RMOL. Selasa pagi (11/10), Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso sudah tiba di Senayan. Rencananya, hari itu akan digelar rapat paripurna. Politisi Partai Golkar itu ditunjuk untuk memimpin rapat.
Hingga pukul 10.15 WIB rapat paripurna belum juga dimulai, sebab masih banyak anggota DPR yang belum menunjukkan batang hidungnya di Lantai 3 Gedung Nusantara II. Alhasil, rapat tetap dimulai meski belum mencapai kuorum.
“Masih kurang sekitar 20-an. Tapi bagaimana kalau buka saja rapat kali ini?†tanya Priyo keÂpada peserta rapat.
Kursi-kursi di ruang paripurna memang masih banyak yang kosong. Artinya, banyak anggota Dewan yang belum hadir. DeÂmiÂkian dengan kursi pimpinan DPR yang berada di bagian depan. Dari lima pimpinan DPR, hanya Priyo ini yang hadir. Politisi ParÂtai Golkar ini kemudian meÂngamÂbil posisi duduk di bagian tengah.
Sebelum memulai sidang, PriÂÂyo membacakan jumlah angÂgota yang hadir sampai pukul 10.15 WIB. Tercatat ada 260 anggota. Padahal untuk kuorum rapat harus dihadiri sekurangÂnya 281 anggota.
“Meskipun belum tercaÂpai kuoÂrÂum, sidang kita mulai. DeÂngan ini sidang kita buka dan terbuka untuk umum,†ujar Priyo samÂbil mengeÂtukkan palu ke meja.
Tak lama berselang, Priyo menÂdapatkan surat dari staf SekÂretariat Jenderal. Surat tersebut ternyata berisi pembaruan data peserta yang hadir. “Oh rupanya daftar hadir yang baru sudah ada. Sudah 283 anggota yang hadir seÂhingga sudah tercapai kuorum,†ujar Priyo.
Rapat paripurna ini mengaÂgendakan pengesahan dua ranÂcangan undang-undang (RUU), Yakni RUU Intelijen Negara dan RUU Komisi Yudisial, serta laÂporan Komisi XI mengenai hasil seleksi calon anggota BPK.
Awalnya, rapat paripurna berÂlangsung dengan tenang. Tak terÂlihat perdebatan-perdebatan yang terlalu mencolok. Sekitar 35 meÂnit sidang paripurna berjalan, angÂgota DPR Fraksi PDIP, HoÂning Sanny, melontarkan interupsi.
“Interupsi, Ketua. Saya dapat SMS (pesan singkat) bahwa paÂripurna hari ini tidak perlu gamÂbar Presiden Yudhoyono dan WaÂkil Presiden Boediono. MeÂngapa tiÂdak ada gambar Presiden dan WapÂres?†tanya Honing. KeÂtua adalah sebutan untuk pimÂpinan sidang.
Suasana sidang yang tadinya adem ayem, sontak berubah raÂmai setelah interupsi itu. Semua orang di situ tampak celingak-celinguk mencari posisi tempat melekatnya foto yang dimaksud.
Pertanyaan Honing langsung dijawab Priyo. “Nggak. Dalam raÂpat paripurna, selalu ada foto Pak Presiden SBY dan Pak Wakil Presiden Boediono,†jawab Priyo yang berdiri di podium.
Mendengar jawaban Priyo, bagai dikomando mayoritas peÂserta paripurna langsung meÂnyaÂhut, “Tidak ada.†Priyo yang awalÂnya tidak meÂnyadari kebeÂraÂdaan foto tersebut tampak sedikit kaget. Dia melirik ke dinding di atas meja pimpinan sidang.
Di tengah-tengah terpasang lambang negara Garuda PaÂnÂcaÂsila. Di sebelah kanan dan kirinya terdapat tanda berbentuk kotak. Warna lebih gelap dibandingkan warna dinding itu. Priyo menÂduga di tempat itulah sebelumnya terpasang foto presiden dan wakil presiden.
“Oh di mana itu? Saya sendiri agak kaget. Mungkin sedang dibersihkan dan dicari foto yang paling bagus,†ucap Priyo beruÂsaha diplomatis.
Belakangan, Priyo tak yakin apaÂkah selama ini foto-foto itu meÂmang dipasang di ruang siÂdang paripurna DPR. “Tapi dulu-dulu apa memang ada? Setahu saya tidak ada gambar beliau (SBY-Boediono),†kata Priyo lagi.
Sedikit bergurau, Priyo meÂngaÂtakan foto SBY-Boediono tetap dipajang di meja kerjanya. “(KaÂlau) di meja kerja saya, saya pasÂtikan foto SBY dan Boediono ada. Bahkan, foto yang paling gaÂgah yang saya pasang di sana,†kata Priyo tertawa sambil berlalu.
Komentar Priyo pun langsung diÂsambut Ruhut Sitompul, angÂgota DPR dari Fraksi Partai DeÂmokrat. “Hari ini, ketua terlihat arif dan bijaksana sekali. Apakah mungkin, Ketua sudah dipanggil ke Cikeas,†kata Ruhut yang disambut tawa peserta sidang paripurna.
Mendengar ocehan Ruhut, Priyo mesam-mesem. Raut muÂkanya seperti menahan tawa. “Ya terima kasih. Tetapi Insya Allah, saya masih ingin di sini bersama teman-teman,†balas politisi Golkar ini.
Usai paripurna, Priyo masih penasaran soal foto itu. Dia pun mendapat penjelasan dari Setjen DPR. Kata Priyo, foto presiden dan wapres tidak pernah ada di sidang paripurna.
“Baik sidang pada zaman PreÂsiden Bung Karno, Pak Harto, dan presiden-presiden setelahÂnya, memang Garuda Pancasila senÂdirian. Tidak ada foto presiden dan wakil presiden,†katanya.
Menurut dia, foto Presiden-WapÂres hanya ada di luar sidang paripurna. Misalnya, di ruang kerja anggota DPR. “Kalau saya neken surat-surat penting, PreÂsiden tersenyum saya angguk-angukin,†kata Priyo berguyon.
Apakah foto presiden dan wakil presiden telah dihilangkan dari DPR? Rakyat Merdeka pun menyusuri ruang-ruang rapat komisi dan alat kelengkapan Dewan lainnya.
Memasuki ruang rapat Badan Anggaran di Gedung Nusantara I, foto Presiden SBY dan Wapres Boediono masih terpasang deÂngan rapi di dinding atas di belaÂkang meja pimpinan Banggar. Kedua foto tampak mengapit paÂtung Garuda berwarna keemasan.
Pemandangan yang sama juga terlihat di ruang rapat Komisi VII, Komisi IX dan ruang rapat Badan Legislasi. Foto Presiden SBY dan Wapres Boediono mengenakan jas dan peci tertata dengan rapi meÂngambil patung burung Garuda.
Bergeser ke gedung Nusantara II. Ruang rapat Komisi I, Komisi III, Komisi VIII dan Ruang AngÂgaran di lantai dua tak satuÂpun mencopot foto Presiden SBY dan Wapres Boediono. Foto-foto terseÂbut masih terpasang dengan kokoh.
Foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono ternyata sudah lama tidak dipasang di ruang sidang paripurna DPR. Setjen punya alasan tersendiri. “Oh itu sudah lama. Sejak periode ini, itu tidak dipasang dan memang tidak akan dipasang,†kata Kahumas Setjen DPR, Jaka Winarko.
Ia menuturkan, ada permintaan dari anggota Dewan agar tak meÂmasang foto presiden dan wakil presiden di ruang pariÂpurna. “TeÂtapi, saya tidak tahu siapa yang dulu usul. Sejak kapan tidak diÂpasang, saya juga lupa,†ujarnya. Namun, kata Jaka, lambang neÂgara yaitu Garuda Pancasila tetap dipasang di ruang paripurna.
Menurut Jaka, tidak dipaÂsangÂnya foto presiden dan wakil preÂsiden di ruang rapat paripurna lantaran Indonesia menganut pembagian kekuasaan yakni eksÂekutif, legislatif dan yudikatif.
“Foto Presiden tidak dipasang di ruang sidang paripurna saja. Karena sidang paripurna itu adaÂlah kewenangan legislatif sama halnya dengan ruang-ruang siÂdang di pengadilan,†kata dia.
“Di ruang sidang pengadilan juga tidak ada foto Presiden karena itu sudah kewenangan dari yudikatif atau pengadilan. Begitu juga dengan sidang paripurna, itu adalah kewenangan legislatif,†lanjut Jaka.
Jaka menegaskan, dengan tanÂpa mengurangi rasa hormat kaÂrena sudah beda kekuasaan, foto Presiden dan Wakil Presiden tiÂdak dipasang di ruang paripurna. “Tetapi, kalau di ruang-ruang lain tetap dipasang. Di ruang hakim pun tetap dipasang. Yang tidak hanya di ruang sidang,†ucapnya.
Seluruh ruang sidang paripurna DPR ternyata sudah sejak dulu tiÂdak pernah dipasang foto preÂsiÂden dan wakil presiden. AlasanÂnya untuk menjaga netralitas DPR sebagai lembaga legislatif. “Tujuannya untuk menjaga netralitas saja, karena DPR kan lembaga legislatif,†ujar Jaka.
Menurut Jaka, hanya di ruang raÂpat paripurna saja foto presiden dan wakil presiden tidak diÂpasang. Sedangkan di ruang rapat koÂmisi, masih ada. “Dan dari dulu memang di ruang paripurna tidak ada,†terangnya.
Sedangkan tanda hitam yang berada di bawah kanan kiri lamÂbang negara Pancasila di ruang sidang paripurna di lantai 3 GÂeÂdung Nusantara II itu bukanlah bekas foto. Melainkan sebatas tanda saja.
“Di sana tidak pernah ada foto presiden dan wakil presiden. Bekas hitam itu sebenarnya cuma tanda, kalau nanti dikasih foto letaknya di sini, biar pas kanan dan kirinya tapi tidak pernah diÂberi foto,†ujarnya.
Celana Dalam Motif Bendera, Nggak Ribut Tuh
Tak ada aturan yang mengÂharuskan memajang foto preÂsiden dan wakil presiden. NaÂmun karena presiden dan wakil presiden dianggap sebagai simÂbol negara, fotonya dipaÂsang di kantor-kantor pemerintah, leÂgislatif dan yudikatif.
Hakim Konstitusi Akil Mochtar menyarankan agar tak memandang simbol negara dengan berlebihan. “Kita ngak usah mengkultuskan hal seperti itu,†kata dia. Begitu pula deÂngan lambang negara.
Sebelumnya sempat muncul protes atas penggunaan lamÂbang Garuda di kaos timnas seÂpakbola Indonesia.
Menurut Akil, protes itu juga berlebihan. “Coba kau baÂÂyangÂkan, di Amerika SeriÂkat, lamÂbang negara ada di baju. Motif bendera negara ada yang dijaÂdikan model celana dalam. UdahÂlah, yang kaÂyak gitu jaÂngan dikultusÂkan,†terang Akil.
Lebih lanjut Akil menjelasÂkan, tidak ada aturan yang tegas mengatur ruang sidang DPR harus dipasang foto presiden dan wakil presiden.
Adapun kalau di lembaga yudikatif seperti ruang-ruang pengadilan, memang hanya ada bendera merah putih dan lamÂbang negara Garuda Pancasila. Ini sebagai simbol independensi lembaga peradilan.
“Di Amerika Serikat, pengaÂdilannya juga tidak ada gambar presiden AS. Untuk di gedung Supreme of Court (MA), yang ada kan foto-foto Ketua MA dari zaman dulu. Kayak di MA sini juga yang dipajang foto KeÂtua MA,†terang Akil.
Lebih Cocok Pasang Foto Eks Ketua DPR
Bukan hanya DPR yang tak memajang foto presiden dan wakil presiden di ruang rapat paripurna, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Majelis PerÂmusyawaratan Rakyat (MPR) pun demikian.
Pengamatan Rakyat MerÂdeka, foto presiden dan wakil presiden tak tampak di ruang paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD ) di Gedung Nusantara V.
Lambang negara Garuda PanÂÂcasila dipasang di dinding bagian atas di muka ruangan sidang. Di samping kiri dan kaÂnannya ditempatkan layar putih berÂukuran besar.
Layar ini digunakan untuk menampilkan presentasi materi yang akan dibicarakan dalam rapat paripurna DPD.
Ruang rapat MPR di Gedung Nusantara atau yang kerap diseÂbut gedung kura-kura juga tak memÂberi tempat bagi foto presiÂden dan wakil presiden.
Di muka ruang rapat dipaÂsang lambang negara Garuda PancaÂsila berukuran raksasa deÂngan berÂwarna hitam. PaÂtung Garuda ini juga diapit dua layar putih yang juga berÂukuÂran raksasa.
Anggota DPR dari DPR, Eva Kusuma Sundari setuju foto tak dipasang di ruang raÂpat pariÂpurna DPR maupun lembaga lain yang setingkat deÂngan preÂsiden.
“SuÂdah betul itu, memang seharusÂnya tidak ada,†kata dia.
Menurut Eva, belajar dari prakÂÂtik negara demokrasi yang suÂdah maju, foto kepala negara dan waÂkilnya memang tidak dipasang di ruang-ruang resmi rapat DPR dan MA.
“Ini untuk menjaga indeÂpenÂdensi dan prinsip saling mengÂhormati adanya pemÂbagiÂan keÂkuaÂsaan dalam trias politica,†katanya.
Dia mengibaratkan, peÂmaÂsaÂngan foto presiden dan wapÂres itu tak ubahnya memasang foto dubes di institusi resmi neÂgara lain. “Ini wilayah deÂngan otoritas sendiri. Jauh leÂbih pas memajang foto-foto eks ketua DPR, bukan presiÂden,†kata Eva. [rm]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.