RMOL. Pemerintah DKI Jakarta berencana membuat sejumlah situ untuk jadi tempat resapan air sekaligus mencegah banjir. Padahal, selama ini banyak situ di ibukota tak terawat. Banyak yang mengalami penyempitan dan pendangkalan. Bagaimana kondisi situ di Jakarta? Rakyat Merdeka mencoba melihatnya dari dekat. Berikut liputannya.
Dua bocah laki-laki duduk teÂnang di atas bantaran dari papan tua. Keduanya menggenggam panÂcingan kayu, mencoba meÂngail ikan di Situ Ria Rio, PuloÂmas, Jakarta Timur.
Terik matahari tak dihiraukan. Tatapan kedua bocah berteÂlanÂjang dada fokus kepada tali panÂcing. Sepuluh menit berlalu, tali pancing bergetar.
Bocah yang mengenakan ceÂlana merah tampak tertawa giÂrang. Buru-buru dia menarik panÂcing dari dalam air.
Tapi kegirangan itu hanya berÂtaÂhan sebentar. Sebab, ikan yang tersangkut di mata pancing bukan yang mereka harapkan. Setelah berhasil dilepas dari mata kail, ikan sapu-sapu itu lalu di lempar kembali ke tengah situ.
“Pengennya sih dapat ikan gabus. Eh, malah dapat ikan saÂpu-sapu. Kalau dapat sapu-sapu paling dibuang ke dalam air, kaÂlau nggak di buang ke pinggiran,†ujar salah satu bocah tersebut.
Begitulah salah satu potret di Situ Ria Rio. Warga masih berÂhaÂrap bisa mengail ikan di situ yang berair keruh itu.
Situ Ria Rio termasuk situ beÂsar di Jakarta. Letaknya di perÂsimÂpangan Jalan Ahmad Yani dan Jalan Perintis Kemerdekaan.
Hijau pekat begitulah warna airnya. Di sepanjang pinggiran situ terlihat tumpukan plastic beÂkas, potongan sayuran, sisa maÂkaÂnan dan potongan-potongan kayu.
Tumpukan sampah ini menÂjoÂrok ke bagian danau dan memaÂkan permukaan situ hingga lima meter. Kondisi ini diperparah keÂbiasaan warga yang suka memÂbuang sampah di pinggiran situ.
Dalam pengamatan Rakyat MerÂdeka, warga Pedongkelan yang tinggal di sekitar situ meÂmang dengan sengaja membuang sampah ke pinggir situ. Tak ada rasa bersalah sedikit pun. BungÂkusan-bungkusan sampah terseÂbut dicampakkan begitu saja.
Melihat kondisinya, sekilas Situ Ria Rio ini tak ubahnya koÂlam comberan raksasa. Hal itu terÂgambar dari kondisi lingÂkuÂnganÂnya yang kotor dan kumuh. Aromanya pun sungguh tak seÂdap. Bau busuk tak bisa dihinÂdarkan lagi menusuk ke dalam rongga hidung.
Tak berhenti sampai disitu. Luas situ ini dari tahun ke tahun teÂrus mengalami penyusutan. Dari awalnya 9 hektar kini tak samÂpai separuhnya yang tersisa. Pesatnya pembangunan di sekitar situ, turut andil mengurangi luasnya.
Problem lainnya, danau ini pun mengalami pendangkalan. ApaÂlagi, semenjak kali dari pacuan kuda Pulomas dialirkan ke tempat ini. Air got yang mengucuri situ itu membawa berbagai material yang membuatnya makin cetek.
Air yang datang adalah buaÂngan dari perumahan warga dan pabrik yang posisinya terletak di sebelah utara situ.
Pemandangan di situ yang juga disebut Situ Pedongkelan ini pun kian tak enak dilihat mata. Kakus dari kayu yang berderet di tepian situ adalah penyebab lain. Di siÂniÂlah, warga yang tinggal di ruÂmah-rumah papan dan semi perÂmanen buang hajat.
