Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pede Terpilih, Karena Merasa Kaya Pengalaman

Aryanto Sutadi, Capim KPK Posisi Juru Kunci

Minggu, 16 Oktober 2011, 07:36 WIB
Pede Terpilih, Karena Merasa Kaya Pengalaman
Aryanto Sutadi

RMOL. Masa jabatan empat pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan berakhir Oktober ini. Hingga pertengahan bulan, DPR belum juga melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap para calon.

Penyebabnya, belum ada kesepakatan di antara fraksi-fraksi mengenai jumlah calon yang harus disetor ke DPR. Be­berapa fraksi masih bersikukuh pemerintah harus menyerahkan se­puluh nama calon. Sementara si­kap pemerintah sudah final: ha­nya menyetor delapan nama se­suai usul Panitia Seleksi (Pansel).

Alasannya, Busyro Muqoddas tak perlu ikut diganti karena masa jabatannya sudah diperpanjang dengan putusan Mahkamah Kons­titusi (MK).

Delapan nama calon itu yakni Bambang Widjojanto, Yunus Hu­sein, Abdullah Hehamahua, Han­doyo Sudrajat, Abraham Samad, Zulkarnaen, Adnan Pandu Praja dan Aryanto Sutadi.

Urutan nama calon itu sesuai dengan skoring yang dibuat Pan­sel. Bambang memperoleh nilai paling tinggi. Aryanto terendah.

Selama proses seleksi, Aryanto cukup banyak mendapat sorotan. Erry Riyana Harjapamekas, anggota Pansel mengungkapkan, pihaknya sangat terpaksa me­lo­los­kan mantan polisi yang kini menjabat Deputi Bidang Peng­ka­jian dan Penanganan Sengketa Ba­dan Pertanahan Nasional (BPN) itu.

Kini “bola panas” itu su­dah di­lem­par ke Senayan. Apapun ke­sepakatan fraksi-fraksi kelak, Ar­yanto dipastikan akan te­tap diikutsertakan da­lam uji ke­la­yakan dan kepatutan.

Bagaimana pen­siunan polisi de­ngan pangkat terakhir Inspek­tur Jenderal itu menghadapi fit and proper test di Komisi III DPR?

Aryanto me­nu­tur­kan, tak mela­ku­kan persiapan khu­sus. Penga­lamannya selama puluhan tahun di kepolisian akan dija­dikannya bekal dalam men­jawab setiap per­tanyaan anggota Komisi Hu­kum DPR. “Saya hanya bicara apa adanya, seperti yang saya tahu dan bisa saya kerjakan.”

Sejumlah tudingan miring yang dialamatkan kepadanya akan ditanggapi dengan santai. Aryanto malah mempertanyakan sejumlah tudingan miring ter­ha­dap dirinya.

“Itu (tudingan) mem­buat saya bertanya-tanya. Kenapa mereka menyangsikan orang yang punya pengalaman? Tapi, orang yang tidak berpengalaman tidak me­re­ka sangsikan,” sesal dia.

Sebelumnya, sejumlah kala­ngan mendesak DPR tidak me­mi­lih calon pimpinan KPK dari un­sur kejaksaan dan kepolisian. Pa­salnya, KPK lahir dari ketid­a­k­percayaan masyarakat terha­dap ke­dua lembaga penegak hukum itu.

ICW dan Koalisi Masyarakat Sipil mencatat Aryanto tak memi­liki rekam jejak yang bagus saat berkarier di kepolisian. Ia juga dinilai tak memiliki semangat me­merangi korupsi lantaran mem­perbolehkan menerima gratifikasi.

Aryanto yang jebolan Akpol ta­hun 1977 ini mengaku, kon­disi psi­kologisnya tidak ter­ganggu se­dikit pun meski se­jumlah kala­ngan menyangsikan kredibilitasnya.

“Seperti yang saya katakan tadi, tudingan itu membuat saya bertanya-tanya. Kenapa mereka menyangsikan orang yang punya pengalaman, tapi yang tidak ber­pengalaman tidak disangsikan.

Na­mun, kita tidak perlu mem­per­pan­jang persoalan itu. Orang bo­leh saja bicara. Hal itu tidak akan mempengaruhi saya,” tandasnya.

Ketika disinggung apa moti­vasi ingin jadi pimpinan KPK, Aryanto mengatakan, ia ikut se­leksi karena prihatin dengan ma­kin maraknya korupsi di negeri ini. “Nurani saya tidak bisa mem­biarkan itu. Persoalan korupsi saya yakin dapat dituntaskan jika ada kemauan,” ucapnya.

Meski tidak memaparkan se­cara gamblang, Aryanto berjanji akan melakukan perbaikan kinerja lembaga KPK. Yang pada akhir­nya bisa menekan tingkat korupsi.  

“Kalau ditanya soal perbaikan, ya banyak yang harus kita laku­kan. Kita harus melihat apa yang kurang sekarang dan apa yang harus KPK kerjakan di masa men­datang,” katanya.

Mengenai tingkat keper­cayaan publik terhadap KPK yang mulai menurun, menurut Aryanto, itu ada be­be­rapa kemungkinan. Di an­ta­ra­nya, menurunnya kredibi­litas KPK dikarenakan kinerjanya me­mang benar-benar jelek atau ada proses (penanganan) yang keliru.

“Yang pasti, ke depan kita harus menunjukkan kinerja yang maksimal, transparan. Dengan de­mikian, persepsi negatif itu akan hilang. Kemungkinan lain­nya, persepsi negatif itu justru disebabkan kurangnya penjelasan dari pihak yang dinilai itu sendiri (KPK),” ujarnya.

Menghadapi uji kepatutan dan kelayakan, Aryanto sepenuhnya menyerahkan nasibnya ke tangan Komisi III. Menurutnya, sebagai wakil rakyat, anggota Dewan su­dah paham betul pimpinan KPK seperti apa yang diinginkan masyarakat.

“Mereka pasti akan mencari dan memilih calon pimpinan KPK yang terbaik buat rakyat. Kalau yang mau memilih saya, ya syukur. Kalau nggak, buat apa kita paksakan. Kita kan ber­tang­gung jawab kepada rakyat dan negara ini,” ujar dia.

Ketika mengikuti tes wawan­cara di Pansel, Aryanto mengaku pernah menerima pemberian se­se­orang saat membantu penye­le­saian sengketa. “Kalau diberi de­ngan suka rela memang pernah. Kan tidak baik menolak walau cuma setandan pisang. Selama tidak mempengaruhi tugas, pe­ja­bat polisi yang menerima pem­be­rian orang lain bukanlah gra­tifikasi,” ujarnya.

Namun, tutur Aryanto, jangan pernah memaksa atau meminta sesuatu kepada orang lain se­bagai imbalan penanganan ka­sus. “Tapi, itu saya lakukan dulu, ke­tika aturan gratifikasi belum ada. Gaji polisi tidak cukup, saya rasa se­lama legal, sah-sah saja,” ucapnya.

Aryanto juga pernah dituding terlibat dalam kasus penghentian gugatan pemalsuan ijazah Bupati Pamekasan, Fuad Amin, pemera­san uang Rp 3 miliar kepada bos narkoba dan kasus tanah Bukit Hambalang yang akan dibangun Sekolah Atlet.

Dia pun membantah, mentah-mentah penghentian kasus pe­mal­suan ijazah. “Mengenai kasus pemalsuan ijazah, itu tidak benar sama sekali. Ijazah yang digu­na­kan Fuad Amin sudah benar dan legal,” ujarnya.

Adapun soal laporan pe­m­e­rasan terhadap bandar narkoba, ia menegaskan kasus itu sampai saat ini tidak pernah terbukti. Terkait soal kasus Hambalang, ia me­nga­ku kasus yang dituduhkan Na­za­ruddin itu mencuat ketika ia be­lum masuk di Badan Pertanahan Nasional. “Saya masuk tahun 2010 dan kasus itu ramai sebelum itu. Ke­pala BPN tahu itu,” tandasnya.

Aryanto tidak tahu apa tolak ukur yang dipakai Pansel me­nempatkan dirinya dalam posisi juru kunci. “Sekarang kan yang keras ngomong, maunya diper­ca­ya rakyat. Tapi buat saya, yang pen­ting jangan membodohi rak­yat. Tujuan saya hanya ingin me­ngabdi kepada negara. Dipakai syukur, nggak dipakai ya sudah,” ujarnya.

KPK Kecil Tapi Tangani Banyak Kasus

Bagaimana pandangan Ar­yanto Sutadi mengenai KPK? Ini­lah pendapatnya. “Menurut saya, KPK lembaga kecil tapi tan­ta­ngan­nya begitu besar. Waktu saya Ka­polda Sulteng ada 100 kasus ko­rupsi. Satu kasus perlu enam bulan. Bagaimana KPK? Di sini harapan masyarakat tinggi,” ujarnya.

Laporan dugaan korupsi yang masuk ke KPK cukup banyak. Me­nurut dia, KPK harus mem­buat prioritas kasus yang akan ditangani. Selain itu, KPK perlu meng­efektifkan penanganan per­kara. Ia lalu menyinggung soal pe­me­riksaan di KPK yang mema­kan waktu lama. Satu orang bisa di­periksa sampai belasan jam.

“Standarisasi penyidikan bisa memperkecil waktu dan me­ning­katkan efektifitas. Agar KPK pro­duktif, pilih yang serius. Kasus­nya tinggi sementara sumber daya manusia terbatas, membuat semua kasus tidak ditangani,” ucapnya.

Aryanto memberikan contoh lain mengenai tidak efektifitas­nya KPK dalam menangani se­buah kasus. Penyidiknya tak me­lakukan surveillance (pe­nga­ma­tan) dan undercover (penya­maran) lebih dekat. Dia melihat ini sebagai kelemahan penyidi­kan yang dilakukan KPK.

Menurut Aryanto, kedua teknik ini perlu digunakan. Dalam kasus narkoba, jika tidak menggunakan dua cara, tidak akan bisa menang­kap pelakunya.

Apa yang jadi prioritasnya jika terpilih jadi pimpinan KPK? Apa­kah kasus rekening gendut pej­a­bat masuk dalam bidikannya?

“Target saya bukan ini saja. Ba­nyak target utama. Rekening gendut bagi saya kecil dan masih banyak lebih besar lagi,” te­rangnya.

“Gratifikasi Sudah Kultur, Sekarang Dikriminalkan”

Aryanto Sutadi tak terima dianggap menolerir gratifikasi yang dianggap tabu bagi pim­pinan KPK. Ia mengaku tak pernah menyebut boleh me­nerima gratifikasi.

 â€œGratifikasi itu kalau dilihat dari kultur, (sudah) jadi ke­bia­saan bangsa kita. Kemudian gra­tifikasi dikriminalisasi se­perti dalam Undang-undang KPK,” ujar Aryanto saat rapat dengar pendapat bersama ang­gota Panitia Akuntabilitas Publik DPD di Jakarta.

Menurut Aryanto, semangat me­merangi gratifikasi menim­bulkan orang takut melakukan korupsi. Soal gratifikasi ini, kata­nya, karena telah dima­suk­kan sebagai hukum, maka harus dijalani. Tapi itu pun harus dibe­dakan gratifikasi apa yang di­maksud dalam hukum itu.

“Saya merasa punya penga­la­man, kemampuan dan track re­cord yang menurut saya ti­dak ca­cat,” ujar Aryanto yang kini du­duk sebagai salah satu deputi di Badan Pertanahan Nasional itu.

Boleh Bertemu Tersangka Asal Tak Kongkalikong

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tak ingin ketinggalan dalam “membedah” calon pim­pinan KPK. Delapan calon diundang mengikuti audiensi untuk memaparkan visi dan misi mereka sebagai pimpinan lembaga penggasak korupsi.

Selain itu, audiensi yang di­gelar Kamis (13/10) di Gedung DPD, Senayan, Jakarta ini un­tuk menumbuhkan sinergi da­lam memberantas korupsi di daerah.

Anggota DPD Sarah Lery Mboeik menyampaikan hal mengejutkan yang terjadi saat audiensi. Kata dia, ada salah satu calon yang membolehkan pertemuan dengan tersangka.

“Ada pernyataan kontro­versial dari capim KPK Aryanto Sutadi. Dia mengata­kan boleh saja bertemu calon tersangka atau tersangka asal tidak ada kolusi,” kata Sarah.

 â€œPernyataan Pak Aryanto itu bisa menjadi preseden buruk. Kalau dibolehkan bertemu ter­sangka dikhawatirkan bisa ter­jadi sesuatu yang transak­sio­nal,” jelas Sarah.

Sarah berharap, soal pertemu­an dengan tersangka itu perlu diperhatikan Komisi III DPR yang akan melakukan fit and pro­per test capim KPK.

“Itu harus menjadi catatan, karena ini bisa meneng­gelam­kan semangat antikorupsi,” terangnya.

Empat Kali Jadi Direktur Reserse

Panitia seleksi pimpinan KPK meloloskan delapan nama untuk mengikuti tahapan fit and proper test. Mewakili unsur kepolisian, muncul nama Irjen (Purn) Aryanto Sutadi, MH, M.Sc.

Aryanto lahir di Gombong, Jawa Tengah, 10 Oktober 1951. Saat ini, ia masih tercatat sebagai Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI. Berikut ini rekam jejak Aryanto Sutadi:

Pendidikan:

-  Akabri Bagian kepolisian (1977)

- Perguruan Tinggi Ilmu Ke­polisian (1986)

- Sekolah Staf dan Pimpinan Polri (1993)

- Sekolah Staf Komando Ga­bungan ABRI (1998)

- Master Sosiologi (2000)

- Kursus Reguler Lemhanas (2000)

- Master Hukum Universitas Jayabaya Jakarta (2008)

 

Karier:

- Staf pada Komando Ke­po­li­sian Resort Bangkalan Ma­du­ra, Jawa  Timur (1971-1973)

- Staf pada Komando Ke­po­li­sian Resort Temanggung, Jawa Timur (1978-1984)

- Kabag Ren-Min Ops Di­rek­torat Reserse Polda Metro Jaya (1986)

- Perwira Penghubung Pro­to­kol/Sespri Kapolri (1991)

- Kasat Reserse Ekonomi Polda Metro Jaya (1993)

- Staf Pribadi Kapolri (1996)

- Kepala Kepolisian Wilayah Malang, Jawa Timur (1998)

- Direktur Reserse Pidana Ter­tentu Polri (2001)

- Direktur Reserse Pidana Umum Polri (2001)

- Direktur I Kejahatan Ke­ama­nan dan Trans-Nasional Ba­reskrim Polri (2002)

- Kapolda Sulawesi Tengah (2004)

- Direktur IV Narkoba dan Terorganisir Polri (2005)

- Staf Ahli Kapolri (2007)

- Staf Ahli Kapolri Bidang So­sial Budaya (2007)

- Kepala Divisi Pembinaan Hu­kum Polri (2007)

- Pe­nasehat Ahli Kapolri Bi­dang Hukum (2009)

- Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa Badan Pertanahan Nasional (BPN) (2010 - sekarang).   [rm]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA