Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ajakan Menteri Djuanda Berujung Malapetaka

Dibui 7 Tahun, Eks Penari Istana Tuntut Rp 7 M

Jumat, 25 November 2011, 08:59 WIB
Ajakan Menteri Djuanda Berujung Malapetaka
Nona Nani Nurani
RMOL. Foto-foto lawas memenuhi rumah mungil di Jalan Cemara Angin Blok Z Nomor 24, Rawa Badak Utara, Koja, Jakarta Utara. Ada satu foto yang menempati tempat istimewa di pajang di meja di samping kursi tamu.

Di foto berwarna hitam putih terlihat seorang muda berkebaya berdiri berdampingan dengan seorang pria berjas dan berdasi. “Itu Pak Djuanda,” kata Nona Nani Nurani (70).

Perempuan muda di foto itu adalah dirinya. Pak Djuanda yang disebut Nani adalah Menteri Pertama di era Soekarno. Jabatan itu selevel dengan posisi Perdana Menteri.

Sebagai penyanyi dan penari Istana, Nani bisa dengan mudah berkenalan dengan para menteri, tamu negara dan pejabat-pejabat penting.

Kariernya bermula pada 1962. Nani yang masih berusia 21 tahun tampil menyanyi di acara peres­mian Dinas Kebudayaan Cianjur.

Istri Bupati Cianjur kagum dengan bakat yang dimiliki Nani. Pegawai Dinas Kebudayaan Cianjur itu lalu diminta menyanyi di Istana Cipanas untuk men­g­hibur tamu-tamu.

Adalah Djuanda yang k­e­mu­di­an menarik Nani ke Istana Mer­deka pada 1963. “Pak Djuanda memutuskan saya resmi menjadi penyanyi di Istana Merdeka. Menurut Pak Djuanda, tugas saya adalah menghibur para tamu ne­ga­ra yang datang. Presiden Su­kar­no sering meminta saya me­nyanyikan Degung Kahyangan,” tutur Nani. Namanya pun mulai dikenal luas. Ia banyak mendapat tawaran menyanyi.

Kepiawaian menghibur orang ini menjadi awal malapetaka. Nani ditangkap aparat dan di­je­b­loskan ke penjara tanpa proses pengadilan. Ia dituduh komunis.

Jauh sebelum meletus peri­s­ti­wa 30 September, Nani pernah di­undang menyanyi di acara ulang tahun Partai Komunis In­donesia, Juni 1965.

“Saya menari atas permintaan. Bukan bagian dari mereka. Jadi yang saya lakukan murni pek­er­jaan. Sama seperti penyanyi masa kini yang diundang untuk meng­hibur pada sebuah acara partai,” kata Nani.

Setelah peristiwa G30S, Nani bekerja di Takari, perusahaan pem­buat bahan dasar panci. Pim­pinan Takar ditahan tahun 1966 karena  dituduh sebagai ‘orang­nya’ Soekarno.

Nani lalu pindah perusahaan.  Fitnah terhadapnya sudah santer terdengar sejak peristiwa 30 Sep­tember. “Katanya, saya nya­nyi di Lubang Buaya. Wong saya saja tidak tahu di mana Lubang Buaya itu,” ujarnya. Gara-gara fitnah itu, keponakannya babak belur digebuki orang.

Saat Lebaran 1968, Nani pu­lang kampung ke Cianjur. Saat se­dang tidur di rumah orang­tua­nya pada jam 10 malam, Nani didatangi dua tentara bersenjata laras panjang.

Tentara itu meminta Nani ikut untuk dimintai keterangan. Nani sempat melihat surat perintah yang dibawa mereka.

Sejak saat itu, dunia Nani beru­bah. Dari anak bungsu kesa­ya­ngan keluarga priyayi, jadi pesa­kitan penghuni bui.  Perempuan yang lahir dengan nama Raden Nani Soemarni ini kehilangan te­man, kekasih dan orang tua. Tan­pa tahu apa salahnya.

Nani dijebloskan di penjara Buk­it Duri, Jakarta Selatan. Ia satu sel dengan Mbak Mudik, mer­tua DN Aidit, ketua umum PKI.  

Nani bebas dari penjara pada 1975. Ia dijadikan tahanan rumah karena sakit. Sejak 1971 Nani rutin minum obat. Ia tak bisa makan bila belum minum obat.

Ia lalu tinggal bersama ka­kak­nya di Koja, Jakarta Utara pada 1977. Saat mengurus menjadi warga Koja, Nani mendapati di KTP-nya ada embel-embel ‘ET’ alias eks tapol.  

“Sejak tahun 1984, saya di­kenakan wajib lapor ke Kec­a­matan Koja setiap bulan. Tiga bu­lan sekali wajib lapor ke Ke­lu­ra­han Rawa Badak. Ini terus terjadi sampai refor­masi. Baru pada tahun 1997, tanda ‘ET’ itu hi­lang. Tapi wajib lapor masih berlaku,” ceritanya.

Lantaran terus mendapat per­lakukan diskriminatif, kekesalan Nani memuncak pada 2003. Saat itu, usia Nani sudah menginjak 60 tahun. Ia ditolak membuat KTP seumur hidup.

Nani pun mengugat Camat Koja ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatannya di­ka­bulkan pada 2008.

Tetap Berkreasi Di Usia Senja

Di usianya yang telah menginjak 70 tahun, segudang aktifitas masih dijalani Nona Nani Nurani. Mulai dari terlibat di kegiatan ibu-ibu PKK, pengurus RW sam­pai menekuni seni.

Sebulan sekali, Nani dan grup seni tarinya, Wanodja Binangkit tam­pil di LBH Jakarta. Beberapa pen­tas tari dan teater masih dilakoninya.

“Sejak muda saya sudah ter­tarik dengan seni, baik itu menari, menyanyi dan dunia teater. Ka­re­nanya seiring peristiwa dan pe­rubahan zaman yang saya alami, jiwa seni tidak akan hilang dari diri saya,” kata Nani.

Meskipun sudah sepuh, ingatan Nani masih bagus untuk men­ceritakan kisah hidupnya. Fi­sik­nya pun masih bugar. Jalannya tidak bungkuk.

Saat tertawa lebar, tampak bari­san gigi putih Nani yang masih menempel utuh di gusi. Sebagian rambut di kepalanya sudah me­mutih, tapi nada bicaranya masih terdengar lantang.

Sehari-hari, Nani tinggal di ru­mah mungil berukuran 60 meter per­segi di Jalan Cemara Angin Blok Z Nomor 24, Rawa Badak Uta­ra, Koja, Jakarta Utara. Ia dite­mani seorang pembantu yang usia­nya lebih tua beberapa tahun darinya.

Mengenakan baju batik warna hijau dan celana panjang ber­war­na krem, Nani sedang asyik me­nulis sebuah skenario drama. “Insya Allah, kisah yang saya beri judul ‘Nyai Dasimah di Jakarta’ akan dipentaskan pada 29 Juni 2012 nanti di Gedung Kesenian Ja­karta. Makanya saya ingin me­ram­pungkannya secepat mung­kin,” katanya saat berbincang dengan Rakyat Merdeka di rumahnya.

Rumah itu ditempatinya sejak 1977. Menurut Nani, rumah yang me­miliki dua kamar tidur dan satu kamar mandi ini adalah wa­risan kakak kandungnya.

Pernak-pernik antik menghiasi ruang tamu yang merangkap ruang keluarga rumah ini. Me­nurut Nani, barang-barang itu pem­­berian ke­rabatnya. Di sebe­lah kiri ruangan, diba­ngun kolam ikan lengkap de­ngan air mancur. Sehingga me­nim­­bul­kan bunyi gemericik.

Nani menceritakan dulu uku­ran rumah ini lebih besar. Ia lalu me­nunjuk rumah di sebelah. “Dulu itu bagian rumah ini. Kemudian saya jual karena hujan sedikit gampang banjir. Uangnya saya gunakan untuk renovasi rumah ini setahun yang lalu,” tuturnya sambil tersenyum.

Ingin Wafat Tanpa Noda

Belum lama, Nona Nani Nu­rani menggugat pemerintah ke Pengadilan Negeri Jakarta Pu­sat. Nani menuntut pemerintah membayar ganti rugi materiil atas perlakukan diskriminatif terhadap dirinya. Besarnya Rp 7,46 miliar.

Tidak hanya itu, Nani me­nun­tut merehabilitasi namanya de­ngan membuat permintaan maaf di 7 media massa nasional.

“Kalau sekarang saya meng­gugat pemerintah, ini tidak lain karena masalah kehormatan. Bukan masalah materi. Mar­ta­bat dan harga diri saya yang te­lah dirampas secara paksa oleh pemerintah tanpa tuduhan yang jelas,” tegasnya.

“Saya tidak ingin meninggal se­bagai orang yang ternoda mar­­tabatnya. Sejak kecil, orang­tua saya menanamkan ajaran bah­wa kehormatan adalah harga mati,” tegasnya.

Dari mana hitung-hitungan gan­ti rugi materiil Rp 7,46 mi­liar itu? Nani mengatakan b­e­sar­­nya ganti rugi itu sudah ra­sio­nal. Ia lalu menjelaskan saat ditahan ia bekerja sebagai Sek­retaris Brigjen (Purn) KRMS Soerjosoemarno.

“Saat itu gaji saya Rp 7.400 se­bulan atau senilai 37 gram emas. Harga emas waktu itu Rp 200 per gram. Setelah saya dipenjara, pekerjaan itu hilang dan otomatis saya tidak men­dapatkan gaji lagi,” jelasnya.

Saya berharap, perjuangan saya ini kelak bisa jadi inspirasi dan motivasi bagi golongan se­su­dah saya betapa pentingnya har­ga diri dan martabat itu di­per­tahankan,” ujarnya.

Bila gugatan dikabulkan, uangnya untuk apa? “Saya tidak memiliki anak dan cucu karena tidak pernah menikah. Kalau punya uang, tidak ada yang akan saya wariskan,” kata Nani.

“Saya ingin meman­faat­kan­nya untuk hal yang baik. Salah satunya membangun sekolah. Kalau perlu, sekolah di ma­na­pun yang saya tahu me­mer­lu­kan bantuan, akan saya bantu,” janjinya.

Senin lalu (21/11) pengadilan mulai menyidangkan gugatan Nani. Majelis hakim me­mu­tus­kan menunda sidang karena tidak ada pihak pemerintah selaku tergugat.

“Itu sudah saya duga, kalau pe­merintah pasti akan menga­bai­kan gugatan yang saya la­kukan itu. Jangankan Presiden, saat saya menggugat Keca­ma­tan Koja saja pada tahun 2003,  camatnya tidak hadir sampai dua kali. Setelah diperingatkan oleh pengadilan baru datang,” kata Nani.

Karena itu, Nani mengaku ti­dak terkejut dengan ke­ti­dak­ha­di­ran pemerintah di per­si­da­ngan itu. Bahkan dia yakin, da­lam beberapa persidangan ke depan, pemerintah maupun per­wa­ki­lannya juga tidak akan datang.

“Saya ini orang biasa yang su­dah diperlakukan secara se­we­nang-wenang sejak puluhan tahun lalu. Saya sudah kebal de­ngan penderitaan dan ke­ti­dakadilan. Saya tidak kaget lagi,” katanya.

Kendati demikian, Nani ber­harap keadilan akan berpihak kepadanya seperti ketika meng­gugat Camat Koja. Apalagi, Nani melengkapi gugatan ini de­ngan bukti-bukti yang lengkap.

Di persidangan, Nani didam­pingi sejumlah pengacara. “Ada beberapa pengacara LBH Ja­karta dan Komnas HAM. Saya yakin akan memenangkan gugatan ini.”

Nani mengaku tak menge­luar­kan uang sepeserpun dalam mengajukan gugatan ini. “Ja­ngan­kan untuk bayar jasa ad­vokad, kalau lagi dipengadilan dan urus biaya pendaftaran saja saya dibayarkan oleh para pe­ngacara itu,” kata dia.     

Selama ini Nani dikenal aktif di LBH Jakarta dan Komnas Perempuan. “Sehingga saya me­ngenal mereka (pengacara) sa­ngat baik,” kata dia. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA