Di foto berwarna hitam putih terlihat seorang muda berkebaya berdiri berdampingan dengan seorang pria berjas dan berdasi. “Itu Pak Djuanda,†kata Nona Nani Nurani (70).
Perempuan muda di foto itu adalah dirinya. Pak Djuanda yang disebut Nani adalah Menteri Pertama di era Soekarno. Jabatan itu selevel dengan posisi Perdana Menteri.
Sebagai penyanyi dan penari Istana, Nani bisa dengan mudah berkenalan dengan para menteri, tamu negara dan pejabat-pejabat penting.
Kariernya bermula pada 1962. Nani yang masih berusia 21 tahun tampil menyanyi di acara peresÂmian Dinas Kebudayaan Cianjur.
Istri Bupati Cianjur kagum dengan bakat yang dimiliki Nani. Pegawai Dinas Kebudayaan Cianjur itu lalu diminta menyanyi di Istana Cipanas untuk menÂgÂhibur tamu-tamu.
Adalah Djuanda yang kÂeÂmuÂdiÂan menarik Nani ke Istana MerÂdeka pada 1963. “Pak Djuanda memutuskan saya resmi menjadi penyanyi di Istana Merdeka. Menurut Pak Djuanda, tugas saya adalah menghibur para tamu neÂgaÂra yang datang. Presiden SuÂkarÂno sering meminta saya meÂnyanyikan Degung Kahyangan,†tutur Nani. Namanya pun mulai dikenal luas. Ia banyak mendapat tawaran menyanyi.
Kepiawaian menghibur orang ini menjadi awal malapetaka. Nani ditangkap aparat dan diÂjeÂbÂloskan ke penjara tanpa proses pengadilan. Ia dituduh komunis.
Jauh sebelum meletus periÂsÂtiÂwa 30 September, Nani pernah diÂundang menyanyi di acara ulang tahun Partai Komunis InÂdonesia, Juni 1965.
“Saya menari atas permintaan. Bukan bagian dari mereka. Jadi yang saya lakukan murni pekÂerÂjaan. Sama seperti penyanyi masa kini yang diundang untuk mengÂhibur pada sebuah acara partai,†kata Nani.
Setelah peristiwa G30S, Nani bekerja di Takari, perusahaan pemÂbuat bahan dasar panci. PimÂpinan Takar ditahan tahun 1966 karena dituduh sebagai ‘orangÂnya’ Soekarno.
Nani lalu pindah perusahaan. Fitnah terhadapnya sudah santer terdengar sejak peristiwa 30 SepÂtember. “Katanya, saya nyaÂnyi di Lubang Buaya. Wong saya saja tidak tahu di mana Lubang Buaya itu,†ujarnya. Gara-gara fitnah itu, keponakannya babak belur digebuki orang.
Saat Lebaran 1968, Nani puÂlang kampung ke Cianjur. Saat seÂdang tidur di rumah orangÂtuaÂnya pada jam 10 malam, Nani didatangi dua tentara bersenjata laras panjang.
Tentara itu meminta Nani ikut untuk dimintai keterangan. Nani sempat melihat surat perintah yang dibawa mereka.
Sejak saat itu, dunia Nani beruÂbah. Dari anak bungsu kesaÂyaÂngan keluarga priyayi, jadi pesaÂkitan penghuni bui. Perempuan yang lahir dengan nama Raden Nani Soemarni ini kehilangan teÂman, kekasih dan orang tua. TanÂpa tahu apa salahnya.
Nani dijebloskan di penjara BukÂit Duri, Jakarta Selatan. Ia satu sel dengan Mbak Mudik, merÂtua DN Aidit, ketua umum PKI. Â
Nani bebas dari penjara pada 1975. Ia dijadikan tahanan rumah karena sakit. Sejak 1971 Nani rutin minum obat. Ia tak bisa makan bila belum minum obat.
Ia lalu tinggal bersama kaÂkakÂnya di Koja, Jakarta Utara pada 1977. Saat mengurus menjadi warga Koja, Nani mendapati di KTP-nya ada embel-embel ‘ET’ alias eks tapol. Â
“Sejak tahun 1984, saya diÂkenakan wajib lapor ke KecÂaÂmatan Koja setiap bulan. Tiga buÂlan sekali wajib lapor ke KeÂluÂraÂhan Rawa Badak. Ini terus terjadi sampai reforÂmasi. Baru pada tahun 1997, tanda ‘ET’ itu hiÂlang. Tapi wajib lapor masih berlaku,†ceritanya.
Lantaran terus mendapat perÂlakukan diskriminatif, kekesalan Nani memuncak pada 2003. Saat itu, usia Nani sudah menginjak 60 tahun. Ia ditolak membuat KTP seumur hidup.
Nani pun mengugat Camat Koja ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatannya diÂkaÂbulkan pada 2008.
Tetap Berkreasi Di Usia Senja
Di usianya yang telah menginjak 70 tahun, segudang aktifitas masih dijalani Nona Nani Nurani. Mulai dari terlibat di kegiatan ibu-ibu PKK, pengurus RW samÂpai menekuni seni.
Sebulan sekali, Nani dan grup seni tarinya, Wanodja Binangkit tamÂpil di LBH Jakarta. Beberapa penÂtas tari dan teater masih dilakoninya.
“Sejak muda saya sudah terÂtarik dengan seni, baik itu menari, menyanyi dan dunia teater. KaÂreÂnanya seiring peristiwa dan peÂrubahan zaman yang saya alami, jiwa seni tidak akan hilang dari diri saya,†kata Nani.
Meskipun sudah sepuh, ingatan Nani masih bagus untuk menÂceritakan kisah hidupnya. FiÂsikÂnya pun masih bugar. Jalannya tidak bungkuk.
Saat tertawa lebar, tampak bariÂsan gigi putih Nani yang masih menempel utuh di gusi. Sebagian rambut di kepalanya sudah meÂmutih, tapi nada bicaranya masih terdengar lantang.
Sehari-hari, Nani tinggal di ruÂmah mungil berukuran 60 meter perÂsegi di Jalan Cemara Angin Blok Z Nomor 24, Rawa Badak UtaÂra, Koja, Jakarta Utara. Ia diteÂmani seorang pembantu yang usiaÂnya lebih tua beberapa tahun darinya.
Mengenakan baju batik warna hijau dan celana panjang berÂwarÂna krem, Nani sedang asyik meÂnulis sebuah skenario drama. “Insya Allah, kisah yang saya beri judul ‘Nyai Dasimah di Jakarta’ akan dipentaskan pada 29 Juni 2012 nanti di Gedung Kesenian JaÂkarta. Makanya saya ingin meÂramÂpungkannya secepat mungÂkin,†katanya saat berbincang dengan Rakyat Merdeka di rumahnya.
Rumah itu ditempatinya sejak 1977. Menurut Nani, rumah yang meÂmiliki dua kamar tidur dan satu kamar mandi ini adalah waÂrisan kakak kandungnya.
Pernak-pernik antik menghiasi ruang tamu yang merangkap ruang keluarga rumah ini. MeÂnurut Nani, barang-barang itu pemÂÂberian keÂrabatnya. Di sebeÂlah kiri ruangan, dibaÂngun kolam ikan lengkap deÂngan air mancur. Sehingga meÂnimÂÂbulÂkan bunyi gemericik.
Nani menceritakan dulu ukuÂran rumah ini lebih besar. Ia lalu meÂnunjuk rumah di sebelah. “Dulu itu bagian rumah ini. Kemudian saya jual karena hujan sedikit gampang banjir. Uangnya saya gunakan untuk renovasi rumah ini setahun yang lalu,†tuturnya sambil tersenyum.
Ingin Wafat Tanpa Noda
Belum lama, Nona Nani NuÂrani menggugat pemerintah ke Pengadilan Negeri Jakarta PuÂsat. Nani menuntut pemerintah membayar ganti rugi materiil atas perlakukan diskriminatif terhadap dirinya. Besarnya Rp 7,46 miliar.
Tidak hanya itu, Nani meÂnunÂtut merehabilitasi namanya deÂngan membuat permintaan maaf di 7 media massa nasional.
“Kalau sekarang saya mengÂgugat pemerintah, ini tidak lain karena masalah kehormatan. Bukan masalah materi. MarÂtaÂbat dan harga diri saya yang teÂlah dirampas secara paksa oleh pemerintah tanpa tuduhan yang jelas,†tegasnya.
“Saya tidak ingin meninggal seÂbagai orang yang ternoda marÂÂtabatnya. Sejak kecil, orangÂtua saya menanamkan ajaran bahÂwa kehormatan adalah harga mati,†tegasnya.
Dari mana hitung-hitungan ganÂti rugi materiil Rp 7,46 miÂliar itu? Nani mengatakan bÂeÂsarÂÂnya ganti rugi itu sudah raÂsioÂnal. Ia lalu menjelaskan saat ditahan ia bekerja sebagai SekÂretaris Brigjen (Purn) KRMS Soerjosoemarno.
“Saat itu gaji saya Rp 7.400 seÂbulan atau senilai 37 gram emas. Harga emas waktu itu Rp 200 per gram. Setelah saya dipenjara, pekerjaan itu hilang dan otomatis saya tidak menÂdapatkan gaji lagi,†jelasnya.
Saya berharap, perjuangan saya ini kelak bisa jadi inspirasi dan motivasi bagi golongan seÂsuÂdah saya betapa pentingnya harÂga diri dan martabat itu diÂperÂtahankan,†ujarnya.
Bila gugatan dikabulkan, uangnya untuk apa? “Saya tidak memiliki anak dan cucu karena tidak pernah menikah. Kalau punya uang, tidak ada yang akan saya wariskan,†kata Nani.
“Saya ingin memanÂfaatÂkanÂnya untuk hal yang baik. Salah satunya membangun sekolah. Kalau perlu, sekolah di maÂnaÂpun yang saya tahu meÂmerÂluÂkan bantuan, akan saya bantu,†janjinya.
Senin lalu (21/11) pengadilan mulai menyidangkan gugatan Nani. Majelis hakim meÂmuÂtusÂkan menunda sidang karena tidak ada pihak pemerintah selaku tergugat.
“Itu sudah saya duga, kalau peÂmerintah pasti akan mengaÂbaiÂkan gugatan yang saya laÂkukan itu. Jangankan Presiden, saat saya menggugat KecaÂmaÂtan Koja saja pada tahun 2003, camatnya tidak hadir sampai dua kali. Setelah diperingatkan oleh pengadilan baru datang,†kata Nani.
Karena itu, Nani mengaku tiÂdak terkejut dengan keÂtiÂdakÂhaÂdiÂran pemerintah di perÂsiÂdaÂngan itu. Bahkan dia yakin, daÂlam beberapa persidangan ke depan, pemerintah maupun perÂwaÂkiÂlannya juga tidak akan datang.
“Saya ini orang biasa yang suÂdah diperlakukan secara seÂweÂnang-wenang sejak puluhan tahun lalu. Saya sudah kebal deÂngan penderitaan dan keÂtiÂdakadilan. Saya tidak kaget lagi,†katanya.
Kendati demikian, Nani berÂharap keadilan akan berpihak kepadanya seperti ketika mengÂgugat Camat Koja. Apalagi, Nani melengkapi gugatan ini deÂngan bukti-bukti yang lengkap.
Di persidangan, Nani didamÂpingi sejumlah pengacara. “Ada beberapa pengacara LBH JaÂkarta dan Komnas HAM. Saya yakin akan memenangkan gugatan ini.â€
Nani mengaku tak mengeÂluarÂkan uang sepeserpun dalam mengajukan gugatan ini. “JaÂnganÂkan untuk bayar jasa adÂvokad, kalau lagi dipengadilan dan urus biaya pendaftaran saja saya dibayarkan oleh para peÂngacara itu,†kata dia.   Â
Selama ini Nani dikenal aktif di LBH Jakarta dan Komnas Perempuan. “Sehingga saya meÂngenal mereka (pengacara) saÂngat baik,†kata dia. [Harian Rakyat Merdeka]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.