Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Di Kamar Ade Irma Suryani Tertulis: Papa, Ade Salah Apa

Mengenang Gerakan 30 S PKI di Rumah AH Nasution

Senin, 03 Oktober 2011, 03:56 WIB
Di Kamar Ade Irma Suryani Tertulis: Papa, Ade Salah Apa
Museum AH Nasution
RMOL.Jenderal Abdul Haris Nasution selamat dari penculikan Gerakan 30 September yang mendatangi rumahnya di Jalan Teuku Umar Nomor 4, Menteng, Jakarta Pusat. Setelah jenderal besar itu wafat, rumah yang jadi saksi bisu peristiwa empat puluh enam tahun silam itu dijadikan museum.

Setiap tahun pada tanggal 1 Oktober, keluarga Nasution meng­gelar peringatan di rumah ini. Namun tahun ini ditiadakan.

Kemarin, Rakyat Merdeka me­ngunjungi rumah Nasution. Dari arah Taman Suropati, rumah ini berada di kiri jalan. Mudah di­kenal karena di tengah pagarnya terdapat tembok yang dipasangi tulisan “Museum Jen­deral Besar Dr AH Nasution”.

Tulisan warna kuning keema­san tampak mencolok di tembok yang dicat hitam. Ukiran lam­bang TNI AD mengapit tulisan itu. Di balik pagar berdiri patung Jenderal Nasution dalam posisi kedua tangan di belakang ping­gang. Posisi istirahat. Dua me­riam mengapit patung setinggi dua meter itu.

Patung dikeliling taman ber­bentuk setengah lingkaran. Dihiasi rumput dan beberapa ta­naman. Bangunan utama ada­lah rumah Nasution. Bentuknya tak berubah sejak peristiwa G30S yang menewaskan Ade Irma Suryani, putri bungsu Nasution.

Di bagian muka bangunan ter­dapat pintu masuk. Model lipat dengan empat daun pintu. Di kiri dan kanan ada empat jen­dela. Di atasnya ada lima lubang angin besar yang diberi teralis besi.

Di sisi kiri rumah utama, ada garasi beratap genteng yang dito­pang em­pat tiang kayu. Di se­be­lah kiri ga­rasi, ada bangunan lain­nya. Lebih kecil dari bangu­nan uta­ma. Pintunya menghadap ke jalan raya.  

Tempat ini dulunya ditinggali ajudan. Lettu Pierre Ten­­dean, sa­lah satu ajudan Na­sution pernah mendiami tempat ini. Pierre di­bawa penculik ke Lu­bang Buaya, Jakarta Timur ka­rena mengaku sebagai Nasution pada malam na­has itu. Bersama enam jenderal, Pierra akhirnya gugur dan ja­sadnya dimasukkan ke sumur tua.

Di belakang bangunan utama terdapat bangunan baru. Salah satu ruangnya digunakan untuk Kantor Yayasan Ade Irma Sur­yani Nasution. Pintunya terkunci. Tak terlihat aktivitas di dalamnya. Di sebelah kanan rumah tepat di­sam­ping gerbang ada pos penjagaan.

Biasanya, pos dijaga personil TNI. Namun, saat Rakyat Mer­deka memantau tempat ini ke­marin, pos itu kosong. Petugas ha­nya terlihat di bangunan kecil di samping kanan rumah. Ba­ngunan ini adalah Ruang Piket. Ada tiga orang duduk santai di dalamnya.

Rakyat Merdeka mencoba ma­suk ke museum ini. Kebetulan mu­seum dibuka untuk umum mu­lai 08.00-14.00 WIB. Melewati tiga anak tangga yang ditutupi mar­mer, kita akan memasuki ruang tamu. Dari pintu yang ter­buka terlihat torso (patung se­tengah badan) Nasution. Torso diletakkan di atas kayu.

Di belakangnya, diletakkan ga­ding gajah. Gading ini adalah kenang-kenangan dari Brigade Garuda III. Tepat di belakangnya, ada batu pualam berukuran 1 x 1 meter. Di atasnya ada tanda ta­ngan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat meresmi­kan museum ini pada 3 Desember 2008. Tanggal ini bertepatan dengan hari lahir Nasution.

Melihat dari pintu masuk di sebelah kanan ada kursi dan meja antik kayu. Ini adalah kursi fa­vorit sang jenderal. Kedua set kur­si tamu itu diberi rantai pem­batas, mungkin agar tak ditutupi pengunjung. Maklumnya usianya sudah puluhan tahun sehingga mudah rapuh.

Di atasnya menggantung lam­pu hias antik. Di pojok kiri dan kanan ruang tamu juga diletakkan lemari hias kaca. Isinya berbagai macam plakat dari luar negeri. Di dinding kayu ruangan ini me­nem­pel empat foto Pak Nas panggilan akrab Jenderal Nasution, mulai saat muda sampai tua.

Semua barang yang ter­pam­pang di ruang tamu masih asli peninggalan Pak Nas. Yang baru di dalam ruangan ini hanyalah air conditioner (AC) untuk me­nye­jukkan ruangan, speaker, dan ka­mera CCTV yang menempel di bagian atas dinding.

Tata ruang dan koleksi Mu­seum Nasution terdiri dari sem­bilan ruang. Ruang pertama ada­lah ruang tamu. Ruang kedua, adalah ruang kerja Pak Nas. Setelah memasuki ruang tamu, pengunjung harus melintasi ruang kerja agar bisa melihat rua­ngan lainnya.

Di dinding menem­pel ijazah yang dibingkai semasa Pak Nas masih kuliah. Semua ter­susun rapi dalam bingkai kaca. Di pojok ruang kerja terdapat lemari berisi buku. Sebanyak 70 buku yang karya Pak Nas dipajang di lemari itu.

Belok kiri dari ruang kerja, kita akan menemukan ruang ketiga. Yakni, Ruang Kuning. Dinama­kan ruang kuning karena Pak Nas mendesain ruangan ini dengan dominasi warna kuning baik cat, tembok, karpet, dan gordennya. Di sinilah Pak Nas menerima tamu-tamunya baik dari dalam dan luar negeri.

Keluar dari Ruang Kuning ter­dapat sebuah lorong. Lebarnya se­kitar 1 meter. Di sebelah kanan tembok, menempel foto kenang-kenangan Pak Nas bersama sang istri dan beberapa pejabat negara. Di antaranya foto Pak Nas bersa­laman dengan Suharto dan foto Pak Nas bersama sang istri d­i­temani Danjen Kopassus Pra­bo­wo Subianto dan Titik Suharto.

“Foto ini diambil ketika Jen­deral Abdul Haris Nasution di­angkat menjadi warga kehor­ma­tan Kopassus di Cijantung be­berapa tahun yang lalu,” ujar Ser­tu Royen Suryanto, petugas ad­ministrasi di museum ini.

Tak jauh dari foto-foto itu, kita akan menemukan pintu menuju ruang ketiga yakni Ruang Tidur. Posisi ruang tidur Pak Nas tepat di sebelah kanan. Ruang ini me­rupakan saksi bisu kekejaman G30S/PKI yang berusaha men­culik dan membunuh Menteri Koor­dinator Pertahanan Keama­nan/Kepala Staf Angkatan Ber­senjata itu.

Di ruangan ini masih terlihat bekas tembakan pasukan Tjak­ra­birawa yang mengenai pintu, tem­bok serta meja di dalam ka­mar. Di dalam kamar tersebut juga ditampilkan beberapa ko­leksi pakaian dan alat kese­hatan yang digunakan Nasution.

Selanjutnya, pengunjung bisa melihat diorama Nasution me­nye­lamatkan diri dari penculikan. Nasution melompati tembok kediaman Duta Besar Irak disak­sikan sang istri dan anaknya Ade Irma Suryani yang berlumuran darah. Diorama berada di ruangan seragam Angkatan Darat atau ruang Gamad.

Tak hanya itu, diorama istri Na­sution, Yohana Sunarti yang akan menghubungi Pangdam Jaya Umar Wirahadikusuma sambil menggendong Ade Irma Suryani juga ada di ruang makan. Bahkan, telepon yang akan dipakai masih tetap berada di tempatnya. Leng­kap dengan pasukan Tjak­ra­birawa yang senjata mengarah senjata ke istri sang Jenderal.

Di seberang kamar Pak Nas me­rupakan ruang keempat. Rua­ngan ini dinamakan Ruang Sen­jata koleksi Pak Nas. Awalnya ruang ini adalah ruang tidur putri sulung Pak Nas, Hedrianti Sahara Nasution.

“Senjata yang paling depan ada­lah senjata yang digunakan saat menembak Ade Irma Nasu­tion. Orang yang me­nem­ba­ka­n­nya adalah Kopral Dua (Kopda) Hargiono, anggota Pasukan Tja­krabirawa. Senjata ini didapatkan setelah RPKAD merebutnya,” ujar Royen sambil menunjuk sen­jata di dalam lemari. RPKAD atau Resimen Para Komando Angkatan Darat adalah cikal-bakal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD.

Setelah kamar Pak Nas, kita akan menemukan kamar kelima yakni Ruang Ade Irma. Posisinya tepat di sebelah kanan, berse­be­la­han dengan kamar Pak Nas. Disediakan sebuah pintu yang menghubungkan Ruang Tidur Pak Nas dengan ruang tidur putri bungsunya itu.

Di dalam ruang tidur itu ter­pampang benda-benda kesa­ya­ngan Ade, yaitu sebuah baju se­ra­gam Kowad mini, tas kulit ke­cil, se­patu, tempat minum dan boneka.

Di ruangan ini dipajang juga beberapa foto dan lukisan ber­gambar Ade. Di salah satu lukisan bergambar Pak Nas dan Ade, di bawahnya tertulis sebuah kalimat “Papaaa...apa salah adek?”

“Kalimat itu keluar dari mulut Ade sesudah tertembak. Saat itu posisinya digendong oleh ibu (Yo­hana Sunarti). Saya tahu itu sete­lah diceritakan Ibu,” tutur Royen.

Benda bersejarah lainnya yang dipajang adalah baju yang di­pakai oleh Ade Irma saat tragedi penembakan. Ruang keenam adalah Ruang Gamad (Ruang Se­ragam Angkatan Darat). “Jangan pernah punya niat untuk memiliki atau mengambil barang-barang Pak Nas, karena Anda tidak akan pernah bisa keluar dari rumah ini,” ujar pria asal Bengkulu ini.

Saat <I>Rakyat Merdeka berada di dalam suasana mistis memang terasa. Bulu kuduk pun me­rinding ketika menyaksikan foto-foto Pak Nas, Ade Irma maupun diorama yang ada di dalamnya.

Ruang Makan adalah ruang ketujuh. Ruang terakhir adalah Ruang Heraldika. Posisinya ber­sebelahan dengan Ruang Makan. Berbagai plakat kenang-kena­ngan dari berbagai kesatuan TNI, tiga panji serta sebuah bendera me­rah putih. Bendera itu diguna­kan Pak Nas yang saat itu Ketua MPRS untuk melantik Soeharto menjadi presiden menggantikan Sukarno.

Di halaman rumah bagian be­lakang, pengunjung dapat me­nyaksikan mobil Volvo Nasution. Di depan dan belakang mobil itu terdapat tanda bintang lima. Mo­bil merupakan pemberian BJ Ha­bibie ketika Nasution dianugerahi sebagai Jenderal Besar pada 5 Oktober 1997. Tak jauh dari mobil, ada sebuah kolam ikan.

Pengawas Museum, Sersan Kepala Hadi Saputro menu­tur­kan, tidak ada acara khusus dalam memperingati hari Kesaktian Pancasila tahun ini .

“Tahun kemarin dibikin, tapi tahun ini nggak. Mungkin karena Bu Yanti (Putri AH Nasution) lagi berobat ke Singapura. Ada yang sakit di bagian pinggangnya,” ujarnya.

Taktiknya Dipakai Melawan Amerika

Abdul Haris Nasution meru­pakan tokoh militer dan politik Indonesia. Penyandang gelar jen­deral besar bintang lima ini me­rupakan penulis sejarah militer juga pemikir di bidang itu.

Konsep teritorial dan dwi­fungsi ABRI lahir dari pemi­kiran­nya menyikapi goncangan-gon­ca­ngan politik yang kerap terjadi di era Orde Lama. Konsep dwi­fungsi dipertahankan di era Soeharto.

Konsep itu mulai digugat keti­ka reformasi bergulir. Dwi­fung­si akhirnya dihapuskan. Ten­tara pun kembali ke barak, tak lagi me­me­gang jabatan-jabatan sipil.

Berdasarkan pengalamannya semasa revolusi fisik mem­per­tahankan Republik dari Belanda yang ingin kembali menjajah, Nasution menelurkan konsep perang gerilya.

Konsep ini dipakai tentara Viet­kong menghadapi tentara Amerika selama perang Vietnam. Taktik ini terbukti ampuh. Banyak jatuh korban dari tentara Amerika.

Setelah purnawirawan, Na­su­­tion mengisi waktunya de­ngan ke­giatan menulis sejarah, khu­susnya TNI. Dunia tulis me­nulis sudah didalami Nasu­tion sejak 1948.

Di sela-sela kesibukannya me­mimpin TNI, ia masih sempat menulis beberapa buku. Di antara karya-karya Nasution yang ter­penting adalah Pokok-pokok Gerilya, Catatan-catatan Sekitar Politik Militer Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, Kekaryaan ABRI, dan Sekitar Perang Ke­mer­dekaan (11 jilid). Ia juga me­nulis memoar dengan judul Me­menuhi Panggilan Tugas (7 jilid).

Di bidang pendidikan, Nasu­tion aktif sebagai ketua Yayasan Perguruan Cikini. Meninggal di Jakarta, 6 September 2000 di­makamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Sehari, Dua Kali Dibersihkan

Pengatur dan Perawat Ba­rang-barang Koleksi Museum AH Nasution, Suyadi me­ng­a­ta­kan, rumah ini diserahkan ke­luar­ga kepada negara pada 2007. Sebelum diserahkan, rumah ditempati Ibu Yohana Sunarti; Yanti, putri sulung Nasution dan suaminya. “Saat ini anak­nya sudah pindah ke tempat lain,” katanya.

Mengenai biaya perawatan yang diperlukan museum, kata Suyadi semuanya disediakan Dinas Sejarah TNI Angkatan Da­rat. “Saya tidak tahu besar­nya bantuan berapa setiap bu­lannya. Tapi biasanya bantuan lebih banyak dalam bentuk barang,” katanya.

Pria berpangkat Sersan Ke­pala (Serka) ini mengatakan, museum ini dibuka untuk umum dari Selasa sampai Ming­gu dari pukul 08.00-14.00 WIB. “Senin kami libur,” katanya.

Pria asli Solo ini mengatakan, pengunjung yang ingin masuk ke museum tidak dipungut biaya. Hanya saja pihak penge­lola menyediakan kotak amal di dekat pintu masuk. “Biasanya mereka yang mengasih uang ke kita. Kalau dikasih ya kita terima,” katanya.

Suyadi menambahkan, pe­ngunjung yang datang ke mu­seum mencapai 150 orang se­bu­lan. “Kebanyakan mereka datang hari Sabtu dan Minggu karena hari libur,” katanya.

Suyadi berharap masyarakat yang berkunjung ke Museum AH Nasution bisa meneladani jiwa patriotik sang jenderal besar yang rela mengorbankan diri dan keluarga demi bangsa dan negara.

Menurut Sersan Kepala Hadi Saputro, pengawas museum, antusiasme masyarakat datang ke sini cukup tinggi sejak di­res­mikan Presiden Susilo Bam­bang Yudhoyono pada Desem­ber 2008 silam.

“Mereka antusias pengen tahu cerita seperti apa, banyak pe­ngunjung yang suka nanya ini itu. Sebagai pemandu kita je­laskan dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan kejadian sebe­nar­nya,” katanya.

Agar barang-barang koleksi Museum AH Nasution terawat dengan baik, dalam sehari pe­tu­gas melakukan dua kali pem­bersihan. “Tiap hari kita sapu dan pel. Pagi hari sebelum di­bu­ka dan sore hari setelah ditu­tup. Su­sah-susah gampang sih ngera­wat­nya, karena alat kebersihan kita terbatas,” ujar Hadi. [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA