Sebagai penjaga pintu air, Dian harus mencatat ketinggian air setiap jam. Pria yang bersudah bertugas lima tahun ini juga harus melapor ke Posko Banjir Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta.
Debit air di pintu air Manggarai terÂlihat masih setinggi 690 cenÂtimeter. “Masih di bawah normal. Normalnya 750 centimeter,†kata Dian. Memantau dan mencatat keÂtinggian air setiap jam meruÂpaÂkan rutinitas sehari-hari pria asal Purwokerto, Jawa Tengah ini. Dian makin sibuk bila ketingÂgian air sudah di atas normal.
Bila ketinggian air sudah menÂcapai 850 centimeter, Dian harus mencatat dan melapor ke Dinas Pekerjaan Umum setiap 15 menit sekali. “Laporannya bisa melalui radio maupun telepon genggam,†kata dia.
Pintu air Manggarai adalah peÂngaÂtur aliran air Sungai CiliÂwung yang berasal dari Bogor, Banjir Kanal Barat dan Kali Jalan SuÂraÂbaya. Pada musim hujan, peÂmanÂtauan ketinggian air di pintu air ini penting untuk mengantisipasi banjir. Apalagi, ibu kota diÂbaÂyang-bayangi siklus banjir besar lima tahunan.
Pemantauan ketinggian air di pintu air Manggarai dilakukan 24 jam sehari. Ada enam petugas pemantau yang berjaga secara bergiliran.
“Kami jaga mulai jam 8 pagi sampai jam 8 pagi esok harinya. Setelah itu libur dan masuk lagi keesokan harinya,†kata Dian.
Namun bila ketinggian air suÂdah mencapai 950 centimeter, seÂmua petugas harus berada di pinÂtu air ini. Mereka tak diÂperÂboÂlehÂkan pulang. Sebab mereka mengÂhadapi kondisi Siaga I.
Ada beberapa status kesiagaan berdasarkan ketinggian air di pintu air ini. Status Siaga IV diteÂtapkan bila ketinggian air masih kurang dari 750 cm. Pengaturan buka tutup pintu air masih berada di tangan operator pintu air.
Status Siaga III ditetapkan bila ketinggian air berkisar antara 750 sampai 850 cm. Yang berwenang dalam pengaturan air adalah Kepala Seksi.
Namun kewenangan itu akan diambil alih Kepala Dinas PeÂkerÂjaan Umum bila ketinggian air sudah berkisar antara 850 sampai 950 cm. Kondisi ini dianggap sudah Siaga II.
Sementara Siaga I ditetapkan bila ketinggian air sudah di atas 950 cm. Kewenangan untuk buka tutup pintu air sudah diserahkan kepada Gubernur DKI Jakarta.
Sebab, pembukaan pintu air saat ketinggian air sudah di atas 950 cm akan menyebabkan seÂjumÂlah obyek vital terendam air. SaÂlah satunya, kawasan Istana Negara.
Pos Pemantau Pintu Air MangÂgarai terletak di Jalan Tambak Nomor 59, Manggarai, Jakarta SeÂlatan. Keberadaan pintu air ini berdekatan dengan Stasiun Kereta Manggarai.
Untuk masuk ke area pintu air Manggarai disediakan gerbang selebar tiga meter. Halaman deÂpan cukup luas bisa menampung kendaraan roda empat dan roda dua. Di bagian tengah berdiri baÂnguÂnan berukuran 7x4 meter yang dicat warna kuning dan biru di bagian bawahnya.
Ruangan di sebelah kanan digunakan untuk ruang tamu. Satu set sofa disediakan di sini. JuÂga sebuah televisi 21 inci. RuaÂngan di sebelah kiri berukuran leÂbih besar. Ruangan ini dijadikan pusat komunikasi antara operator pintu air Manggarai dengan DiÂnas Pekerjaan Umum DKI Jakarta.
Di tempat ini terdapat meja panjang yang di atasnya ditemÂpatÂkan dua perangkat radio koÂmuÂnikasi. Di dinding ruangan diÂpaÂjang gambar Sungai Ciliwung pada tahun 1930.
Di bagian belakang terdapat baÂngunan dua lantai. Lantai baÂwah digunakan untuk tempat tiÂdur petugas. Sedangkan lantai dua ditempatkan panel untuk membuka dan menutup pintu air.
Tak jauh dari ruang pemantau terÂdapat pintu air selebar tujuh meÂter. Jaring-jaring menangkap samÂpah dibuka. Terlihat sampah meÂnumpuk di salah satu sisi pintu air.
Sebuah eskavator parkir di pingÂgir pintu air. Alat berat diÂguÂnakan untuk mengeruk sampah. Saat Rakyat Merdeka datang tak terlihat aktivitas membersihkan sampah. Dian mengatakan, pintu air Manggarai kerap dipenuhi tumÂpukan sampah. Sampah-samÂpah berasal dari Sungai CiliÂwung yang kemudian menyangkut di sini.
Walaupun Jakarta mulai diÂguÂyur hujan setiap hari, ketinggian air di sejumlah pintu air masih norÂmal. “Saat ini sebagian besar masih Siaga IV. Tapi kami tetap teÂrus berjaga dan waspada meÂngantisipasi segala kemungÂkiÂnan,†kata Kepala Badan PeÂnangÂgulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, Arfan Akilie.
Berdasarkan data BPBD, posisi pintu air Katulampa masih berada di angka 20 cm dengan batas baÂwah Siaga III adalah 80 senÂtimeter. Kemudian untuk pintu air Manggarai juga masih masih Siaga IV dengan ketinggian muka air 690 cm dengan batas bawah Siaga III adalah 750 cm.
Sementara posisi air di pintu air Depok berada di angka 105 cm dengan batas bawah Siaga III setinggi 200 cm. Status Siaga III suÂdah ditetapkan di pintu air PaÂsar Ikan. Sebab ketinggian air di sini sudah mencapai 200 cm.
Arfan berharap di tahun 2012 ini tak ada banjir besar yang meÂlanda Jakarta. Badan MeteoÂroÂloÂgi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi cuaca ekstrem berupa hujan deras di JaÂkarta baru akan berakhir antara buÂlan Maret sampai April mendatang.
Kepala Sub Bidang Peringatan Dini Cuaca Ekstrem BMKG Kukuh Rubiyanto mengatakan, potensi curah hujan di Jakarta selama Januari ini diprediksi tinggi, yakni di atas 400-500 milimeter.
Potensi curah hujan yang lebih tinggi berada di wilayah selatan dan barat Jakarta, Bogor serta Tangerang. Curah hujan tinggi akan terjadi pada pagi, sore hingga dini hari.
Jaga Pintu Air, Rumah Sendiri Terendam Banjir
Pekerjaan Dian Nur CahÂyono memang hanya penjaga pintu air. Tapi di tangannya naÂsib ribuan warga Jakarta diÂtenÂtukan. Keputusannya untuk membuka pintu air bakal berÂdamÂpak terendamnya sejumlah wilayah di ibu kota.
Sebab itu, dia selalu waswas setiap kali masuk musim hujan. Hujan yang turun terus menerus membuat permukaan air Sungai Ciliwung naik. “Kalau debit air tingÂgi, beberapa daerah di JaÂkarta akan kebanjiran,†kata pria berusia 28 tahun ini.
Dian mengaku pernah disatÂroni warga yang tinggal di banÂtaran Sungai Ciliwung. Warga meminta agar pintu air MangÂgaÂrai tak dibuka karena bakal menyebabkan rumah mereka terendam air.
“Tapi setelah kami jelaskan efeknya bila bendungan ditutup akan mengalami banjir yang lebih parah, akhirnya mereka mengerti,†katanya.
Dian pun harus siap tak puÂlang ke rumah jika ketinggian air di Pintu Air Manggarai suÂdah masuk Siaga I atas di atas 950 cm. “Tahun 2007 lalu, saya sampai nggak pulang selama empat hari,†katanya.
Padahal saat itu rumahnya yang berada di kawasan MangÂgarai juga ikut tenggelam teÂrÂkeÂna banjir. “Karena kami beÂkerja secara profesional, urusan menjaga pintu air lebih diÂutaÂmaÂkan dibanding menyeÂlaÂmatÂkan rumah sendiri,†katanya.
Dian pun diprotes istri dan anakÂnya karena lebih menguÂtaÂmakan pekerjaan. “Memang pekerjaan kami seperti ini. Mau nggak mau harus ngerti. Yang penting bisa bagi waktu. WakÂtunya pulang kami pulang, ketiÂka tugas kami tugas,†tuturnya.
Beban Dian sedikit berÂkuÂrang pada musim kemarau. SeÂbab, pada musim jarang turun hujan sehingga debit air Sungai Ciliwung maupun pintu air MangÂgarai rendah. “Kalau keÂmarau kami bisa libur lebih baÂnyak dan tidak harus mengiÂnap,†katanya.
Keberadaan pintu air sangat vital untuk memantau potensi banjir yang bakal melanda ibu kota. Namun selama ini, Dian meÂngaku kesulitan berÂkoorÂdinasi dengan petugas pintu air di wilayah lain.
“Selama ini alat komunikasi kami dua, radio dan telepon. Tapi radio frekuensi kami baÂnyak yang bocor,†ujarnya. AkiÂbatnya koordinasi dan penyeÂbaran informasi penting meÂngeÂnai ketinggian air di suatu pintu air terhambat.
Ia berharap Pemerintah DKI Jakarta menambah fasilitas koÂmunikasi antar penjaga pintu air. “Kalau ada komputer yang online, jadi informasinya bisa ceÂpat,†katanya. [Harian Rakyat Merdeka]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.