RMOL. Masa jabatan empat pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan berakhir Oktober ini. Hingga pertengahan bulan, DPR belum juga melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap para calon.
Penyebabnya, belum ada kesepakatan di antara fraksi-fraksi mengenai jumlah calon yang harus disetor ke DPR. BeÂberapa fraksi masih bersikukuh pemerintah harus menyerahkan seÂpuluh nama calon. Sementara siÂkap pemerintah sudah final: haÂnya menyetor delapan nama seÂsuai usul Panitia Seleksi (Pansel).
Alasannya, Busyro Muqoddas tak perlu ikut diganti karena masa jabatannya sudah diperpanjang dengan putusan Mahkamah KonsÂtitusi (MK).
Delapan nama calon itu yakni Bambang Widjojanto, Yunus HuÂsein, Abdullah Hehamahua, HanÂdoyo Sudrajat, Abraham Samad, Zulkarnaen, Adnan Pandu Praja dan Aryanto Sutadi.
Urutan nama calon itu sesuai dengan skoring yang dibuat PanÂsel. Bambang memperoleh nilai paling tinggi. Aryanto terendah.
Selama proses seleksi, Aryanto cukup banyak mendapat sorotan. Erry Riyana Harjapamekas, anggota Pansel mengungkapkan, pihaknya sangat terpaksa meÂloÂlosÂkan mantan polisi yang kini menjabat Deputi Bidang PengÂkaÂjian dan Penanganan Sengketa BaÂdan Pertanahan Nasional (BPN) itu.
Kini “bola panas†itu suÂdah diÂlemÂpar ke Senayan. Apapun keÂsepakatan fraksi-fraksi kelak, ArÂyanto dipastikan akan teÂtap diikutsertakan daÂlam uji keÂlaÂyakan dan kepatutan.
Bagaimana penÂsiunan polisi deÂngan pangkat terakhir InspekÂtur Jenderal itu menghadapi fit and proper test di Komisi III DPR?
Aryanto meÂnuÂturÂkan, tak melaÂkuÂkan persiapan khuÂsus. PengaÂlamannya selama puluhan tahun di kepolisian akan dijaÂdikannya bekal dalam menÂjawab setiap perÂtanyaan anggota Komisi HuÂkum DPR. “Saya hanya bicara apa adanya, seperti yang saya tahu dan bisa saya kerjakan.â€
Sejumlah tudingan miring yang dialamatkan kepadanya akan ditanggapi dengan santai. Aryanto malah mempertanyakan sejumlah tudingan miring terÂhaÂdap dirinya.
“Itu (tudingan) memÂbuat saya bertanya-tanya. Kenapa mereka menyangsikan orang yang punya pengalaman? Tapi, orang yang tidak berpengalaman tidak meÂreÂka sangsikan,†sesal dia.
Sebelumnya, sejumlah kalaÂngan mendesak DPR tidak meÂmiÂlih calon pimpinan KPK dari unÂsur kejaksaan dan kepolisian. PaÂsalnya, KPK lahir dari ketidÂaÂkÂpercayaan masyarakat terhaÂdap keÂdua lembaga penegak hukum itu.
ICW dan Koalisi Masyarakat Sipil mencatat Aryanto tak memiÂliki rekam jejak yang bagus saat berkarier di kepolisian. Ia juga dinilai tak memiliki semangat meÂmerangi korupsi lantaran memÂperbolehkan menerima gratifikasi.
Aryanto yang jebolan Akpol taÂhun 1977 ini mengaku, konÂdisi psiÂkologisnya tidak terÂganggu seÂdikit pun meski seÂjumlah kalaÂngan menyangsikan kredibilitasnya.
“Seperti yang saya katakan tadi, tudingan itu membuat saya bertanya-tanya. Kenapa mereka menyangsikan orang yang punya pengalaman, tapi yang tidak berÂpengalaman tidak disangsikan.
NaÂmun, kita tidak perlu memÂperÂpanÂjang persoalan itu. Orang boÂleh saja bicara. Hal itu tidak akan mempengaruhi saya,†tandasnya.
Ketika disinggung apa motiÂvasi ingin jadi pimpinan KPK, Aryanto mengatakan, ia ikut seÂleksi karena prihatin dengan maÂkin maraknya korupsi di negeri ini. “Nurani saya tidak bisa memÂbiarkan itu. Persoalan korupsi saya yakin dapat dituntaskan jika ada kemauan,†ucapnya.
Meski tidak memaparkan seÂcara gamblang, Aryanto berjanji akan melakukan perbaikan kinerja lembaga KPK. Yang pada akhirÂnya bisa menekan tingkat korupsi.
“Kalau ditanya soal perbaikan, ya banyak yang harus kita lakuÂkan. Kita harus melihat apa yang kurang sekarang dan apa yang harus KPK kerjakan di masa menÂdatang,†katanya.
Mengenai tingkat keperÂcayaan publik terhadap KPK yang mulai menurun, menurut Aryanto, itu ada beÂbeÂrapa kemungkinan. Di anÂtaÂraÂnya, menurunnya kredibiÂlitas KPK dikarenakan kinerjanya meÂmang benar-benar jelek atau ada proses (penanganan) yang keliru.
“Yang pasti, ke depan kita harus menunjukkan kinerja yang maksimal, transparan. Dengan deÂmikian, persepsi negatif itu akan hilang. Kemungkinan lainÂnya, persepsi negatif itu justru disebabkan kurangnya penjelasan dari pihak yang dinilai itu sendiri (KPK),†ujarnya.
Menghadapi uji kepatutan dan kelayakan, Aryanto sepenuhnya menyerahkan nasibnya ke tangan Komisi III. Menurutnya, sebagai wakil rakyat, anggota Dewan suÂdah paham betul pimpinan KPK seperti apa yang diinginkan masyarakat.
“Mereka pasti akan mencari dan memilih calon pimpinan KPK yang terbaik buat rakyat. Kalau yang mau memilih saya, ya syukur. Kalau nggak, buat apa kita paksakan. Kita kan berÂtangÂgung jawab kepada rakyat dan negara ini,†ujar dia.
Ketika mengikuti tes wawanÂcara di Pansel, Aryanto mengaku pernah menerima pemberian seÂseÂorang saat membantu penyeÂleÂsaian sengketa. “Kalau diberi deÂngan suka rela memang pernah. Kan tidak baik menolak walau cuma setandan pisang. Selama tidak mempengaruhi tugas, peÂjaÂbat polisi yang menerima pemÂbeÂrian orang lain bukanlah graÂtifikasi,†ujarnya.
Namun, tutur Aryanto, jangan pernah memaksa atau meminta sesuatu kepada orang lain seÂbagai imbalan penanganan kaÂsus. “Tapi, itu saya lakukan dulu, keÂtika aturan gratifikasi belum ada. Gaji polisi tidak cukup, saya rasa seÂlama legal, sah-sah saja,†ucapnya.
Aryanto juga pernah dituding terlibat dalam kasus penghentian gugatan pemalsuan ijazah Bupati Pamekasan, Fuad Amin, pemeraÂsan uang Rp 3 miliar kepada bos narkoba dan kasus tanah Bukit Hambalang yang akan dibangun Sekolah Atlet.
Dia pun membantah, mentah-mentah penghentian kasus peÂmalÂsuan ijazah. “Mengenai kasus pemalsuan ijazah, itu tidak benar sama sekali. Ijazah yang diguÂnaÂkan Fuad Amin sudah benar dan legal,†ujarnya.
Adapun soal laporan peÂmÂeÂrasan terhadap bandar narkoba, ia menegaskan kasus itu sampai saat ini tidak pernah terbukti. Terkait soal kasus Hambalang, ia meÂngaÂku kasus yang dituduhkan NaÂzaÂruddin itu mencuat ketika ia beÂlum masuk di Badan Pertanahan Nasional. “Saya masuk tahun 2010 dan kasus itu ramai sebelum itu. KeÂpala BPN tahu itu,†tandasnya.
Aryanto tidak tahu apa tolak ukur yang dipakai Pansel meÂnempatkan dirinya dalam posisi juru kunci. “Sekarang kan yang keras ngomong, maunya diperÂcaÂya rakyat. Tapi buat saya, yang penÂting jangan membodohi rakÂyat. Tujuan saya hanya ingin meÂngabdi kepada negara. Dipakai syukur, nggak dipakai ya sudah,†ujarnya.
KPK Kecil Tapi Tangani Banyak Kasus
Bagaimana pandangan ArÂyanto Sutadi mengenai KPK? IniÂlah pendapatnya. “Menurut saya, KPK lembaga kecil tapi tanÂtaÂnganÂnya begitu besar. Waktu saya KaÂpolda Sulteng ada 100 kasus koÂrupsi. Satu kasus perlu enam bulan. Bagaimana KPK? Di sini harapan masyarakat tinggi,†ujarnya.
Laporan dugaan korupsi yang masuk ke KPK cukup banyak. MeÂnurut dia, KPK harus memÂbuat prioritas kasus yang akan ditangani. Selain itu, KPK perlu mengÂefektifkan penanganan perÂkara. Ia lalu menyinggung soal peÂmeÂriksaan di KPK yang memaÂkan waktu lama. Satu orang bisa diÂperiksa sampai belasan jam.
“Standarisasi penyidikan bisa memperkecil waktu dan meÂningÂkatkan efektifitas. Agar KPK proÂduktif, pilih yang serius. KasusÂnya tinggi sementara sumber daya manusia terbatas, membuat semua kasus tidak ditangani,†ucapnya.
Aryanto memberikan contoh lain mengenai tidak efektifitasÂnya KPK dalam menangani seÂbuah kasus. Penyidiknya tak meÂlakukan surveillance (peÂngaÂmaÂtan) dan undercover (penyaÂmaran) lebih dekat. Dia melihat ini sebagai kelemahan penyidiÂkan yang dilakukan KPK.
Menurut Aryanto, kedua teknik ini perlu digunakan. Dalam kasus narkoba, jika tidak menggunakan dua cara, tidak akan bisa menangÂkap pelakunya.
Apa yang jadi prioritasnya jika terpilih jadi pimpinan KPK? ApaÂkah kasus rekening gendut pejÂaÂbat masuk dalam bidikannya?
“Target saya bukan ini saja. BaÂnyak target utama. Rekening gendut bagi saya kecil dan masih banyak lebih besar lagi,†teÂrangnya.
“Gratifikasi Sudah Kultur, Sekarang Dikriminalkanâ€
Aryanto Sutadi tak terima dianggap menolerir gratifikasi yang dianggap tabu bagi pimÂpinan KPK. Ia mengaku tak pernah menyebut boleh meÂnerima gratifikasi.
“Gratifikasi itu kalau dilihat dari kultur, (sudah) jadi keÂbiaÂsaan bangsa kita. Kemudian graÂtifikasi dikriminalisasi seÂperti dalam Undang-undang KPK,†ujar Aryanto saat rapat dengar pendapat bersama angÂgota Panitia Akuntabilitas Publik DPD di Jakarta.
Menurut Aryanto, semangat meÂmerangi gratifikasi menimÂbulkan orang takut melakukan korupsi. Soal gratifikasi ini, kataÂnya, karena telah dimaÂsukÂkan sebagai hukum, maka harus dijalani. Tapi itu pun harus dibeÂdakan gratifikasi apa yang diÂmaksud dalam hukum itu.
“Saya merasa punya pengaÂlaÂman, kemampuan dan track reÂcord yang menurut saya tiÂdak caÂcat,†ujar Aryanto yang kini duÂduk sebagai salah satu deputi di Badan Pertanahan Nasional itu.
Boleh Bertemu Tersangka Asal Tak Kongkalikong
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tak ingin ketinggalan dalam “membedah†calon pimÂpinan KPK. Delapan calon diundang mengikuti audiensi untuk memaparkan visi dan misi mereka sebagai pimpinan lembaga penggasak korupsi.
Selain itu, audiensi yang diÂgelar Kamis (13/10) di Gedung DPD, Senayan, Jakarta ini unÂtuk menumbuhkan sinergi daÂlam memberantas korupsi di daerah.
Anggota DPD Sarah Lery Mboeik menyampaikan hal mengejutkan yang terjadi saat audiensi. Kata dia, ada salah satu calon yang membolehkan pertemuan dengan tersangka.
“Ada pernyataan kontroÂversial dari capim KPK Aryanto Sutadi. Dia mengataÂkan boleh saja bertemu calon tersangka atau tersangka asal tidak ada kolusi,†kata Sarah.
“Pernyataan Pak Aryanto itu bisa menjadi preseden buruk. Kalau dibolehkan bertemu terÂsangka dikhawatirkan bisa terÂjadi sesuatu yang transakÂsioÂnal,†jelas Sarah.
Sarah berharap, soal pertemuÂan dengan tersangka itu perlu diperhatikan Komisi III DPR yang akan melakukan fit and proÂper test capim KPK.
“Itu harus menjadi catatan, karena ini bisa menengÂgelamÂkan semangat antikorupsi,†terangnya.
Empat Kali Jadi Direktur Reserse
Panitia seleksi pimpinan KPK meloloskan delapan nama untuk mengikuti tahapan fit and proper test. Mewakili unsur kepolisian, muncul nama Irjen (Purn) Aryanto Sutadi, MH, M.Sc.
Aryanto lahir di Gombong, Jawa Tengah, 10 Oktober 1951. Saat ini, ia masih tercatat sebagai Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI. Berikut ini rekam jejak Aryanto Sutadi:
- Akabri Bagian kepolisian (1977)
- Perguruan Tinggi Ilmu KeÂpolisian (1986)
- Sekolah Staf dan Pimpinan Polri (1993)
- Sekolah Staf Komando GaÂbungan ABRI (1998)
- Master Sosiologi (2000)
- Kursus Reguler Lemhanas (2000)
- Master Hukum Universitas Jayabaya Jakarta (2008)
Karier:
- Staf pada Komando KeÂpoÂliÂsian Resort Bangkalan MaÂduÂra, Jawa Timur (1971-1973)
- Staf pada Komando KeÂpoÂliÂsian Resort Temanggung, Jawa Timur (1978-1984)
- Kabag Ren-Min Ops DiÂrekÂtorat Reserse Polda Metro Jaya (1986)
- Perwira Penghubung ProÂtoÂkol/Sespri Kapolri (1991)
- Kasat Reserse Ekonomi Polda Metro Jaya (1993)
- Staf Pribadi Kapolri (1996)
- Kepala Kepolisian Wilayah Malang, Jawa Timur (1998)
- Direktur Reserse Pidana TerÂtentu Polri (2001)
- Direktur Reserse Pidana Umum Polri (2001)
- Direktur I Kejahatan KeÂamaÂnan dan Trans-Nasional BaÂreskrim Polri (2002)
- Kapolda Sulawesi Tengah (2004)
- Direktur IV Narkoba dan Terorganisir Polri (2005)
- Staf Ahli Kapolri (2007)
- Staf Ahli Kapolri Bidang SoÂsial Budaya (2007)
- Kepala Divisi Pembinaan HuÂkum Polri (2007)
- PeÂnasehat Ahli Kapolri BiÂdang Hukum (2009)
- Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa Badan Pertanahan Nasional (BPN) (2010 - sekarang). [rm]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.