Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Keluarga Masih Dirudung Duka, Tak Rayakan Natal

Ucapan Belasungkawa untuk Sondang Masih Mengalir

Senin, 19 Desember 2011, 08:57 WIB
Keluarga Masih Dirudung Duka, Tak Rayakan Natal
Sondang Hu­tagalung
RMOL.Seminggu lagi umat Kristiani akan merayakan Natal. Pernak-pernik seperti pohon cemara, sinterklas maupun lonceng dipasang di pusat keramaian maupun rumah-rumah untuk menambah semarak peringatan hari raya itu.

Namun, semarak Natal tak ter­lihat di rumah Pirto Hutagalung di Kavling Tambun RT 2 RW 4 Desa Pahlawan Setia, Tambun, Kabupaten Bekasi. Tak terlihat pohon cemara dengan lampu hias kerlap-kerlip di rumah ini.

“Sepertinya tahun ini kami ti­dak merayakan Natal. Istri saya yang biasanya sudah sibuk per­siapkan segala hal yang ber­hu­bu­ngan dengan Natal masih dalam keadaan berduka,” kata Pirto.

Pirto adalah ayah Sondang Hu­tagalung, mahasiswa yang me­lakukan aksi bakar diri di de­pan Istana, 7 Desember lalu. Tak berapa lama setelah me­lakukan aksi nekat itu, Sondang dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangun­kusumo.

Pria yang genap berusia 22 tahun pada 12 November lalu itu menderita luka bakar 98 persen. Lantaran kondisinya pa­rahnya, dokter pun tak mampu berbuat banyak.

Sempat dirawat selama tiga hari, nyawa mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno itu tak tertolong. Ia meninggal Sabtu (10/12). Jenazahnya di­makamkan di TPU Pondok Ke­lapa keesokan hari.

Sondang adalah bungsu dari empat bersaudara. Setelah Son­dang tiada, Pirto tinggal di rumah itu bersama istrinya, Dame Si­pahutar dan seorang kakak Son­dang. Dua kakak lainnya sudah berkeluarga dan tinggal terpisah.

Saat Rakyat Merdeka ber­kunjung ke kediaman keluarga Sondang kemarin, suasana duka masih menyelimuti. Sebuah ka­rangan bunga diletakkan di ha­laman rumah.

Di karangan bunga itu dise­matkan kain putih sebagai tanda duka cita. Pengirimnya bekas ketua DPR Akbar Tandjung.

Kediaman keluarga Sondang menempati tanah seluas 120 me­ter persegi. Pagar dari bam­bu me­misahkan tanah ke­luarga Son­dang dengan milik tetangga di sam­ping kiri mau­pun ka­nannya.

Rumah yang ditinggali keluar­ga Sondang terletak di bagian belakang. Jalan menuju rumah terbuat dari plesteran semen. Di samping kiri jalan terdapat halaman yang ditumbuhi rumput hijau. Di sinilah karangan bunga diletakkan.

Rumah keluarga Sondang ter­diri dari dua bangunan yang me­nyatu. Bangunan di bagian depan digunakan untuk warung. Ba­ngu­nan belakang untuk tempat ting­gal. Atapnya dari asbes. Cat din­ding rumah sudah memudar ter­makan usia.

Masuk ke dalam rumah, ter­lihat ruangan yang cukup luas. Ruangan ini menjadi tempat menerima tamu sekaligus ruang kumpul keluarga. Lantainya dilapisi keramik putih bersih.

Dua kamar tidur terletak di samping ruang keluarga. Kain gordin menjadi pemisah ruang tidur dengan ruang keluarga.

Tak ada kursi maupun sofa di ruang tamu maupun ruang ke­luarga ini. Sebuah televisi 21 inci diletakkan di atas meja di tengah ruangan.

Tikar warna hijau menghampar di depan meja televisi. Tiker ini jadi alas untuk menonton televisi. “Dulu, di atas tikar itu, Sondang biasa tertidur sampai pagi setelah menyaksikan acara televisi. Acara yang biasa dia tonton adalah berita,” tutur Pirto.

Dua kipas angin diletakkan me­ngapit meja televisi. Kedua mata kipasnya diarahkan ke tikar alas menonton. Di sam­ping kiri meja televisi diletak­kan dispenser.

Di sebelah kiri ruangan ini terdapat dua lemari plastik tanpa pintu. Lemari itu diletakkan ber­jejer hingga mirip seperti buffet. Di bagian bawah lemari diisi tum­pukan buku-buku tentang hu­kum. Buku-buku itu milik Sondang.

 Sementara di atas lemari diletakkan beberapa foto yang diberi bingkai. Salah satunya foto Sondang yang mengenakan jaket almamater merah sedang berpose bersama Andi F Noya, pembaca acara Kick Andy di Metro TV.

“Dulu dua foto Sondang ini tidak ada di sini. Setelah kejadian itu, saya sengaja letakkan di sini untuk memberitahu kepada tamu yang datang sekaligus untuk mengenang saja,” terang Pirto yang sudah lebih dari 8 tahun menjadi supir taksi Blue Bird.

Sebelumnya, foto Sondang dipajang di dinding ruangan ini. Berderet dengan gambar Yesus Kristus yang dibingkai.

Bagi Pirto, Natal kali ini sangat berbeda setelah kehila­ngan Sondang. Biasanya keluarga ini merayakan Natal bersama-sama. Setelah kebaktian di gereja, mereka berkumpul di rumah.

“Walaupun tidak mewah, perayaan Natal sangat terasa. Se­hingga keluarga kami selalu ru­kun dan saling mengasihi,” kata Pirto.

Baju-baju Sondang Dikasih ke Tetangga

Hingga kini tak ada yang tahu pasti motivasi Sondang Huta­galung melakukan aksi bakar diri di depan Istana. Sejumlah ka­la­ngan meyakini aksi nekat ini di­lakukan Sondang sebagai bentuk protes terhadap pemerintah.

Sondang memang kerap ikut dalam berbagai aksi unjuk rasa. Lewat aksi-aksi teaterikalnya yang kreatif, suasana demonstrasi menjadi lebih hidup dan menarik.

Lantas bagaimana kehidupan Sondang di rumah? Kepada Rak­yat Merdeka, Pirto Hutagalung, ayah Sondang menuturkannya si bungsu berkepribadian ramah, pe­kerja keras, religius dan me­miliki jiwa sosial yang tinggi.

Lantaran sifatnya tersebut, tak heran kalau kemudian Sondang begitu akrab di internal keluarga dan juga tetangga di sekitar rumah.

“Dia tidak malu untuk men­dorong gerobak berisi lima jer­i­gen air dari depan untuk ke­per­luan minum sekeluarga. Maklum di sini airnya kurang baik, jadi un­tuk minum kami harus mem­beli dari luar,” tutur Pirto.

Tak hanya itu, kalau sedang ti­dak ada kegiatan di kampus, Son­dang kerap membantu ibunya men­jaga warung. Ini dilakukan Son­dang bergantian dengan ka­kak­nya. Sambil menunggu wa­rung, bia­sanya Sondang mem­baca buku.

“Hal lain yang membuat saya bangga adalah dia mengajarkan anak-anak kecil di sini membaca dan menulis. Ada lebih dari 10 anak kecil yang menjadi mu­ridnya dan selalu rajin belajar di rumah,” tuturnya.

“Makanya setelah Sondang tiada, bukan hanya keluarga yang merasa kehilangan, anak-anak itu pun juga kehilangan. Bahkan ma­sih ada anak yang bertanya pada saya, guru mereka ada di mana,” kata Pirto dengan eks­presi wajah menahan sedih.

Bagaimana dengan barang-barang Sondang? Menurut sang ayah, hingga kini barang-barang milik Sondang masih tersimpan rapih di rumah. Namun, kata Pir­to, kalau ada tetangga, kerabat maupun teman-teman yang me­minta, ia akan diberikan.

“Kemarin beberapa baju milik Sondang saya kasih ke tetangga di dekat sini. Kalau barang-barangnya berguna untuk orang lain, untuk apa juga kami simpan. Toh, Sondang semasa hidupnya sudan melakukan ini juga,” tegasnya.

Pamit Pergi Untuk Bikin Skripsi

Selain menuntut ilmu di kampus, Sondang Hutagalung ak­tif di Badan Eksekutif Ma­ha­siswa (BEM) Universitas Bung Karno. Ia juga terlibat di bebe­rapa organisasi di luar kampus.

Sondang menjadi Ketua Bidang Organisasi Himpunan Aksi Mahasiswa Marhaenis Untuk Rakyat Indonesia (Ham­mu­rabi). Ia juga bergabung da­lam Komunitas Sahabat Munir.

Kendati terlibat dalam ber­bagai organisasi, keluarganya tak tahu menahu aktivitas Son­dang di luar kampus. “Saya me­mang tidak tahu. Tapi saya tidak pernah melarang Sondang ikut organisasi. Yang penting, ku­liah­nya lancar dan bisa segera jadi sarjana hukum,” kata Pirto Hutagalung, ayah Sondang.   

Apalagi, menurut Pirtu, ke­giatan Sondang di berbagai organisasi itu tak mengganggu kuliah hingga menjelang lulus. Prestasi akademiknya cukup memuaskan keluarga sejak dari semester pertama hingga akhir.

Prestasi inilah yang mem­bantu meringankan beban Pirto dalam menguliahkan Sondang. “Sondang dapat beasiswa dari Blue Bird tempat saya bekerja sejak semester awal. Itu karena nilainya bagus sehingga saya bisa ajukan beasiswa ke peru­sa­haan,” ungkap Pirto.

Sejak awal, Pirto menasihati Sondang agar mendapat nilai yang bagus agar bisa jadi sar­jana. “Dia selalu mem­per­ha­ti­kan nasihat saya itu,” kenangnya.

Namun takdir berkata lain. Sondang yang lahir di Bekasi 12 November 1989 itu mening­gal ka­rena bakar diri. Kene­katan Son­dang ini menyisakan berba­gai per­tanyaan di benak keluarganya.

Sebelum bakar diri, ke­luar­ganya tak menangkap keanehan dalam perilaku Sondang sehari-hari. Pirto mengingat tiga hari sebelum kejadian, Sondang izin tak pulang karena ingin me­ram­pungkan skripsi bersama te­man-temannya.

Pirto tak menaruh curiga. Se­bab, Sondang pernah beberapa meminta izin tak pulang dengan alasan sama. “Kalau dulu sebe­lum skripsi, Sondang selalu pu­lang setiap hari ke rumah. Tapi sejak skripsi ini, memang dia ter­kadang tidak pulang 2 sam­pai 3 hari,” terangnya.

Kecewakah Pirto atas tin­dakan Sondang? Pirto yang be­kas sopir Kopaja ini menga­takan merasa kehilangan atas meninggalnya Sondang. “Tapi Sondang sudah dewasa, dia su­dah tahu apa yang terbaik un­tuknya,” ujar Pirto yang terlihat mencoba tabah.

“Kita manusia tentunya ha­nya bisa berencana, Tuhan juga yang menentukan. Itulah yang kami alami. Saya sendiri sudah bisa menerima kenyataan ini, ha­nya tinggal ibunya yang ma­sih terlihat syok,” kata Pirto. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA