RMOL. Bejo tak henti meniup peluit sambil kedua tangannya mengarahkan kendaraan roda empat yang hendak di parkir di pelataran Masjid Al-Barkah As-Syafiiyah, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat siang (14/10).
Setelah mobil terparkir deÂngan rapi, penjaga masjid meÂrangkap tukang parkir ini kembali ke posnya untuk ngaso. Rakyat Merdeka menghampirinya untuk bertanya di mana tempat tinggal Abdullah Hehamahua. “Saya tiÂdak kenal Abdullah HeÂhaÂmahua,†kata Bejo.
Abdullah Hehamahua meruÂpaÂkan satu di antara delapan calon pimpinan KPK periode 2011-2015 yang akan menjalani fit and proÂper test di Komisi III DPR. SkoÂring yang dilakukan Panitia Seleksi Pimpinan KPK meÂnemÂpati Abdullah Hehamahua di peringkat tiga besar.
Setelah disebutkan ciri-ciri AbÂdullah Hehamahua yang selalu mengenakan kopiah hitam dan berjenggot panjang, barulah Bejo mengenali. “Oh... Bapak itu. KaÂlau di sini dia dipanggil Pak Haji Abdullah,†kata dia.
Bejo mengaku kenal Abdullah Hehamahua karena setiap hari moÂbilnya parkir di pelataran masÂjid Al-Barkah.
“Saya nggak tahu pekerÂjaanÂnya apa, cuma dia berangkatnya selalu pagi dan pulangnya magÂhrib,†katanya.
Bejo mengenal Abdullah HeÂhamahua sebagai sosok yang raÂmah. Begitu pula dengan istriÂnya. “Bapak dan istrinya selalu meÂnyapa orang bila sedang berÂpaÂpasan di jalan,†katanya.
Pembicaraan selesai, Bejo kemudian memberitahu tempat tinggal Abdullah Hehamahua yang berada di Gang Sate tidak jauh dari Masjid Al-Barkah As-Syafiiyah. “Pokoknya pagar ruÂmahÂnya warna putih, dia ngonÂtrak disitu,†tutupnya.
Menuju lokasi yang ditunÂjukÂkan, tak terlihat ada plang nama bertuliskan Gang Satu. Tapi di muÂlut gang terdapat tukang sate. Dagangannya diberi nama “Sate Ca’ Mau†yang ditulis di spanduk kuning yang dipasang di gerobak.
Mungkin inilah gang yang diÂmaksud Bejo. Jalan gang kurang dari satu meter. Kendaraan yang bisa masuk hanyalah sepeda moÂtor. Kendaraan roda dua itu harus berhenti bila ada ada orang lewat lantaran jalan gang sempit.
Sekitar 50 meter dari mulut gang terdapat rumah bernomor 8. Letaknya di sisi kanan gang. PaÂgar rumah setinggi satu meter. DiÂcat warna putih.
Melewati pagar langsung berÂhadapan dengan pintu masuk ruÂmah berukuran 4x6 meter itu. RuÂmah yang dicat warna krem ini meÂmiliki tiga jendela yang diÂlengkapi dengan teralis dan korÂden warna putih.
Pintu diketuk, keluar seorang pria dari dalam. Ia adalah Amin, adik ipar Abdullah Hehamahua. “BaÂpak sedang di kantor. Beliau berangkat sejak pagi dan pulang setelah Magrib,†kata dia.
Masuk ke dalam rumah terlihat ruang tamu berukuran 2x4 meter. Tak ada kursi tamu. Hanya terseÂdia alas tikar untuk duduk. Di ruang itu diletakkan televisi 21 inci serta dua rak penuh buku. Rak disandarkan ke dinding.
Untuk menghilangkan gerah dipasang kipas angin di langit-langit rumah. Sebuah korden menjadi pembatas ruang tamu dengan ruang lebih dalam.
Amin mengatakan, Abdullah Hehamahua tinggal di rumah kontrakan ini bersama istrinya. Keempat anak mereka tinggal terpisah.
Tiga anaknya tinggal di Port Klang, Malaysia. Satu lagi tinggal di Bandung karena sedang kuliah di Institut Teknologi BanÂdung (ITB).
Menurut Amin, istri Abdullah Hehamahua, Emma Arifin sebuÂlan sekali menengok ketiga anaknya di Malaysia. “Mereka disana juga masih ngontrak ruÂmah,†katanya.
Amin menjelaskan, Abdullah tinggal di rumah ini sejak 2008. “Dia ngontrak rumah ini jangka waktu dua tahun dan diperbarui terus hingga saat ini,†katanya.
Biaya kontrak rumah Rp 8 juta per tahun. “Itu harga tahun 2008, kalau yang saat ini saya tidak tahu berapa. Mungkin tidak jauh dari angka itu,†katanya.
Amin mengenal Abdullah Hehamahua sebagai sosok yang bersahaja dan sederhana. KeseÂderÂhanaannya itu ditunjukkan dengan menu makan sehari-hari yang jauh dari mewah. “Setiap masakan istrinya pasti dilahaÂpÂnya, terutama ikan asin.â€
Bila tidak ada makanan di ruÂmah, kata Amin, Abdullah HeÂhaÂmahua membeli makanan sendiri di warung di depan rumah. “BaÂpak paling suka beli ikan asin di warung,†katanya.
Yang paling membuat kagum, kata Amin, Abdullah tidak pernah memakai kendaraan dinas untuk kepentingan pribadi.
Sebelum menjadi penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah pernah menÂduÂduÂki posisi wakil ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan PenyeÂlengÂgara Negara (KPKPN) periode 2001-2004. Komisi kemudian dilebuh ke dalam KPK.
Pada 2002, istri Abdullah hendak mudik ke Bandung. Saat itu, seluruh tiket sudah habis. Abdullah tak punya alternatif lain kecuali memakai mobil dinas.
Sebelum memakai mobil diÂnas, Abdullah Hehamahua meÂminta izin kepada kepala Bagian Umum KPKPN. Ia menyamÂpaikan ingin menyewa mobil dinas itu untuk mudik.
Permintaan ini tentu saja memÂbuat bingung pejabat itu. Sebab, mobil dinas itu memang diseÂdiaÂkan untuk Abdullah Hehamahua. Tak perlu lagi menyewa.
Namun Abdullah tetap ngotot untuk menyewa. Ia beralasan, kendaraan ini digunakan di luar kepentingan dinas.
Kepala Bagian Umum itu akÂhirnya menyiasati agar Abdullah tak perlu menyewa kendaraan diÂnas itu. Caranya, ia melakukan perÂÂjalanan dinas untuk menÂjeÂnguk ketua umum PGRI yang tengah sakit di Bandung.
Abdullah akhirnya bisa meÂmakai mobil dinas itu untuk muÂdik ke Bandung. Di sana, mobil hanya di parkir di rumah keluarga istrinya. Untuk bepergian ke saÂnak keluarga di Sumedang, Abdullah memilih menumpang mobil familinya.
Lantaran tempat tinggalnya tak bisa dimasuki kendaraan roda empat, Abdullah Hehamahua meÂnitipkan mobilnya di Masjid Al-Barkah Assyafiiyah.
Menurut Bejo, keamanan kenÂdaraan yang parkir di sini terÂjaÂmin karena dijaga 24 jam. Selain Abdullah, banyak warga yang menitipkan kendaraannya di sini.
Biaya parkir dikenakan Rp 10 ribu per hari untuk kendaraan roda empat. Atau Rp 250 ribu per bulan.
Abdullah Hehamahua, kata Bejo memilih membayar parkir mobilnya secara bulanan. Uang yang diperoleh dari parkir masuk ke Yayasan Assyifiyah.
Jogging 7 Kilometer dari Rumah ke Pasar
Umur Abdullah Hehamahua yang tak lagi muda membuatnya dia harus pintar-pintar jaga kesehatan. Ia memiliki jogging setiap Minggu untuk menjaga kebugaran tubuh.
“Waktu luang saya cuma seÂhari, yaitu Ahad. Kalau Sabtu saya pergi kuliah S3 di UNJ meÂngambil Manajemen SDM. WakÂtunya dari pukul 08.00 WIB samÂpai 18.00 WIB. Malam sudah caÂpek dan langsung tidur,†jelasnya.
Setiap Minggu dia rutin jogÂging dengan jarak tempuh sekitar tujuh kilometer. Dimulai dari ruÂmah dengan tujuan pasar untuk berbelanja kebutuhan.
Pulang dari pasar, ia naik angkot. KeÂmudian, jalan kaki sejauh satu kilometer untuk sampai ke rumah.
Bagi Abdullah, liburan boleh saja sehari, tapi harus berkualitas. Karenanya, setelah datang ke ruÂmah, Abdullah tak segan menÂjemur pakaian yang sudah dicuci istrinya. Jika perlu menemani isÂtrinya membeli kebutuhan hidup.
Semua kegiatan itu dilakukan Abdullah dengan senang. Bahkan untuk urusan menghadiri kenduri akan diusahakan datang bersama istri. Apalagi bila ada sanak atau teÂman yang sakit, ia pasti meÂngunÂjungi tanpa panjang bulu.
Teman jadi Tersangka, HP Dimatikan Setahun
Abdullah Hehamahua telah empat tahun dipercaya sebagai Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia pun harus panÂdai-pandai mengatur perÂgaulan. Ia sempat mematikan ponsel seÂlama setahun karena seorang teÂmannya ditetapkan sebagai terÂsangka oleh KPK.
“Itu terjadi setahun lalu. Teman saya mantan menteri. Dia teman baik saya. Jadi ketika dia sudah diÂtetapkan sebagai tersangka, untuk menghindari konflik keÂpentingan, saya mematikan handÂphone,†katanya.
Jalan ini ditempuh Abdullah agar tak dihantui konflik kepenÂtingan, hanya dia memiliki huÂbuÂngan pertemanan dengan seorang tersangka. Ponselnya baru diÂakÂtifkan lagi ketika dirinya didapuk sebagai Ketua Komite Etik KPK.
Ia mengaktifkan ponsel karena diÂminta rekan-rekannya di KoÂmite Etik. Rapat Komite itu meÂmutuskan menunjuk Abdullah unÂtuk menyampaikan hasil kerja Komite kepada publik.
“MakaÂnya saya diminta meÂngaktifkan kembali handÂphone saya,†kenangnya.
Bukan hanya teman yang menÂjadi korban keteguhan prinsip Abdullah. Sampai-sampai keluarÂganya pun merasakan hal sama. Belum lama ini Abdullah melaÂkuÂkan kunjungan dinas ke TerÂnate. Di sana ia bertemu dengan adik ipar yang lama sudah tak diÂjumpai. Saat itu, sang adik meÂminÂta Abdullah mampir ke rumah.
Namun, bukan mengiyakan ajaÂkan itu, Abdullah justru meÂnolaknya. Dia beralasan, perÂjalanan dinas dibiayai APBN. Ia menganggap telah menggunakan keuangan negara tidak dengan semestinya bila mampir ke tempat adik ipar.
Lantaran sikap kaku itu, Abdullah kerap dianggap aneh oleh keluarganya. Setelah diberi penjelasan panjang lebar bahwa pejabat tak boleh menggunakan keuangan negara secara seÂweÂnang-wenang, barulah mereka paham. “Ini sudah saya lakukan sejak dulu waktu di KPKPN,†katanya.
Pelihara Kambing, Dibagi-bagikan Saat Idul Kurban
Akhir pekan merupakan hari yang paling ditunggu Abdullah Hehamahua. Pada hari libur kerja itu dia bisa pulang ke ruÂmah pribadinya yang berada di Depok, Jawa Barat.
“Bapak setiap hari Sabtu dan Minggu pasti pulang ke Depok. Tinggal di Jakarta hanya saat hari kerja saja,†kata Amin.
Amin mengatakan, Abdullah Hehamahua biasanya berangkat dari kontrakannya yang berada di Jakarta pada Sabtu pagi dan kembali lagi pada Minggu malam. “Kalau mau cari Bapak saat akhir pekan jangan di JaÂkarta pasti nggak ada, tapi cari di Depok,†katanya.
Kegiatan akhir pekan AbdulÂlah Hehamahua, kata Amin leÂbih banyak diisi dengan berÂkebun dan beternak kambing. Saat ini dia memiliki 10 ekor kambing.
Abdullah dibantu tetangga untuk merawat hewan-hewan ternak itu. Karena terbatasnya kandang yang dimiliki, setiap musim kurban Abdullah meÂnaÂwarkan kepada famili kambing peliharaannya.
“Bapak ingin sekali berbagi kepada sanak famili dan maÂsyaÂrakat,†kata Amin.
Menurut dia, kegiatan berÂkeÂbun dan beternak sudah jadi impian Abdullah Hehamahua sejak lama. Jika kelak tak lagi jadi pejabat negara, dia akan melakoni kegiatan itu mengisi hari tua.
Yang Lemah-lemah Diganti Dong...
Sebagai calon pimpinan KPK, Abdullah Hehamahua meÂmiliki pemikiran untuk memberantas korupsi. Semua itu harus ditarik ke akar masaÂlahnya. Menurut dia, ada delÂaÂpan penyebab korupsi.
“Delapan penyebab utama koÂrupsi yang diambil tiga utaÂma. Yakni niat, kesempatan dan kemampuan untuk melakÂsanaÂkan niat dan kesempatan itu,†katanya.
Abdullah mengatakan, peÂnyeÂbab terjadinya korupsi juga berasal dari kecilnya gaji PNS, pejabat yang bermasalah dan masyarakat yang apatis atau cuek dengan adanya tindak koÂrupsi di sekitarnya.
Karenanya, Abdullah pun memberikan solusi untuk meÂngatasi tindakan korupsi yaitu pencegahan, penindakan dan pemiskinan.
Dari segi pencegahan, AbdulÂlah melihat pentingnya penÂdiÂdikan untuk mencegah korupsi. Dalam penindakan, Abdullah menilai hukuman yang diberiÂkan kepada koruptor harus lebih berat. Pelakunya juga perlu diberi sanksi sosial agar malu.
“Pendidikan terdiri dari tiga jenis, pendidikan rumah, seÂkoÂlah, dan masyarakat. PenÂdiÂdiÂkan rumah bagaimana memÂbaÂngun perilaku, cinta lingÂkuÂngan, kasih sayang,†paparnya.
Berikutnya, penindakan. HuÂkuman minimal 5 tahun dan maksimal hukuman mati. Bila diÂhukum satu tahun tidak perlu ada undang-undang khusus soal pemberantasan korupsi.
“Pakai KUHP aja. KemuÂdian, sanksi sosial. Kalau koÂruptor mengundang hajatan kita jangan datang. Kita juga jangan undang koruptor ke hajatan,†katanya.
Tak hanya itu, Abdullah menÂdorong perlunya pemiskinan koruptor. Hartanya harus disita untuk memberi efek jera bagi koruptor.
Selain itu, Abdullah ingin anggaran KPK ke mendapat prioritas. Dia bakal meminta angÂgaran Rp 20 miliar untuk penindakan. “Penindakan miÂnimal Rp 20 miliar ke atas kalau di bawah Rp 20 miliar serahkan saja ke kepolisian dan kejakÂsaan,†katanya.
Abdullah Hehamahua juga meminta revisi terhadap UnÂdang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Tapi bukan untuk memangkas kewenangan lembaga antikorupsi itu, tetapi memperkuatnya.
“Saya kira 90 persen UnÂdang-undang KPK bagus. KaÂlau pun mau direvisi yang leÂmah-lemahnya saja,†katanya.
Menurutnya, dalam menÂjaÂlanÂkan tugas memÂberantas koÂrupsi, KPK memiliki beberapa kelemahan. Salah satu soal penggeledahan yang harus izin pengadilan negeri.
“Penggeledahan itu tidak perÂlu izin pengadilan negeri. CuÂkup diberi tahu saja. Kalau paÂkai izin, menimbulkan kesulitan dan prosesnya lama. Bagaimana kalau yang mau digeledah ketua pengadilan negeri? Jadi cukup pemberitahuan saja,†jelasnya.
Selain itu soal jabatan pimÂpiÂnan KPK yang tidak jelas harus diperjelas dalam revisi. Ia pun mengusulkan revisi bisa menÂjangkau soal ini.
“Sekarang polemik pemiÂliÂhan capim KPK karena ada puÂtusan MK. Misalnya apakah ada pergantian seperti DPR ketika menggantikan Pak Antasari AzÂhar yang bermasalah, atau baÂgaimana. Itu menjadi problem, sehingga diperlukan keteÂgaÂsan,†usulnya. [rm]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.