Dindingnya dari papan mauÂpun tripleks bekas. Kakus ini tanÂpa atap. Terlihat seorang pria seÂdang buang hajat sambil merokok.
Lahan sempit di pinggiran situ juga dimanfaatkan oleh warga untuk beternak ayam, bebek, dan burung dara. Kandang-kandang yang terbuat dari kayu dan bambu berdiri di sepanjang pinggiran situ yang ditinggali warga. KotoÂran dari unggas peliharaan meÂnamÂbah kumuh kawasan itu.
Keadaan ini berbeda dengan 15 silam tahun silam. Salim (60), seÂorang warga yang tinggal di perÂmukiman pinggiran danau meÂnuÂturkan, saat itu kondisi situ ini maÂsih terbilang asri. Bahkan, temÂÂpat Situ Ria Rio sempat menÂjadi temÂpat wisata yang digemari warga Jakarta sekitar tahun 70-an.
“Dulu di sini ramai sekali. Ada tempat bermain seperti dokar, beÂbekan air dan dijadikan tempat peÂmandian. Dulu sempat terkenal Taman Ria Rio. Dulu airnya maÂsih bersih banget, ikan aja keÂliaÂtan di bawah. Sekarang tinggal ikan gabus ama sapu-sapu,†ujar pria berdarah Betawi tulen ini.
Bahkan, kata, Salim, di pingÂgiran Situ Ria Rio pernah berdiri rumah makan. Setiap orang yang datang ke tempat ini selalu meÂnyempatkan diri melepas lelah ke tempat itu.
“Dulu rumah makan Lembur KuÂring letaknya di seberang sana. Dulu ramai orang yang maÂkan di situ. Semenjak situ menÂjadi kotor dan tak terawat, tempat wisata dan rumah makan pun akhirnya tutup,†katanya menunÂjuk ke lahan kosong yang kini ditumbuhi semak belukar. Lokasi bekas rumah makan itu berada di bagian situ yang menghadap ke Jalan Ahmad Yani.
Kondisi situ mulai berubah setelah bermunculan penghuni liar yang membangun gubuk di seÂpanjang situ. Pelan dan pasti, keÂhaÂdiran mereka beserta anjuÂngan buang hajatnya berhasil meÂngusir rumah makan dan air yang bening itu. Alhasil, kini yang terÂsisa hanyalah tumpukan sampah, anjungan buang hajat, dan air yang hitam pekat.
“Dulu belum ada rumah warga, masih terhitunglah. Mulai tahun 1970 saya pindah ke sini sampai 1980 airnya masih bersih banget. Saya dulu masih mandi ke situ, ibu-ibu juga mencuci pakaian di pinggiran situ,†ujarnya mengeÂnang kembali kisah itu.
Sadikin (66), warga PedongÂkeÂlan lainnya bercerita, sekitar taÂhun 80-an Situ Ria-Rio meruÂpaÂkan sebuah danau besar dan inÂdah. Membentang luas dengan air yang sangat bening.
Di tempat iniÂlah Sadikin muda kerap duduk memancing. Mulai dari ikan muÂjair, betok, lele, belut dan ular saÂwah masih mudah ditemui di situ ini.
“Bahkan dulu ada mitos, di danau itu ada buaya putih. Buaya itu yang jagain situ ini. Dulu biar banyak yang mandi di sini, tapi nggak ada yang berani macam-macam,†katanya.
Di sebelah utara Situ Ria Rio, lanjut Sadikin, di tengah-tengah pacuan kuda ada juga terdapat danau dengan ukuran lebih kecil. Air bening dihiasi rerumputan yang tumbuh berdiri di sela-sela air. Siang menjelang sore, banyak anak umur delapan tahunan berÂmain. Mulai yang sekedar bereÂnang hingga mencari udang.
“Biasanya sore-sore pas pulang masing-masing bawa sekantung plastik udang bening kecil-kecil. Kalau Situ Ria Rio, pengunÂjungÂnya selain keluarga banyak juga muda mudi. Mereka biasanya paÂcaran di pinggiran situ,†ujarnya mengenang kembali kisah itu.
Namun, kini danau kecil itu suÂdah hilang tak berbekas. Berganti dengan gedung yang menjulang tinggi. Apartemen mewah dan gaÂgah yaitu Apartemen Pasadenia. Kini, keindahan itu hanya tinggal cerita. Yang tersisa hanya Situ Ria Rio yang semakin mengkeret.
Danau Ria Rio merupakan saÂlah satu situ di Jakarta yang berÂnasib buruk. Bila dibiarkan, tentu nasibnya tidak jauh dengan yang terjadi pada situ di Kelapa Gading Barat, Rawa Terate, Jatinegara, Ulujami, Cilandak Timur, dan CiÂlandak Barat.
Situ di enam tempat itu kini haÂnya menyisakan kenangan. Tanah yang cekung itu kini berubah menÂjadi lahan kebun dan berdiri baÂnguÂnan tempat tinggal warga.
Bangun Jalan di Sekeliling Danau
Cegah Warga Dirikan Hunian
Pemerintah Provinsi (PemÂprov) DKI Jakarta akan memÂbangun 13 danau buatan (situ) yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air. Penambahan daÂnau itu dilakukan secara berÂtahap dimulai pada 2012.
Ke-13 lokasi yang akan diÂtamÂbah di antaranya di Brigif Jagakarsa seluas 11 hektar, BinÂtaro seluas 3 hektar, Lebak BuÂlus seluas 3 hektar, dan Marunda seluas 56 hektar. Saat ini untuk pembebasan lahan masih dalam proses pembahasan.
“Kita sedang proses pemÂbeÂbaÂsan. Pembangunannya juga dilakukan secara bertahap,†ujar Kepala Bidang Pengelolaan SumÂber Daya Alam Dinas PeÂkerÂjaan Umum (DPU) DKI Jakarta, Fakhrurrazi. Namun, ia enggan menyebut beÂsaran angÂgaran yang dibutuhkan untuk pembangunan danau buatan.
Menurut Fakhrurrazi, selain menambah danau buatan, pada 2012 mendatang, Dinas PekerÂjaan Umum juga akan meÂngaÂjuÂkan anggaran untuk penertiÂban dan pengerukan di sekitar daÂnau. Ke depan, di sekeliling danau juga akan dibangun jalan untuk mencegah warga menÂdirikan bangunan.
Ia mengakui, masyarakat JaÂkarta nampaknya masih belum menyadari pentingnya keberÂaÂdaan danau sebagai daerah resapan air.
Dari 26 danau yang ada di ibu kota, hanya lima yang keadaanÂnya masih baik. Yakni Situ BaÂbaÂkan, Situ Mangga Bolong, Situ Rawa Dongkal, Situ Kelapa Dua Wetan, Situ CilangÂkap. SeÂmentara, yang mengalami keruÂsakan di antaranya, Situ Rawa BaÂdung, dan Sunter Hulu.
Ia mencontohkan di Situ Rawa Badung. Dulu, situ ini meÂmiliki luas mencapai lima hektar. Kini berkurang sekitar 30 persen.
Penyempitan juga terjadi pada Situ Sunter Hulu. Situ yang masih digunakan untuk olahraga air ini dulu memiliki luas hingga 11 hektar.
Pemerintah DKI mencoba meÂngembalikan luas Situ SunÂter. Saat ini baru dibebaskan sekitar delapan hektar. Dari luas itu baru enam hektar yang digali. “SeÂlama ini tidak ada situ di Jakarta yang hilang tetapi konÂdisinya tidak sesuai,†tandas Fakhrurrazi.
“Hanya sekitar 20 persen saja situ yang dalam kondisi baik. Sementara lainnya dalam keÂadaan kurang sempurna. Ada juga beberapa situ yang belum sempurna dari segi luasnya,†tambahnya.
Secara umum sebagian besar kondisi danau di Jakarta berÂmaÂsaÂlah dengan sampah. FakhÂrurÂrazi mengaku kesulitan menÂceÂgah perilaku warga yang memÂbuang sampah ke danau. SeÂdangkan untuk perawatan terÂkendala dana.
“Bahkan Dinas Pekerjaan Umum tidak memiliki anggaran rutin untuk perawatan danau. Memang ada tapi itupun sekitar 3-5 tahun sekali,†bebernya. SeÂlain itu pihaknya juga akan meÂlakukan penataan fungsi saluran air dan meneruskan pÂeÂnyÂeÂleÂsaiÂan pembangunan Kanal BanÂjir Timur (KBT).
3 Situ Diuruk Untuk Kompleks Perumahan
Bukan hanya DKI Jakarta yang sulit mempertahankan dan merawat situ-situ yang ada di wilayahnya. Kabupaten Bekasi pun memiliki problematika yang sama.
Sebanyak sembilan dari 13 situ di wilayah itu mengalami peÂnyusutan lahan seluas 24,5 hektar. Sementara tiga di antaÂraÂnya diketahui telah beralih fungsi menjadi lahan perumahan.
Hal itu dikatakan oleh DirekÂtur Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) Barisan Informan dan Investigasi Korupsi (Bidik) Kabupaten Bekasi, Gunawan kepada wartawan.
Dari total 13 situ di KabupaÂten Bekasi, kata dia, sedikitnya sembilan situ dengan total luas lahan mencapai 51,2 hektar telah mengalami penyusutan seÂluas 24,5 hektar. Sedangkan situ yang beralih fungsi menjadi kaÂwaÂsan perumahan adalah Situ CibeÂreum, Situ Rawa Been, Situ Ceper.
“Akhir-akhir ini kegiatan penambangan pasir Situ Ceper, yang berlokasi di Kampung CeÂper, Desa Sukasari, Kecamatan Serang Baru, Kabupaten BeÂkasi, menjadi perhatian maÂsyaÂrakat secara serius. Sebab, saÂngat berisiko merusak lingÂkuÂngan,†katanya.
Berbagai dampak yang saat ini mulai timbul dari kegiatan itu, kata dia, antara lain keruÂsaÂkan lingkungan hidup, kebiÂsiÂngan, rusaknya infrastruktur jaÂlan lingkungan, kekeringan, banÂjir, dan tidak tertutup keÂmungkinan menimbulkan konÂflik sosial. “Situasi tersebut diÂbiarkan oleh pihak terkait tanpa dilakukan upaya revitalisasi tempat,†katanya.
Faktor utama penyebab perÂmasalahan tersebut, kata dia, adalah perubahan tata guna laÂhan di sekitar situ dari perÂunÂtuÂkan kawasan hijau lindung menÂjadi permukiman, perdagangan dan penambangan, serta maÂsuknya bahan-bahan dari tempat pembuangan sampah, dan unsur yang mempercepat pertumÂbuhan gulma air.
“Ketidakjelasan kewenangan dan tanggung jawab pengeÂloÂlaÂan situ menyebabkan pelakÂsaÂnaÂan rehabilitas situ menghadapi kendala sosial dan administratif, penguasaan lahan oleh kelomÂpok-kelompok masyarakat terÂtentu, dan pemberian izin peÂnguÂsahaan situ,†katanya.
Dikatakan Gunawan, situ yang mengalami sedimentasi sebanyak 42 persen, sementara konversi menjadi sawah/kebun/ladang, permukiman, perkanÂtoÂran dan fasiltas umum sebanyak 34,9 persen, tempat pemÂbuaÂngan sampah/limbah sebanyak 2,4 persen, ’blooming’ gulma air sebanyak 5 persen, dan gaÂlian pasir sebanyak 15,7 persen.
“Pendangkalan situ mengaÂkiÂbatkan berkurangnya volume tamÂpung air sehingga meningÂkatkan potensi banjir, beÂrÂpeÂngaÂruh terhadap siklus hidrologi dan perubahan iklim, dan nilai esÂtetikanya.†[rm]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.