangun rumah permanen. “Su­dah tak ada lagi rumah pang­gung yang ada rumah ber­din­ding kayu atau batu yang kini di­tempati oleh warga,” jelasnya.

Pria yang sehari-hari menga­ku bekerja serabutan ini me­nga­ku sampai hari ini tidak me­mi­liki sertifikat tanah tempatnya tinggal. Karena memang sejak dulu, warga tak tahu siapa se­benarnya pemilik tanah yang mereka tempati.

Namun, kalau mau mengacu pada Undang-undang Agraria, menurut Ucok, tanah itu bisa menjadi milik warga. Ber­da­sar­kan peraturan tersebut, sebuah tanah garapan yang tidak ber­tuan lalu ditempati selama 15 ta­hun lebih, bisa jadi milik orang yang menempatinya.

“Tapi untuk bisa memiliki ta­nah ini, itu masih terlalu jauh bagi kami. Saat ini yang penting kami memiliki domisili yang jelas berupa KTP, KK (Kartu Ke­luarga) sesuai dengan tempat tinggal. Biar mau urus segala se­suatu menjadi mudah,” ujarnya.

Bagaimana kalau digusur? Ayah tiga anak ini siap kalah sewaktu-waktu dipaksa angkat kaki dari tempatnya tinggal. Asal­nya, pemerintah mem­per­hatikan nasib ribuan orang yang sudah menjadi penghuni kawa­san ini sejak puluhan tahun lalu.

“Kalau saya mungkin siap, tapi tidak tahu bagaimana yang lain. Hanya yang perlu diingat, kami manusia bukan hewan. Ka­lau mau tempat tinggal kami digusur, perhatikan dong nasib kami nantinya,” pintanya.. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA