RMOL. Angin bertiup kencang di kawasan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat kemarin siang. Satu pelepah palem jatuh di pekarangan rumah bernomor 65 di jalan itu. Melihat itu, Sartono memungut dan membuangnya ke tempat sampah.
Tentara berpangkat sersan maÂyor itu ditempatkan di sini unÂtuk menjaga sekaligus merawat rumah berikut isinya. Rumah ini merupakan saksi bisu sejarah kelam republik ini empat puluh enam tahun silam.
Dulu, rumah ini ditempati LetÂnan Jenderal Ahmad Yani. MenÂteri Panglima TNI Angkatan DaÂrat itu jadi target Gerakan 30 SepÂtember. Di rumah ini pula Yani tewas diberondong peluru yang dimuntahkan senjata anggota Pasukan Tjakrabirawa.
Yani bersama lima jenderal dan seorang perwira pertama yang jadi korban gerakan itu diberi geÂlar pahlawan revolusi. Tanggal 1 Oktober pun ditetapkan sebagai hari Kesaktian Pancasila.
Untuk mengenang peristiwa itu, TNI AD menjadi rumah ini sebagai museum dan diberi nama Sasmitaloka. Menurut Sartono, rumah ini diserahkan keluarga kepada TNI AD pada Oktober 1966. “Setelah itu dijadikan muÂseum,†kata pria bertubuh tegap ini.
Sartono memastikan isi rumah masih sama seperti tahun 1965. Kata dia, Dinas Sejarah TNI AD menjaga agar isi rumah tak ada yang berubah sama seperti ketika masih ditinggali Yani.
Rumah Yani terletak di sudut Jalan Latuharhary maupun Jalan Lembang. Berdiri di atas tanah berukuran 20x20 meter, rumah utama yang berlantai satu di kelilingi pagar besi hitam setinggi satu meter.
Gerbang masuk berada di samping kiri menghadap Jalan Latuharhary. Sedangkan gerbang yang persis di muka rumah mengÂhadap Jalan Lembang. Gerbang inilah yang dibuka.
Memasuki pekarangan rumah terÂlihat taman yang terawat. PeÂkaÂrangan ini ditumbuhi beberapa pohon besar. Di tengah-tengah haÂlaman terdapat saung dari besi untuk tempat santai.
Di dekat kolam di depan rumah dipasang patung Yani tengah dalam posisi berdiri dan sikap istirahat. Terbuat dari perunggu, patung menghadap ke jalan.
Di depan patung terdapat tiang besi setinggi enam meter. BenÂdera merah putih berkibar seteÂngah tiang. Di depan tiang diÂbaÂngun tembok hitam yang berÂtuliskan “Sasmitaloka Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yaniâ€.
Beranjak masuk ke dalam rumah harus melalui teras dengan atap dari beton. Pintu masuk ruÂmah berwarna krem dilapisi kaca dengan teralis besi di beÂlaÂkangÂnya. Pintu dalam keadaan terÂtutup rapat. Korden warna putih yang berada di belakang pintu masuk turut menutupi pandangan ke dalam.
Di belakang pintu masuk teÂrÂdaÂpat empat kursi model lawas deÂngan meja kayu warna coklat oak berbentuk persegi panjang. Meja dan kursi ini dikelilingi deÂngan rantai sehingga pengunjung tidak bisa duduk di tempat ini. Kursi ini digunakan untuk tempat tunggu tamu Yani.
Di sebelah kanan kursi tamu terdapat ruangan berukuran 3x4 meter. Ruangan tersebut berisi kursi panjang warna hitam diÂlengkapi dengan meja yang juga terbuat dari kayu.
Di ruangan ini juga terdapat haÂrimau yang telah diawetkan. HeÂwan buas itu dimasukkan ke daÂlam meja yang dibungkus kaca. Ruangan ini juga diperuntukkan bagi tamu-tamu Yani.
Dinding ruangan ini dipenuhi foto-foto kegiatan Yani sebelum meninggal. Masuk lebih dalam terdapat ruangan tengah yang cukup lapang. Di ruangan ini terdapat kursi panjang warna biru yang mampu menampung delaÂpan orang. Di ruangan inilah Yani menerima tamu-tamunya.
Di dinding ruangan ini dipaÂsang lukisan besar yang mengÂgamÂbarkan Yani memukul salah satu anggota Pasukan TjakraÂbiÂraÂwa yang datang ke rumahnya pada 1 Oktober 1965 dini hari.
Di sebelah kanan ruangan tamu terdapat ruangan istirahat. RuaÂngan ini diisi kursi panjang warna biru dengan meja kayu dan beÂbeÂÂrapa patung di atasnya. DinÂding di belakang kursi ditempeli batu alam. Di dinding ini pula terdapat akuarium.
Di ruang istirahat ini juga terÂdapat lemari yang menyimpan peralatan bermain golf. Foto Yani tengah bermain golf juga diÂpaÂsang di dinding ruangan.
Di samping kiri ruang tamu terdapat ruangan yang cukup luas yang digunakan untuk makan. Ruangan ini diisi meja panjang deÂngan empat kursi. Di samping kiri meja ini terdapat lantai yang diÂkelilingi rantai. Lantai ini dituÂtupi plat kuningan.
“Disinilah gugurnya Pahlawan Revolusi Djenderal Ahmad Yani pada tanggal 1 Oktober 1965 Djam 04.35 WIB.†Demikian tulisan di plat itu.
Di samping kiri lantai tersebut tersedia mini bar yang dibangun dengan meja setinggi satu meter. Meja tersebut dilengkapi dengan lima kursi dengan kaki-kaki tinggi.
Di sebelah kanan minibar terÂdapat kamar tidur Yani. Di kamar berukuran 5x5 meter ini terdapat kaÂsur yang cukup untuk dua orang. Di samping kiri kasur diÂtempatkan lemari kaca yang berisikan senjata yang digunakan untuk membunuh Yani.
Selain senjata, terdapat baju yang digunakan untuk mengusap darah Yani yang berceceran di lanÂtai setelah ditembak. Di dinÂding kamar bagian kiri terdapat lemari kaca setinggi dua meter yang berisikan pakaian miÂliter Yani. Di sebelan kanan dinÂding ditempel kaca untuk bercermin.
Di salah satu pojok atas kamar tidur itu terdapat lukisan menyeÂruÂpai gambar halilintar menyamÂbar. Di pojok kamar sebelah kiri terdapat kamar mandi pribadi yang dilengkapi dengan bath tub didalamnya. Di samping kiri kamar tidur Yani terdapat dua kamar untuk anak-anaknya.
Menurut Sartono, ada tujuh orang yang diberi tugas menjaga dan merawat koleksi di museum. Biaya perawatan museum diÂtangÂgung Dinas Sejarah (Disjarah) TNI AD.
“Saya tidak tahu beÂsaÂranÂnya berapa. Soalnya biaya listrik, teÂleÂpon dan gas sudah dibayar langÂsung dari sana,†katanya.
Semua peralatan untuk meraÂwat museum dan barang-barang koleksi di dalamnya disediakan Disjarah. “Kita sering dikirim cat dan kapur barus,†kata dia.
Namun, bila ada lampu yang mati barulah Disjarah memÂbeÂriÂkan uang untuk membelinya. “Uangnya ditransfer. Jumlahnya pas untuk beli lampu,†kata Sartono.
Pria yang telah menjaga muÂseum ini sejak 2005 ini meÂngaÂtakan, tempat ini terbuka untuk umum dan gratis. Pengunjung tidak dikenakan biaya. “Biasanya pengunjung sering memberikan uang kepada petugas sebagai benÂtuk ucapan terima kasih. PemÂberian itu kami terima dengan ikhlas,†katanya.
Bila ada pengunjung yang datang, kata Sartono, penjaga akan mendampingi keliling muÂseum dan menjelang barang-baÂrang koleksi yang ada di sini.
“Kalau mendampingi peÂngunÂjung biasanya kami berpakaian sipil. Bila berpakaian militer biasanya mereka pada takut bertanya,†katanya.
Sartono menjelaskan, museum buÂka mulai Selasa sampai MingÂgu dari pukul 08.00 – 14.00 WIB. “Pengunjung biasanya ramai hari Sabtu dan Minggu,†katanya.
Bila tak ada pengunjung, lamÂpu penerangan museum dimaÂtiÂkan. Ini untuk menghindari korsÂleting. Maklum, sebagian besar instalasinya masih asli.
“Kalau lampu dinyalakan khawatir ada konslet yang bisa mengakibatkan kebakaran. Bila ini terjadi kan bisa berbahaya buat koleksi museum,†katanya.
Sartono mengatakan, setiap hari dirinya selalu menaikkan bendera merah putih di depan museum dari pukul 06.00 WIB sampai dengan 18.00 WIB sore. “Kalau malam kita turunkan,†katanya.
Namun setiap 30 September, kata Sartono bendera dikibarkan setengah tiang untuk mengÂhoÂrÂmaÂti Yani dan jenderal lainnya yang gugur dalam peristiwa itu.
Sartono juga mengibarkan bendera setengah tiang bila ada pejabat TNI yang wafat. Ini dilakukan untuk menghormati jasanya.
Kamar Tidur Disambar Petir Jelang Dilantik
Lukisan halilintar menyamÂbar di pojok atas kamar tidur Ahmad Yani sebenarnya adalah garis-garis retakan di dinding itu. Dinding kamar itu retak akibat petir yang menyambar rumahnya.
Peristiwanya terjadi semingÂgu sebelum Yani dilantik menÂjadi Menteri Panglima TNI AD. Yani ditunjuk Soekarno menÂduÂduki posisi itu pada 1962. Ia mengÂgantikan Jenderal Abdul Harris Nasution yang dapat poÂsisi baru sebagai Menko HanÂkam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata.
Menurut Sartono, ada keÂaneÂÂhan dalam peristiwa itu. HaÂnya dinding kamar Yani yang retak. Sejumlah orang meÂlihat ini seÂbaÂgai pertanda akan ada peÂrisÂtiwa besar yang akan menimpa Yani.
Dinding yang retak itu diÂbiarÂkan begitu saja sampai Yani guÂgur di tangan anggota Pasukan Tjakrabirawa yang datang ke rumahnya 1 Oktober 1965 diÂnihari.
Terlihat Kusam, Dikritik Panglima TNI
Museum Sasmitaloka yang menyimpan barang-barang peninggalan Jenderal Ahmad Yani rupanya mempunyai daya tarik yang sangat kuat bagi pejabat tinggi TNI. Salah satunya bekas Panglima TNI Djoko Santoso.
“Pak Djoko sewaktu jadi PangÂlima TNI pernah berkunÂjung ke sini untuk melihat koÂleksi barang-barang yang ada di museum,†kata Sartono.
Dalam kunjungannya terseÂbut, kata Sartono, Djoko SanÂtoso sempat mengkritik warna cat museum yang sudah meÂmuÂlai memudar dan terlihat kuÂsam. Ia meminta agar museum dicat ulang.
“Alhamdulillah sehari setelah permintaannya itu, Dinas SeÂjarah Angkatan Darat langsung mengirim tukang untuk meÂngecat museum ini dan terlihat mengkilap seperti sekarang ini,†katanya.
Selama proses pengecatan, kata Sartono benda-benda yang ada didalam museum dipinÂdahÂkan terlebih dahulu ke tempat yang aman agar tidak rusak seÂlama proses renovasi berÂlangsung.
Selain Djoko Santoso, kata Sartono, Panglima TNI Agus SuÂhartono juga pernah berkunÂjung ke museum ini. “Saat itu Pak Agus lari pagi sekalian mampir ke museum ini untuk melihat-lihat barang-barang muÂseum. Kebetulan rumahnya juga di Menteng,†katanya.
Anak-anak Yani rutin datang ke sini setiap tahun. Selain untuk mengenang rumah yang dulu pernah mereka tinggali juga untuk bersilaturahmi deÂngan para penjaga museum. “Biasanya mereka membawa kopi dan gula untuk acara ngopi bareng,†katanya. [rm]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.