Ketika Rakyat Merdeka meÂnanyakan apakah benar di tempat ini LSM asing yang bergerak diÂbidang lingkungan hidup GreenÂpeace berkantor, pria itu deÂngan lugas membenarkannya di sertai anggukan kepala. “SiÂlahkan maÂsuk Mas. Ada satpam yang jaga di dalam,†ujarnya ramah.
Jika tidak memperhatikan deÂngan jeli, siapa saja yang pertama kali datang ke tempat ini akan sedikit pangling. Sebab, tak terÂliÂhat tanda mencolok yang meÂnanÂdakan bangunan di kawasan elite ini merupakan markas Greenpeace.
Hanya terlihat sebuah plang kecil berukuran 100 x 50 cm di bagian kanan gerbang sebagai tanda. Plang bertuliskan “GreenÂpeace, Southeast Asia Indonesia Office†diletakkan di atas pagar. keberadaan plang ini sedikit terÂsaÂmarkan rimbunnya dedaunan yang hampir menutupinya.
Seperti diketahui, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi berÂjanji akan menindak GreenÂpeace Indonesia. Pasalnya GreenÂpeace menerima kucuran dana asing tanpa seizin pemerintah Indonesia.
Greenpeace Indonesia meneriÂma dana miliaran rupiah dari Greenpeace Asia Tenggara. InforÂmasi penerimaan dana ini diÂumumkan dalam laporan keÂuangan Greenpeace di dua harian media massa nasional beberapa waktu lalu.
Selain menerima dana itu, GreenÂpeace Indonesia juga terÂbukti mengangkangi hukum InÂdonesia. Pasalnya, LSM yang bermarkas di Belanda ini tidak terdaftar di Kesbangpol Pemprov DKI Jakarta maupun Kesbangpol Kemendagri.
Tak ayal, tuntutan berbagai pihak agar pemerintah memÂbekuÂkan atau menutup kantor GreenÂpeace di Indonesia pun seÂmakin menguat.
Kantor Greenpeace sekilas meÂmang tak terlihat seperti sebuah kantor. Bentuk bangunannya seÂperti rumah mewah. Terdiri dari dua lantai, rumah ini diberi cat putih. Bangunannya yang kokoh, membuat rumah ini terlihat sedikit megah.
Hanya disediakan satu gerbang sebagai akses masuk. MeÂngeÂtaÂhui kedatangan tamu, satpam yang berjaga di baliknya langÂsung dengan sigap membukakan gerbang.
Memasuki gerbang, di sisi kiri bagian dalam pekarangan kantor Greenpeace terpakir puluÂhan seÂpeda motor. Motor-motor ini meÂrupakan milik staf GreenÂpeace. Agar tak terkena terik maÂtahari, di bagian atas tempat parÂkir diÂpasang atap fiber.
Di bagian teras pintu utama, ditempatkan satu meja sebagai tempat jaga satpam. Tak semÂbaÂraÂngan orang dibiarkan memaÂsuÂki gedung ini. Satpam yang berÂjaga di samping pintu pun langÂsung ‘menginterogasi’ setiap tamu yang datang.
Satpam akan melontarkan seÂjumlah pertanyaan. Apa keÂpenÂtingan berkunjung ke tempat ini. Lalu apakah sudah membuat janji. Pertanyaan berikutnya, janji dengan siapa. Bila tak jelas keÂperluannya, satpam bisa menolak tamu memasuki tempat ini.
Bila dianggap keperluannya jelas atau sudah memiliki janji, satpam akan meminta tamu meÂngisi buku tamu.
Selain dijaga satpam, untuk memasuki gedung ini harus meÂmiliki acces card atau kartu akÂses. Di samping pintu masuk meÂmang terlihat alat pembuka pintu.
Agar pintu bisa terbuka, para pegawai Greenpeace terlebih dahulu menekan kode tertentu lalu menempelkan sidik jari di pemindai. Bila kode cocok dan sidik jarinya terdaftar, pintu bisa terbuka.
Setelah diminta meninggalkan KTP dan diganti dengan ID card tamu, satpam mempersilahkan RakÂyat Merdeka masuk. MeleÂwati pintu, di sisi kiri terdapat meja resepsionis. Tempat ini diÂdesain dari anyaman bambu miÂrip pendopo. Beberapa ukiran kayu juga di gantung pada tiang-tiangnya. Di baliknya duduk seorang wanita.
Di bagian depan diletakkan satu set sofa rotan dipadu dengan bantalan busa. Bagi tamu yang sudah mendapat izin masuk, disuruh menunggu di tempat ini.
Tak jauh dari kursi tamu, berÂdiri kokoh lemari kayu berwarna coklat. Sekilas fungsinya sebaÂgai pembatas antara ruang lobby dengan ruangan lainnya. Lemari ini tampak dipenuhi plakat dan pengÂhargaan yang diÂterima GreenÂÂpeace dari berbagai lembaga.
Pada bagian dinding juga tampak dihiasi bingkai-bingkai foto. Foto ini mengambarkan suaÂsana alam yang menjadi konÂsenÂtrasi Greenpeace.
Untuk sekelas kantor LSM, peÂngamanan kantor Greenpeace terÂbilang cukup ketat. Tak hanya diÂjaga satpam dan dilengkapi kartu akses, di bagian pojok atas lobby juga dipasangi kamera CCTV untuk memantau situasi di situ. Juga gerak-gerik tamu.
Jika diperhatikan, lantai satu tempat ini dibagi-bagi ke dalam beberapa ruangan. Di bagian teÂngah juga tampak sekat-sekat dari anyaman bambu yang menjadi tempat para pegawai Greenpeace bekerja.
Dari lantai dua, sayup-sayup terdÂengar suara pria berbahasa asing. Dari lafalnya pria ini meÂngumamkan bahasa Inggris. Tak jelas apa yang sedang dibiÂcaÂraÂkan, tapi sepertinya memang seÂdang ada rapat.
Saat Rakyat Merdeka meÂngunjungi tempat ini, suasananya terlihat tenang. Tak terlihat aktiÂvitas yang terlalu mencolok. HaÂnya ada satu dua penghuni geÂdung ini yang terlihat mondar-manÂdir ke meja resepsionis. Tak sampai mengobrol lama, mereka kembali masuk ke ruangannya masing-masing.
Aktivitas kedatangan tamu ke tempat ini juga terbilang sepi. BeÂberapa jam di tempat ini, haÂnya terlihat dua tamu yang berÂkunÂjung. Itupun hanya sebatas kurir yang mengantarkan surat dan paket.
Juru Kampanye Media GreenÂpeace Indonesia, Hikmat SoeriaÂtanuwijaya menuturkan, suasana di kantor ini sepi karena hampir 70 persen aktivis sedang bekerja di lapangan. Mayoritas kegiatan Greenpeace adalah penelitian, riset, dan pencarian bukti-bukti penyalahgunaan hutan.
“Demo 10 menit aja kita risetÂnya bisa satu tahun lebih. Butuh data dan validitas yang kuat. SeÂbenÂarnya, staf ada sekitar 40 orang. Kalau sama aktivisnya bisa sampai ratusan menyebar di mana-mana,†ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Ketika disinggung mengenai gedung tempat Greenpeace berÂkantor, Hikmat mengungkapkan, statusnya masih mengontrak. Greenpeace menempati rumah ini sudah hampir setahun setelah pindah dari Jalan Cimandiri, CiÂkini, Jakarta Pusat.
“Uang yang kita gunakan buat kampanye dan operasional ini uang rakyat, jadi nggak bisa sembarangan. Jadi maklum saja kalau kita masih ngontrak. Cuma yang jelas di bawah pasaran, kaÂrena pemiliknya pendukung GreenÂpeace juga. Paling tidak harganya nggak kayak orang,†ujarnya sembari tertawa.
Menanggapi desakan agar Greenpeace dibekukan, Hikmat menilai, itu merupakan salah satu risiko yang harus dihadapi LSM ini dalam upaya menyelamatkan hutan Indonesia dari kerusakan. Sikap Greenpeace yang kritis, lanjutnya, dianggap segelintir orang sebagai sebuah ancaman.
“Siapa yang diuntungkan dari kerusakan hutan? Kalau dilihat hanya segelintir perusahaan maha kaya yang berkolaborasi dengan oknum kekuatan politik yang menikmati. Oknum perusak hutan saat ini bukan industri yang ecek-ecek. Mereka bahkan kongÂlomerat Indonesia,†tandasnya.
Harapan Greenpeace agar okÂnum-oknum tersebut berhenti meÂrusak hutan dan mulai berÂoperasi secara ramah lingkungan bisa berubah menjadi serangan balik. Salah satunya melakukan perlawanan dengan melakukan kampanye negatif terhadap Green peace.
“Tujuannya ada dua. Pertama, membuat nama Greenpeace buruk di mata masyarakat. KeÂdua, untuk mengalihkan isu kaÂreÂna kita selalu vokal menyuaÂraÂkan perusakan-perusakan hutan. Sehingga, oknum-oknum terseÂbut bisa kembali dengan leluasa meÂrusak hutan,†ujarnya.
Bagi Hikmat, serangan balik dari oknum-oknum perusak huÂtan terhadap Greenpeace sebagai sesuatu yang wajar. Namun, hal itu tidak sedikitpun membuat Greenpeace gentar dalam meÂngampanyekan penyelamatan hutan dan lingkungan.
“Biar masyarakat yang menilai mana benar dan yang salah. Kita akan tetap berkampanye sampai hutan yang masih tersisa selaÂmat,†ujarnya.
Bermula dari Pelayaran Kapal Phyllis Cormack
Di tahun 1971, sekelompok aktivis berlayar dari Vancouver, Kanada dengan kapal nelayan tua. Tujuan mereka Amchitka, pulau kecil di lepas pantai Alaska.
Mereka hendak menjadi saksi atas kerusakan yang terjadi akibat percobaan nuklir yang dilakukan Amerika di tempat itu.
Amchitka adalah tempat perlinÂdÂungan terakhir bagi sekitar 3.000 berang-berang. Juga haÂbitat bagi burung elang kepala botak dan satwa liar lainnya.
Aksi perjalanan para aktivis itu dengan kapal Phyllis Cormack mendapat banyak perhatian pubÂlik. Amerika pun didesak untuk menghentikan uji coba nuklir di pulau itu. Desakan berhasil, pada tahun itu juga uji coba diakhiri. Pulau itu lalu ditetapkan sebagai suaka alam.
Setelah itu, para aktivis memuÂtuskan untuk membentuk orgaÂnisasi yang diberi nama GreenÂpeace. Organisasi bertujuan untuk mengampanyekan isu-isu lingkungan. Selama ini, para akÂtivis GreenÂpeace tak takut berÂkonfrontasi deÂngan pihak-pihak yang dianggap mencemarkan dan merusak lingkungan.
Mereka tak gentar melakukan penghadangan kapal-kapal yang mengangkut komoditas yang diÂperoleh dari merusak hutan. Tak sedikit aktivis kelompok pecinta lingkungan ini tak ditangkap.
Kini, Greenpeace telah menÂjadi organisasi internasional dan mengklaim memiliki 2,8 juta pendÂukung di seluruh dunia. OrÂganisasi ini bermarkas di AmsÂterdam, Belanda dan memiliki kantor regional di 41 negara.
Greenpeace Asia Tenggara diÂbenÂtuk karena melihat keruÂsakaan lingkungan yang cukup besar selama 30 dekade terakhir. Kerusakan ini seiring tumbuhnya perekonomian dan industri negara-negara Asia Tenggara.
Sumber daya alam yang meÂlimpah dan buruh yang murah, membuat banyak perusahaan multinasional ekspansi ke sini. Mereka turut andil dalam keÂruÂsakan lingkungan di Asia Tenggara.
Kerusakan lingkungan sulit direm karena kurangnya kesaÂdaÂran masyarakat. Juga lemahnya mekanisme demokrasi untuk memperkuat masyarakat dalam mempengaruhi pengambilan keputusan.
Beberapa kegiatan yang dilaÂkukan Greenpeace di Asis TengÂgara adalah menghentikan import limbah berbahaya, menentang pengiriman radioaktif, berkamÂpaÂnye melawan terhadap pemÂbiÂnaÂsaan hutan, melobi pemerintah mengenai isu-isu energi berÂkeÂlanjutan dan menyoroti bahaya limbah pembakaran.
Negara yang jadi fokus utama Greenpeace di Asia Tenggara adalah Indonesia dan Filipina.
Haram Makan Duit Pemerintah
Hikmat menjelaskan, GreenÂpeace merupakan organisasi gloÂbal. Namun di masing-maÂsing negara dikelola secara inÂdependen. Mulai dari akÂtiÂviÂsÂnya, donatur, hingga hutan yang diselamatkan adalah milik orang Indonesia.
“Alhamdulillah ada sekitar 30 ribu yang jadi donatur kita. Pengelolaan keuangannya inÂdependen. Karena kita menÂjunÂjung tinggi akuntabilitas, hasil audit kita itu selalu kita pubÂlish,†ucap Hikmat.
Tudingan bahwa Greenpeace Indonesia menerima bantuan dana dari asing dan tidak pernah dilaporkan ke pemerintah, diÂniÂlainya sebagai salah satu senÂjaÂta untuk memojokkan Greenpeace.
Hikmat mengklaim, hingga hari ini Greenpeace merupakan satu-satunya LSM yang paling transparan di dunia.
“Semua tuduhan itu tidak beÂnar. Bahkan kita juga pernah dituduh menerima dana judi. KeÂÂnapa kita tidak khawatir deÂngan tuduhan itu? Karena kita memegang satu nilai dasar seÂlama 40 tahun Greenpeace tidak mau menerima dana dari peÂmerintah dan perusahaan mana pun,†tandasnya.
“Sebagai pengguna dana pubÂlik, transparansi dan akunÂtabilitas paling utama bagi kita. Kalau kita tidak transparan atau tidak akuntabel, penyumbang bisa kapok nyumbang,†lanÂjutnya.
Bukan Ormas, Tak Mendaftar ke Kemendagri
Juru Bicara KemenÂteriÂan Dalam Negeri (Kemendagri) Reydonnyzar Moenek meÂnyebutkan bahwa Greenpeace meÂlanggar UU Nomor 8 Tahun 1985 dan tidak transparan meÂngenai sumber dana.
Selain itu, Greenpeace juga dinilai belum memiliki niat baik untuk mendafarkan diri ke Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) DKI Jakarta.
“Kita masuk ke Indonesia tahun 2005 tahun 2006 dapat badan hukum. Kampanye kita kan utamanya bisa dilihat adaÂlah terus mendesak pemerintah dan industri untuk taat hukum. Masak kita yang setiap hari berÂkoar-koar mendesak agar patuh terhadap hukum malah tidak taat hukum,†ujar Hikmat.
Menurut dia, segala persyaraÂtan untuk memperoleh legalitas sudah dipenuhi Greenpeace. Hanya saat mendaftar, GreenÂpeace diarahkan untuk menÂdaftar ke Kementerian Hukum dan HAM.
“Kalau dulu dibilang ke KeÂmÂendagri kita pasti daftar ke sana. Kita pasti kesana. TerÂnyata baru-baru ini mencuat Greenpeace juga harus daftar di Kemendagri, tidak cukup di KeÂmenkumham. Kita ngambilÂnya positif aja. Kalau harus ya akan kita laksanakan,†ujarnya.
Hikmat mengatakan, persyaÂrÂatan ini membuat Greenpeace dan beberapa LSM keÂbinÂguÂngan. “Dalam aturan di KeÂmenÂterian Hukum dan HAM, orÂgaÂnisasi seperti kita nggak perlu daftar di Kesbangpol Daerah,†ujarnya.
Greenpeace, terang dia, adaÂlah semacam perkumpulan dan yayasan. Sehingga seharusnya pendaftarannya cukup di KeÂmenkumham.
“Kami bukan ormas. Kalau ormas yang berwenang itu KeÂmendagri. Jadi sedikit tumpang tindih. Makanya kita akan minÂta petunjuk ke Kemenkumham dan Kemendagri. Kita sih prinÂsipÂnya sih, mana yang harus akan kita lakukan,†tutupnya.
Hikmat mengaku, pihaknya sudah melakukan audiensi deÂngan Kementerian Dalam NeÂgeri (Kemendagri) pada perÂtengahan Oktober lalu. KeÂdaÂtanÂgan mereka pun disambut Mendagri Gamawan Fauzi dan beberapa anak buahnya.
“Pada intinya Kemendagri mendukung kampanye GreenÂpeace, kampanye penyelamatan lingkungan. Mereka memberi petunjuk coba ditelaah dan diÂikuti aturan-aturan hukum yang berlaku. Kita ini masih akan teÂrus bersinggungan dengan MenÂdagri, dan mereka berjanji akan membantu kita untuk meÂmenuhi aspek-aspek legalitas yang diÂperÂlukan,†jelasnya. [rm]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.