Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Penambang Liar Menggila, Rusak Lahan Reklamasi

Berkunjung Ke Bumi Laskar Pelangi

Kamis, 24 November 2011, 08:43 WIB
Penambang Liar Menggila, Rusak Lahan Reklamasi
ilustrasi, penambang liar

RMOL. Bermodalkan kaca mata menyelam dan selang, seorang penambang nyebur ke laut di kawasan Sungailiat, Bangka Belitung.

Selang dihubungkan ke kom­presor yang memompakan udara terus menerus. Dengan alat bantu napas ini, penambang bertahan di bawah air sampai berjam-jam.

Bahaya keracunan gas kar­bon­dioksida (CO) maupun dekom­pre­si tak menciutkan nyali. Pe­nam­bang terus mengaduk-aduk dasar laut demi segenggam pasir timah. Aktivitas penambangan liar (illegal mining) seperti ini sudah berlangsung belasan tahun. Disebut liar, lantaran tak me­ngantongi izin.

“Inilah Bangka. Kalau kata orang di Bangka ini di bawah kaki kita duit. Di bawah badan kita duit. Apa artinya? Kita ber­diri di bawah ada timah. Kita ti­dur di bawah ada timah,” ucap Mahdi (40), satu dari puluhan pe­nambang liar di daerah Sungai­liat, Bangka Belitung.

Mahdi dan dua rekannya setiap hari melakukan pekerjaan itu dari pagi sampai sore hari. Penuh ri­siko dan itu disadari berbahaya.

“Kita tukar pikiran saja, kata orang illegal. Kita ini kayak orang kawin siri. Menurut agama sah, menurut pemerintah tidak sah kan. Katanya illegal, tapi kan kita nggak nyolong. Kalau kita kerja kan semua ada risikonya, baik di darat, di laut dan di uda­ra,” terang Mahdi.

Pendapat itu diangguki penam­bang liar lainnya, Samsiar. Ia menganggap kebutuhan hidup di Bangka relatif tinggi. Dengan me­nambang timah, Samsiar bisa menghidupi keluarga dan mem­ba­ngun rumah yang nyaman.

“Kalau dulu itu susah, kerja se­ra­butan. Kan anak sekarang su­dah besar-besar. Kadang kerja, ka­dang nggak. Kalau jadi supir, dapat berapa sehari? Cuma Rp 30 ribu. Semenjak ada TI (tambang ilegal) ini berubah hidup. Rumah aja dulu pakai kayu, sekarang pakai beton, biarpun kecil.”

Lain lagi komentar Rifky. Le­laki tanggung itu bilang, keba­nya­kan masyarakat di bumi Las­kar Pelangi ini berdalih pe­nam­bangan tanpa izin itu sah. Ma­sya­rarakat menganggap PT Timah—perusahaan negara yang menda­pat konsesi melakukan penam­ba­ngan di Bangka—tak ber­kon­tr­i­bu­si terhadap urusan ‘perut’ mereka.

Ini diperparah lagi dengan isu yang diembuskan bahwa perus­a­haan itulah yang merusak ling­ku­ngan di sini karena aktivitas penambangannya.

 â€œApakah masyarakat tidak melihat para penambang, pe­nam­pung timah ilegal yang hanya bisa memperkaya diri sendiri tan­pa melihat dampak ke depan un­tuk anak cucu kita nanti. Terus te­rang, saya ‘anak timah’. Dari mu­lai SMA dibayarin sampai lulus, dikasih buku,” tutur Rifky.

Dalam film Laskar Pelangi yang diangkat dari novel karya Andrea Hirata digambarkan kesi­bukan masyarakat berangkat ke area penambangan saat pagi hari. Kondisi ini tak jauh berbeda di lapangan. Begitu banyak pen­d­u­duk yang menjalani pekerjaan se­bagai penambang, sehingga pu­sat-pusat kota di Bangka dan Be­litung terlihat lengang pada jam kerja. Praktis, tidak banyak ke­giatan perkantoran di Babel.

Jalanan yang luas dan mulus tampak lengang. Kalau pun ada ke­ramaian, lebih terpusat pada ruang-ruang belajar dan publik, se­perti sekolahan. Lebih dari 50 per­sen masyarakat Babel meng­gan­tungkan hidup dari menambang.

Karena hanya mengandalkan timah sebagai sandaran hidup, ma­syarakat berlomba untuk mengkavling wilayah penam­bangan. Bahkan sebagian tidak peduli bahwa area yang mereka tam­bang merupakan lahan PT Timah.

Selain menyerobot lahan dan merusak lingkungan, penam­ba­ngan liar mengganggu bisnis pe­ru­sahaan negara itu. Padahal, PT Timah mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) di Babel.

 â€œBisa dibayangkan, sekarang ini total produksi PT Timah kalah dari total timah yang ditambang oleh tambang inkonvensional,” ke­luh Direktur Utama PT Timah, Wachid Usman. Tambang inkon­ven­sional yang dimaksudnya adalah penambang yang tak me­miliki izin.

Menurut Wachid, para penam­bang liar biasa beroperasi di wi­layah usaha pertambangan milik PT Timah, baik yang sudah diolah maupun lahan reklamasi.

Tak sulit untuk menemukan jejak penambang liar di lahan yang telah direklamasi. Para pe­nambang meninggalkan banyak lubang bekas penggalian.

“Namun akhirnya, PT Timah yang disalahkan, karena lubang-lubang menganga yang diting­gal­kan para penambang ilegal be­ra­da di wilayah pertambangan kami,” tutur Wachid.

Menjamurnya penambang ilegal karena difasilitasi smelter atau peleburan timah milik pe­ngusaha-pengusaha yang tidak memiliki IUP.

“Para pengusaha ilegal akan menampung timah-timah dari para penambang liar dan men­jual­nya ke luar negeri. Total pro­duksi dari aktivitas itu kemudian melebihi jumlah yang dihasilkan PT Timah,” jelas Wachid.

Keluarnya timah Bangka me­la­lui smelter itu sudah ber­lang­sung menahun. Dampak dah­syatnya, kata Wachid, Indonesia tak bisa mengendalikan harga internasional walaupun menyup­lai 50 persen timah dunia.

Negara-negara seperti Malay­sia, Singapura dan Thailand yang se­cara geografis bukanlah peng­hasil timah justru berperan dalam menentukan harga timah dunia.

“Kita tak berdaya mengontrol timah di pasar internasional, ka­rena terlalu banyak penye­lun­du­pan,” jelasnya.

Maraknya penyelundupan memunculkan kesepakatan para produsen timah di Bangka untuk menerbitkan kebijakan mora­torium ekspor.

Meski menuai kontroversi, mo­ratorium dipertahankan sampai akhir tahun. Sebab tujuannya untuk menaikkan posisi tawar Indonesia di pasar timah inter­­nasional.

Hentikan Ekspor Buat Kerek Harga

Untuk menekan penyelun­du­pan timah ke luar negeri, PT Ti­mah mengusulkan adanya ekspor satu pintu. Namun usulan itu lang­sung mendapat reaksi dari para pemilik smelter.  

Para pengusaha yang se­lama ini dianggap berperan besar da­lam keluarnya timah dari Bangka Belitung secara tak sah itu menuduh usulan ini akal-akalan PT Timah untuk menguasai per­­dagangan timah.

Kepala Humas PT Timah, Wirtsa Firdaus mengatakan tudingan pengusaha smelter itu tidak me­miliki dasar. “Mengapa harus mencurigai PT Timah. Mereka seharusnya mencurigai negara te­tangga, seperti Malay­sia dan Si­ngapura yang terus mem­banjiri pa­sar timah dunia dengan merek da­gang mereka,” kata Wirtsa.

Menurutnya, gagasan untuk melakukan ekspor timah satu pintu berkembang begitu saja di kalangan produsen timah di Bangka Belitung. Para produsen itu juga sepakat untuk mora­torium ekspor.

“Dalam kesepakatan mora­to­rium tersebut juga disepakati bahwa PT Timah yang terikat dengan sejumlah pembeli di luar negeri sebelum adanya mora­to­rium tetap diperkenankan mela­ku­kan ekspor.  Karena dianggap me­nyangkut harkat dan martabat bangsa,” jelas Wirtsa.

Moratorium terbukti mampu mengerek kembali harga timah, sehingga berada pada kisaran yang lebih ekonomis. Karena ter­bukti mampu menginter­ven­si harga timah di pasar inter­na­sio­nal, moratorium diikuti usu­lan membuat sistem yang per­manen guna mengatur suplai timah.

Se­lain mengendalikan suplai, ke­hadiran sistem ekspor satu pintu ini bisa menjadi alternatif untuk me­ngikis penyelundupan dan eks­por balok timah berkadar rendah.

Selama ini, balok timah ber­ka­dar rendah yang masuk ke negara tetangga, seperti Malaysia dan Si­ngapura diolah menjadi timah ber­standar tinggi dan dijual de­ngan merek dagang mereka. Hal ini jelas sangat merugikan.

“Selain rendahnya royalti yang diperoleh negara karena balok timah berkadar rendah dan tak ber­merek dihargai rendah. Juga membuat pasar kelebihan suplai timah,” tegas Wirtsa.

Melalui ekspor satu pintu, Indonesia yang tercatat sebagai produsen sekaligus eksportir ti­mah terbesar di dunia, bisa me­ngendalikan harga di pasar timah internasional atau London Metal Exchange.

“Ini adalah ide bersama, dari sesama produsen timah. Tinggal dibahas bagaimana mekanisme untuk melaksanakannya. Jadi jangan asal tuding. Kan dengan satu pintu kita bisa mengen­da­likan suplai yang selama ini jadi biang kerok melorotnya harga timah,” tandas Wirtsa.


Berharap Menteri BUMN Turun Tangan

Penghentian sementara ekspor timah diberlakukan sam­pai akhir tahun. Morato­rium ini bertujuan supaya harga timah dunia kembali normal di angka 27.754 dolar AS per metrik ton.

Beberapa pihak menganggap moratorium ini akan menjadi blunder. Namun PT Timah yang menguasai produksi timah dalam negeri yakin moratorium solusi ampuh menormalkan lagi harga di pasar dunia.

“(Moratorium) ini kan se­mentara sampai akhir tahun. Ini kan kesepakatan dan kami me­nghormati kesepakatan itu,” ujar Direktur Utama Timah, Wachid Usman.

Menurut dia, ada dua jenis ekspor yang terkena mora­to­rium, yaitu pembelian langsung dan perjanjian kontrak. Meski ada moratorium, Wac­hid mene­gaskan pihaknya ma­sih mel­a­ku­kan ekspor untuk pem­beli yang sudah terikat kontrak.

“Timah masih mendapatkan kesempatan untuk melayani kontrak kepada pelanggan sam­pai akhir tahun ini sebesar de­la­pan ribu ton,” tegasnya.

Dengan moratorium ini, stok di London Metal Exchange (LME) yang merupakan pasar ti­mah dunia akan menurun. Se­iring dengan menurunnya stok di LME, sebagai pemasok ti­mah terbesar dunia, posisi Indo­nesia akan sangat strategis, terutama dalam menentukan harga. Namun moratorium akan menjadi sia-sia, kalau penye­lun­dupan timah ke luar negeri ma­sih merajalela.

Selain Indonesia, ada bebe­ra­pa negara yang menyuplai ti­mah dunia. Ironisnya, beberapa ne­gara penyuplai itu mend­a­pat­kan timah dari para penambang Indonesia.

Kondisi inilah yang menjadi bahasan para produsen timah di Bangka Belitung, se­hing­ga memunculkan gagasan mela­kukan ekspor satu pintu.

Wachid menegaskan, penu­ru­nan harga timah dipicu meng­gilanya timah ilegal di pasar du­nia, terutama dari Indonesia.

“Akhirnya suplai melebihi permintaan, sehingga prinsip dasar ekonomi berlaku yang mengakibatkan harga timah jatuh,” jelasnya.

Lantaran PT Timah adalah pe­rusahaan milik negara, Wac­hid berharap pemerintah ikut membantu mengatasi persoalan yang sekarang sedang dihadapi.

Dukungan dari pemerintah, terutama Menteri BUMN Dah­lan Iskan akan sangat mem­bantu PT Timah dalam me­nye­lesaikan berbagai permasalahan yang dialaminya.

“Kita berharap, pemerintah ikut memikirkan bagaimana mengatasi masalah penye­lun­dupan timah dan ilegal mining. Sebagai pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), PT Timah selama ini cukup akomodatif ter­­hadap kepentingan warga Babel. Untuk itu perlu win-win solution untuk mengatasi ilegal mining,” kata Wachid. [Harian Rakyat Merdeka]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA