Dinding beton dibangun Pertamina. Dinding itu sebagai buffer zona (zona penyangga) seÂkaligus pembatas Depo PerÂtaÂmina Plumpang dengan pemuÂkiman warga.
Di balik dinding beton itu, terÂdaÂpat kawasan Tanah Merah BaÂwah. Kawasah ini terdiri dari enam rukun tetangga (RT) yang bernaung di bawah satu rukun warga (RW). Namun semua RT dan RW ini merupakan wilayah bayangan.
Apa sebab? “Enam RT dan 1 RW yang ada di Tanah Merah Bawah ini dibentuk berdasarkan kesepakatan warga. Bukan dibenÂtuk karena perintah kelurahan. Jadi RT dan RW disini tidak terÂdaftar di kantor kelurahan sÂetemÂpat,†ujar Ucok, warga Tanah MeÂrah Bawah.
Ucok menuturkan, untuk menÂjalin persaudaraan dan persatuan antar warga, dibentuklah Forum Tanah Merah Bersatu.
Lewat forum inilah, warga menentukan batas RT dan RW bayangan ini.
“Tujuannya agar kalau ada tamu yang ingin mencari kerabatÂnya di Tanah Merah bisa dengan mudah menemukannya berÂdaÂsarÂkan alamat RT/RW yang sudah ada,†jelas pria asal Medan, SuÂmaÂtera Utara ini.
Seperti diketahui, Senin lalu, warga Tanah Merah Bawah berÂunjuk rasa di depan Kementerian Dalam Negeri, Jakarta. Mereka menuntut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengakui mereka sebagai warga Jakarta.
Dalam aksi itu, Ketua Forum KoÂmunikasi Tanah Merah BerÂsatu, Muhammad Yudha meÂminta pemerintah mereaÂlisaÂsiÂkan pemÂbentukan RT dan RW di tempat tinggal mereka. Juga meÂnerÂbitÂkan KTP buat mereka dan akta kelahiran berdasarkan domisili.
Selain berorasi, Forum juga memasang spanduk dan poster-poster berisi tuntutan dan keÂcaÂman. Salah satu spanduk yang dipasang di pagar gedung berisi tuntutan agar Gubernur DKI Jakarta diberhentikan karena tak menerbitkan KTP buat mereka dan mengesahkan RT dan RW bentukan warga.
Tuntutan lainnya agar diterÂbitkan e-KTP dan kartu keluarga sesuai domisili sebenarnya. UnÂtuk memperjuangkan tuntuÂtanÂnya, warga Tanah Merah ini meÂmilih menginap di kantor KeÂmenÂtrian Dalam Negeri.
Bahkan, hingga Jumat (13/1) beberapa perwakilan warga maÂsih bertahan di dalam tenda yang dipasang persis di depan Gedung Kemendagri, Jakarta.
Kawasan Tanah Merah Bawah bisa ditempuh dari di Jalan KoÂmanÂdo, Rawa Badak Selatan, Plumpang, Jakarta Utara. Jalan ini hanya bisa dilewati satu kenÂdaraan roda empat. Aspal yang melapisi jalan ini banyak yang mengelupas.
Warga Tanah Merah Bawah yang menuntut diakui keÂbeÂraÂdaÂanÂnya tinggal di sisi kanan jalan. Sementara mereka yang tinggal di sisi kiri diakui keberadaannya seÂbagai warga Rawa Badak Selatan.
Rumah-rumah di Tanah Merah Bawah dibangun permanent. Letaknya berdempetan satu deÂngan yang lainnya.
Kawasan ini termasuk padat penduduk. Satu rukun tetangga bisa terdiri dari 150 hingga 200 kepala keluarga. Bila ditambah dengan anak-anak mereka warga di sini bisa mencapai ribuan.
Pantauan Rakyat Merdeka, maÂyoritas warga yang tinggal di Tanah Merah Bawah berprofesi sebagai pedagang, pemulung dan lapak barang bekas. Hal itu terÂlihat dari beberapa lapak besar miÂlik warga yang dijumpai hamÂpir di setiap RT.
Apakah mereka memiliki kartu identitas? Ucok yang sudah tinggal di daerah ini sejak tahun 1988 mengaku memiliki KTP dan Kartu Keluarga untuk tiga orang anaknya. Namun, alamat KTP dan KK yang diÂpeÂgangnya tak seÂsuai domisili temÂpat tinggalnya.
“Saya tinggal di RT 17 RW 01, tetapi KTP dan KK saya meÂnumÂpang di RT 06 RW 01. Jadi kami menumpang identitas dengan RT lain yang terdaftar di kelurahan,†jelasnya.
Hal senada juga disampaikan Ira, 53 tahun warga RT 12 RW 01, Tanah Merah Bawah. Ira yang sudah 18 tahun tinggal di daerah tersebut juga memiliki kartu idenÂtitas. Tapi alamatnya menumpang di RT lain.
“Tentunya karena numpang kalau mau urus apa-apa jadi ribet. Aneh aja, kami tinggal di mana, bikin KTP dan KK serta keÂperÂluan lainnya, tidak sesuai dengan alamat di sini,†jelasnya.
Ira menuturkan, untuk meÂngurus sesuatu di Kelurahan RaÂwa Badak Selatan, dirinya terleÂbih dahulu mendatangi RT temÂpatÂnya tinggal. Setelah selesai dari RT tempatnya tinggal, Ira tidak bisa langsung ke RW apaÂlagi ke kelurahan.
Karena dari RT tempatnya tinggal, dia harus kembali datang ke RT yang selama ini dijadikan tempat menumpang.
“Saya yang tinggal RT 12, lanÂtas mendatangi RT 01 yang seÂlama ini dijadikan tempat tumÂpaÂngan. Dari situ baru saya dapat pengantar untuk urus ke RW dan selanjutnya ke Kelurahan hingga Kecamatan,†jelasnya.
Meskipun masih bisa meÂnguÂrus ke Kelurahan, Ira mengaku masih tidak nyaman dengan proÂsedur yang sudah berjalan selama belasan tahun ini. Baginya, proÂses yang dijalaninya itu membuat warga yang tinggal di Tanah MeÂrah seperti mahluk asing.
“Untung saja warga di sini berinisiatif untuk membentuk RT dan RW sendiri meskipun tidak diakui. Jadi kami bisa memiliki RT dan RW termasuk nomor rumah, sehingga bisa memudahÂkan keluarga kalau mau cari alaÂmat di sini,†jelasnya.
Namun menurut Ketua Forum Komunikasi Tanah Merah BerÂsatu, Muhammad Yudha, untuk mendapatkan KTP, warga meÂnempuh cara ilegal. Yakni dengan cara ‘nembak’ petugas kelurahan. Untuk itu, warga harus mengeÂluarkan uang Rp 400 ribu.
“Itu mereka lakukan karena dipaksa oleh sistem agar mereka mendapat fasilitas pendidikan, kesehatan, dan peluang kerja yang seharusnya memang hak meÂreka,†ujar Yudha.
Ia heran, mengapa pemerintah tidak peduli terhadap hak warga mendapatkan KTP. Sementara warga asing, seperti para pemain sepak bola dengan mudah menÂdapat fasilitas yang sama.
“Apa mereka harus berÂboÂnÂdong-bondong minta suaka poÂlitik ke Malaysia? Itu naif. MeÂreka punya rasa nasionalisme!†tegas Yudha.
Tetap Dapat Raskin dan Layanan Kesehatan
Setelah ditongkrongi dua hari, pihak Kementerian Dalam Negeri akhirnya bersedia meneÂmui warga Tanah Merah. Adalah Sekretaris Jenderal Kementrian Dalam Negeri, Diah Anggraeni yang langsung datang dan berhadapan dengan ribuan warga yang beÂrÂtahan di depan kantor Mendagri.
Diah berjanji akan memÂperÂhatikan tuntutan warga Tanah MeÂrah untuk mendapatkan hakÂnya memperoleh KTP. Diah berÂjanji dalam pekan ini sudah ada kaÂbar realisasi atas tuntutan warga.
Namun, hingga Jumat (13/1), warga Tanah Merah mengaku beÂlum mendapatkan realisasi janji yang disampaikan pihak KeÂmenÂdagri dua hari sebelumnya.
Karena itu sebanyak 20 orang deÂlegasi dari warga tanah merah kembali mendatangi KemenÂteÂrian Dalam Negeri.
Kedatangan mereka untuk meÂnagih janji Mendagri, Gamawan Fauzi terkait pegadaan KTP bagi warga Tanah Merah. Soalnya, warÂga sudah bosan dengan janji-janji yang diberikan pemerintah, baik pihak Pemda DKI sampai dengan pemerintah pusat.
“Tanggal 10 Januari kemarin, kami aksi di sini, diterima Sekjen Diah Anggraeni. Dia sudah meÂnyatakan bahwa KTP harus diÂbeÂrikan kepada warga Tanah Merah. Tapi sampai saat ini tidak ada tinÂdakan tegas dari Mendagri,†ujar Ketua Forum Komunikasi Tanah Merah Bersatu Yudha.
Menurut Yudha, tuntutannya tersebut merupakan suatu yang wajar dikabulkan oleh pemeÂrinÂtah. Apalagi, warga Tanah Merah, mayoritas sudah tinggal di situ sejak puluhan tahun lalu.
“Masa Christian Gonzales (peÂmain bola) dengan mudah menÂdapatkan status kewarÂganeÂgaÂraÂan, sementara kami yang penÂduduk asli dan sudah berpuluh-puluh tahun lalu tinggal di sini maÂsih tidak diakui,†ujarnya.
Sebelumnya, Walikota Jakarta Utara Bambang Sungkono meneÂgaskan, warga yang bermukim di Tanah Merah tidak akan menÂdapat kartu tanda penduduk DKI Jakarta. Selain itu, kecil keÂmungÂkinan pembentukan rukun tetangÂga dan rukun warga di atas lahan ilegal diizinkan.
“Tanah Merah itu bukan lahan legal untuk permukiman seÂhingÂga pendataan KTP di Suku Dinas Kependudukan tidak ada,†kata Bambang menegaskan.
Meski demikian, lanjut BamÂbang, demi kemanusiaan, pihakÂnya tetap akan memberi pelaÂyaÂnan pengobatan, akta kelahiran, surat kematian, dan bantuan beras untuk rakyat miskin.
Ia juga yakin setiap warga yang tinggal di Tanah Merah memiliki KTP meski belum tentu KTP DKI. “Kalau soal pembentukan RT-RW, itu wewenang PemeÂrinÂtah Provinsi (DKI Jakarta), dalam hal ini Muspida DKI, dan KeÂmenÂterian Dalam Negeri. Tapi, kemungkinan mengenai hal ini kecil,†tuturnya.
Aneh, Saat Pemilu Selalu Diajak Nyoblos
Selama puluhan tahun, warÂga Tanah Merah, Bawah, Rawa Badak Selatan, Plumpang JaÂkarta Utara tidak diakui hak-haknya sebagai warga negara. Tak heran, hingga sampai saat ini domisili mereka tak terdaftar di kelurahan setempat.
Tapi untuk urusan politik terÂnyata keberadaan warga Tanah Merah Bawah diakui. Ini terÂbukti dalam setiap peÂnyeÂlengÂgara pemilihan umum (pemilu), pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) maupun peÂmilihan gubernur (pilgub).
“Saya juga heran kenapa kami memiliki hak suara. PaÂdahal untuk domisili, kami sama sekali tidak diakui. Tapi seÂÂtiap pemilu, kami dilibatkan,†ujar Ucok, warga RT 17 RW 1, TaÂnah Merah saat ditemui RakÂyat Merdeka di rumahnya.
Saat pemilu dan pilgub DKI digelar, masing-masing RT yang ada di Tanah Merah diseÂdiaÂkan 1 TPS bagi warganya memÂbeÂrikan hak suara. Padahal warga di sini tak pernah didata untuk keperluan data pemilih. Sebab, domisili mereka tak diakui.
“Sekarang kalau suara kami secara politik itu diakui, kenapa secara kependudukan tidak. Tolonglah pemerintah bersikap bijak pada kami dengan meÂngakui warga di sini sama deÂngan yang lain,†ujarnya.
Ketua Forum Komunikasi Tanah Merah Bersatu, MuhamÂmad Yudha juga membenarkan kalau warganya memiliki hak suara dalam pemilu. MenurutÂnya, saat musim pilkada, pemilu dan pilpres warga menjadi reÂbutan partai politik (parpol).
“Setiap menjelang pemilihan, seluruh warga didata. TPS (temÂpat pemungutan suara) didiÂriÂkan. Jumlahnya sampai 36 TPS. Usai pemilihan, warga diangÂgap warga uka-uka, orang liar,†ucapnya.
Rawa-rawa Itu Kini Jadi Pemukiman Padat
Ucok 37 tahun tidak memÂbantah kalau tanah yang diÂtemÂpatinya itu bukanlah miliknya maupun peninggalan orang tuaÂnya. Namun dia menolak tanah ini disebut sebagai tanah sengÂketa dan ilegal. Menurut dia, tanah ini tak bertuan yang tidak jelas siapa pemiliknya.
Dia menuturkan, pemukiman tempat tinggalnya sekarang ini dulu rawa-rawa yang tidak ada penghuninya. Saat dia dan orang tuangnya datang kesini, hanya ada sekitar sepuluh ruÂmah yang berdiri di atas rawa.
“Saya pun ikut tinggal disini dan ikut membangun rumah. Bedanya kalau dulu bentuknya rumah panggung, karena di bawahnya masih tergenang air,†jelasnya.
Lama-kelamaan, banyak pendatang yang ikut tinggal di situ dan membangun rumah. KaÂrena jumlahnya semakin baÂnyak, warga pun berinisiatif menguruk rawa dengan tanah merah hingga akhirnya menÂjadi daratan. Makanya kawaÂsan ini kemudian diberi nama Tanah Merah.
Setelah menjadi daratan ituÂlah, pemukiman ini semakin raÂmai. Banyak warga yang memÂbangun rumah permanen. “SuÂdah tak ada lagi rumah pangÂgung yang ada rumah berÂdinÂding kayu atau batu yang kini diÂtempati oleh warga,†jelasnya.
Pria yang sehari-hari mengaÂku bekerja serabutan ini meÂngaÂku sampai hari ini tidak meÂmiÂliki sertifikat tanah tempatnya tinggal. Karena memang sejak dulu, warga tak tahu siapa seÂbenarnya pemilik tanah yang mereka tempati.
Namun, kalau mau mengacu pada Undang-undang Agraria, menurut Ucok, tanah itu bisa menjadi milik warga. BerÂdaÂsarÂkan peraturan tersebut, sebuah tanah garapan yang tidak berÂtuan lalu ditempati selama 15 taÂhun lebih, bisa jadi milik orang yang menempatinya.
“Tapi untuk bisa memiliki taÂnah ini, itu masih terlalu jauh bagi kami. Saat ini yang penting kami memiliki domisili yang jelas berupa KTP, KK (Kartu KeÂluarga) sesuai dengan tempat tinggal. Biar mau urus segala seÂsuatu menjadi mudah,†ujarnya.
Bagaimana kalau digusur? Ayah tiga anak ini siap kalah sewaktu-waktu dipaksa angkat kaki dari tempatnya tinggal. AsalÂnya, pemerintah memÂperÂhatikan nasib ribuan orang yang sudah menjadi penghuni kawaÂsan ini sejak puluhan tahun lalu.
“Kalau saya mungkin siap, tapi tidak tahu bagaimana yang lain. Hanya yang perlu diingat, kami manusia bukan hewan. KaÂlau mau tempat tinggal kami digusur, perhatikan dong nasib kami nantinya,†pintanya.. [Harian Rakyat Merdeka]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.